Jumat, 30 April 2010

AQIDAH MUKMIN (1)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ   

Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam dengan puji-pujian yang melengkapi segala nikmat-Nya dan menarik kelebihan pemberian-Nya. Sholawat yang sempurna dan kesejahteraan yang sempurna atas penghulu kita Nabi SAW dan atas seluruh keluarga dan sahabatnya.
Sesungguhnya Allah telah mengkaruniakan nikmat yang sangat besar, yaitu nikmat Islam dan Iman karena dengan keduanya maka dimasukkan Allah Jalla wa Azza ke dalam syurga kekal selama-lamanya serta selamat dari siksa neraka dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu maka wajib atas tiap-tiap mukallaf yaitu orang yang akil baligh bahwa ia mengetahui sekalian rukun Islam seperti tersebut di bawah ini. Demikian juga dengan rukun Iman supaya ia dapat bersyukur pada Allah Ta’ala dengan mengamalkan amal-amal keduanya yang terhenti makbulnya dengan pengetahuan.
A. Rukun Islam
Rukun Islam ada lima perkara, yaitu :
1.    Mengucap dua kalimat syahadat
2.    Sembahyang lima waktu.
3.    Puasa Ramadhan.
4.    Membayar zakat.
5.    Pergi haji.

Disebutkan pada hadits dari Nabi SAW :
اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَاِلهَ اِلاَّاللّهُ وَأَنَّ محَمَّدًا رَّسُوْلُ اللّهِ , وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ , وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ , وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ ,وَتحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبيْلاً.
Artinya : “Islam adalah engkau bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau haji ke Baitullah jika engkau telah mampu melaksanakannya”.
Adapun ilmu pengetahuan tentang rukun Islam yang pertama yaitu mengetahui makna dua kalimat syahadat disebut ilmu Ushuluddin atau ilmu Tauhid seperti kitab ini. Ilmu Ushuluddin artinya ilmu tentang pokok-pokok agama (diin). Arti agama menurut istilah ada dua yaitu : 
مَا شَرَعَهُ اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبيه مِنَ الاَحْكَامِ
Artinya     : “Hukum yang disyariatkan (diperintahkan) Allah melalui lisan Nabi Allah”.

Atau :
وَضْعٌ اِلهِىٌّ يَدْعُوْلِذَوِى العُقُوْلِى السَّالِمَةِ اِلى قَبُوْلِ مَا هُوَعِنْدَ الرَّسُوْلِ لِسَعَادَتِهِم في مَعَاشِهِم وَمَعَادِهِمْ
Artinya : “Peraturan dari Tuhan untuk mengajak setiap yang berakal sehat untuk menerima apa-apa yang dibawa Rasul untuk mencapai kebahagiaan ketika di dunia dan di akhirat.
Sedangkan arti ilmu Tauhid menurut istilah syara’ adalah :
عِلْمٌ يَقْتَدِرُ بهِ عَلَى اِثْبَاتِ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ مُكْتَسَبٌ مِنْ اَدِلَّتِهَا الْيَقِيْنِيَّةِ
Artinya : “Ilmu untuk menetapkan akidah (keyakinan) keagamaan seseorang berdasarkan atas dalil-dalilnya didasari keyakinan”
Dimaksud dengan dalil adalah dalil naqli (diambil/dinukil dari Al-Qur’an dan Hadits) dan dalil aqli (berdasarkan akal).
Wajib hukumnya atas tiap-tiap mukallaf bahwa ia mengenal Tuhannya Azza wa Jalla dengan seluruh sifat-sifat Allah yang wajib, mustahil dan jaiz (harus). Demikian juga yang wajib atas diri sekalian Rasul alaihimush sholatu wassalam, yang mustahil dan yang harus seperti akan dijelaskan nantinya. Semua itu masuk dalam makna dua kalimat syahadat.
Ilmu pengetahuan tentang rukun Islam yang selainnya disebut dengan ilmu fikih. Wajib atas tiap-tiap mukallaf bahwa ia mengetahui ilmu yang wajib atasnya seperti sembahyang, puasa dan lainnya. Demikian juga dengan amalan-amalan sunat atau amalan yang hendak dikerjakannya karena tidak sah beramal dengan jahil pada hukumnya sebagaimana hal itu disebutkan dalam kitab Zubad :
فَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلْ ، أَعْمَالُهُ مَرْدُودَةٌ لاَتُقْبَلُ
Artinya : “Tiap-tiap orang yang beramal dengan tanpa ilmu maka amalnya dikembalikan padanya (tidak dikabulkan)”
Adapun dalil wajibnya ilmu yang tersebut itu hadits Nabi SAW :
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya : “Menuntut ilmu wajib atas tiap-tiap muslim”.
Sedangkan makrifat Allah Jalla wa Azza lebih dahulu dari ilmu yang lain sebagaimana disebut dalam kitab Zubad :
وَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الاِْنْسَانِ مَعْرِفَةُ الهِئ بِاسْتِيْقَانِ
Artinya : “Yang permulaan wajib atas manusia yaitu makrifatullah dengan yakin”.

Demikian juga dari kitab Khutbatu lil habibi Thohir bin Husain :
فَاعْلَمُوْا ايُّهَا الاِْخْوَانُ اَنَّ الأَصْلَ وَاْلأَسَاسَ هُوَ مَعْرِفَةُ الْمَعْبُوْدِ قَبْلَ الْعِبَادَةِ وَذلِكَ حَقِيْقَةُ مَعْنَى الشَّهَادَةِ
Artinya : “Ketahuilah olehmu bahwa asal agama yaitu mengetahui Tuhan yang disembah sebelum melakukan ibadah pada Allah dan pengetahuan itu adalah hakikat makna kalimat syahadat”.
Apabila telah diketahui wajibnya makrifatullah Allah atas tiap-tiap mukallaf maka ketahui olehmu arti makrifat yaitu I’tiqad yang jazam, mufakat (sesuai) dengan yang haq (benar) dan dengan mempunyai dalil. Arti jazam adalah mantap tanpa ada keraguan lagi. Keluar dari perkataan jazam itu zhon (dugaan kuat), waham (ragu) dan syak (dugaan lemah).

I’tiqad jazam dapat dibedakan atas empat bagian yaitu :
1.    Jazam mufakat dengan yang haq dan dengan mempunyai dalil. Hal ini yang disebut makrifat.
2.    Jazam mufakat dengan yang haq dan tanpa mempunyai dalil. Hal ini yang disebut taklid shohih.
3.    Jazam tidak mufakat dengan yang haq dan dengan mempunyai dalil. Hal ini disebut jahil murokkab.
4.    Jazam tidak mufakat dengan yang haq dan tanpa mempunyai dalil. Hal ini disebut taklid batil.
Adapun arti dalil adalah perkara yang menunjukkan kebenaran sesuatu perkara. Dalil dalam masalah tauhid dapat secara ijmali (garis besar) atau secara tahshili (terperinci). Dalil wujudnya Allah dengan sekalian sifat Allah dengan dalil ijmali yaitu adanya langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya. Inilah yang wajib untuk setiap orang Islam menuntutnya supaya lepas ia dari dosa. Adapun mengetahui dalil tafshili maka hukumnya fardhu kifayah untuk setiap daerah dalam batasan ukuran perjalanan yang dibolehkan untuk menjama' dan mengqoshor sembahyang. Mengetahui dalil tafshili diperlukan untuk menolakkan syubhat-syubhat yang didatangkan oleh ahli bid'ah dan orang-orang yang akan merusak keyakinan umat Islam.

Hikayat :
Kata Syeikh Ashmu'i, "Aku keluar pada satu hari dari mesjid jami' di Negeri Bashroh. Ketika aku sedang berjalan maka di tengah perjalanan aku bertemu dengan seorang A'robi yang menaiki unta sedang diba-hunya tergantung pedangnya dan pada tangannya anak panah. Ia memberi salam kepadaku dan bertanya, ”Siapa engkau ?" Jawabku, "Aku dari Bani Ashma`". Katanya lagi, "Darimana kamu datang ?" Jawabku, "Dari tempat dibacakannya Kalamurrohman".  Katanya, "Adakah bagi Rohman itu kalam yang dibaca orang akannya ?" Jawabku, "Benar !" Katanya, "Bacakanlah atasku sesuatu darinya !" Jawabku, "Beradab engkau, hentikan untamu, turun engkau dari atas unta itu dan duduk !" Maka dihentikannya untanya lalu iapun turun dan duduk, maka kubacakan surat Adz-Dzarriyat hingga sampai pada firman-Nya :
وَفي اْلأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوْقِنِينَ وَفي أَنْفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
Artinya : "Dan di bumi itu beberapa tanda Allah yang menunjukkan ke-Esaan-Nya yang memberi keyakinan pada orang yang mentauhidkan Allah dan pada diri kamu sendiri apakah kamu tidak melihat ?"
Kata A'robi itu, "Telah benar Rohman pada firman-Nya. Tahi unta menunjukkan ada unta, bekas telapak kaki menunjukkan ada orang yang berjalan, dilangit ada buruj tempat jalan bulan, bintang dan matahari. Bumi mempunyai jalan, laut mempunyai ombak. Bukankah semua itu menunjukkan adanya Tuhan yang Lathif (Maha Lemah lembut) dan Khobir (Mengetahui)". Ketika kubaca :
وَفي السَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوْعَدُوْنَ
Artinya : " Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu".
Katanya, "Hai Ashmu'i ! Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, ini juga kalam Rohman ?" Kataku, "Benar !" Katanya, "Berhentilah engkau !" Kemudian ia berdiri dan menuju untanya, lalu unta itu disembelihnya dan dagingnya dibagikannya pada orang yang lewat. Kemudian ia mematahkan pedang dan anak panahnya dan dikuburkannya. Dia berkata, "Wahai celakalah aku ! Rezekiku ada di langit dan aku mencarinya di bumi. Ini jelas bukan perkara yang benar". Lalu iapun pergi ke hutan. Ketika aku sampai ke kota Baghdad maka kuceritakanlah hal itu pada Harun al-Rasyid dan iapun heran. Pada tahun berikutnya ia membawaku untuk besertanya pergi ke Mekkah untuk naik haji. Saat aku sedang Thawaf maka menarik tepi kainku seorang laki-laki muda, kulihat maka ternyata ia adalah sahabat A'robi itu. Katanya, "Wahai Ashmu'i ! Bacakanlah olehmu untukku Kalam Rohman !" Maka akupun membacakannya baginya pula Surat adz-Dzariyat. Tatkala bacaanku sampai pada firman Allah ta'ala :
وَفي السَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوْعَدُوْنَ
iapun berkata, "Benarlah Rohman ! Kami dapatkan apa yang dijanjikan-Nya kepada kami". Tatkala sampai bacaanku pada ayat :
فَوَرَبِّ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ اِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُوْنَ
Artinya : " Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan".
Katanya, "Demi Tuhan tujuh lapis langit dan bumi ! Bahwasanya benar seperti yang engkau kata". Katanya lagi, "Siapa yang telah dimurkai oleh Allah al-Jalil hingga Ia bersumpah karena mereka tidak percaya kepada-Nya lalu Dia bersumpah. Demi Allah ! Tidaklah kami menghendaki sesuatu kecuali kami dapati ia hadir". Kemudian iapun terisak-isak dan jatuh pingsan. Ketika kami gerak-gerakkan untuk memeriksanya maka kami dapati ia telah mati. Lalu Amirul mukminin Harun al-Rasyid menyelenggarakan jenazahnya mulai dari memandi-kan, menyembahyangkan, mengkafani hingga menguburkannya.

Dikisahkan :
Ada seorang Dahri (Atheis) pada masa Hamad guru dari Imam Abu Hanifah yang menantang seluruh ulama untuk berhujjah (berdebat) dengannya. Ia berkata, "Kamu mengatakan bahwa Allah itu ada lalu kalau ada bagaimana mungkin bahwa Dia tidak ada tempat-Nya. Sedangkan setiap yang wujud maka pasti memiliki tempat". Setelah mengalahkan dia akan hujjah kebanyakan ulama, ia berkata, "Apakah masih ada pada kalian ulama ?" Jawab orang banyak, "Ada ! Dia adalah Hamad". Dahri itu berkata, "Wahai Khalifah ! Hadirkan ia ke hadapanku agar dapat aku berkata-kata dengannya". Oleh Khalifah Hamad dipanggil dia berkata, "Baiklah tetapi aku meminta tangguh malam ini". Pagi harinya datanglah Abu Hanifah yang ketika itu masih kecil. Dilihatnya gurunya dalam keadaan sangat berduka, maka tanyanya, "Apa yang menyebabkan engkau begini ?" Jawabnya, "Bagaimana aku tidak berduka, telah memanggil khalifah akan daku untuk berhujjah dengan Dahri dan telah dikumpulkannya banyak ulama. Tadi malam aku bermimpi dan kulihat hal yang sangat menakutkan". Tanya Abu Hanifah, "Apa mimpimu itu ?" Jawabnya, "Kulihat suatu kampung yang sangat luas dan indah. Ada didalamnya sebuah pohon kayu yang berbuah. Tiba-tiba dari sudut kampung muncul seekor babi yang memakan buah kayu itu serta daun dan ranting-rantingnya sampai tinggal batangnya. Kemudian muncul dari pohon kayu itu seekor harimau yang kemudian babi itu ditangkapnya dan dibunuhnya". Berkata Abu Hanifah, "Bahwasanya Allah ta'ala mengajarkan kepadaku ta'bir mimpi. Sesungguhnya mimpi ini baik bagi kita dan buruk bagi musuh kita. Jika engkau izinkan padaku untuk menta'birkannya maka akan kuta'birkan". Kata Hamad, "Ta'birkan ya Nu'man !" Katanya, "Adapun kampung yang luas dan indah itu adalah agama Islam dan pohon kayu yang berbuah itu adalah ulama dan ushul yang tinggal itu adalah engkau, babi itu Dahri dan harimau yang membunuh babi itu adalah aku. Berjalanlah engkau memenuhi undangan Khalifah dan aku bersamamu, maka berkat dari himmah dan hadhirat engkau, aku yang akan menjawab soal Dahri dan berhujjah dengannya". Mendengar itu maka senanglah hati Hamad dan keduanya ketika itu juga berdiri ke tempat perhimpunan orang-orang dan disana ada Khalifah dan masyarakat yang ingin menyaksikan majlis Hamad sedangkan Abu Hanifah berdiri di hadapan gurunya di bawah tempat duduknya sambil memegang kain gurunya. Datanglah Dahri dan segera naik ke mimbar lalu bertanya, "Siapa yang akan menjawab pertanyaanku ?" Sahut Abu Hanifah, "Apa yang akan kau katakan, tanyakan saja maka siapa yang tahu dialah yang akan menjawabnya". Kata Dahri, "Siapa engkau, hai anak kecil ! Engkau berkata-kata denganku sedangkan banyak orang yang lebih tua darimu dengan kain kebesarannya dan lengan baju yang lebar telah lemah mereka melawan hujjahku. Bagaimana pula engkau berkata-kata denganku seorang anak kecil dan hina pula dirimu ?" Berkata Abu Hanifah, "Allah tidak meletakkan kemuliaan itu pada orang yang memiliki serban yang besar, pakaian yang megah serta lengan baju yang lebar, tetapi Dia meletakkan kemuliaan itu pada ulama seperti firman-Nya :
وَالَّذِيْنَ أُوْتُو الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Artinya : "Mereka yang diberi Allah ilmu mempunyai beberapa derajat".
Kata Dahri, "Engkau yang akan menjawab soalku ?" Jawab Abu Hanifah, "Benar ! Aku akan menjawab soalmu dengan taufik dari Allah". Kata Dahri, "Apakah Allah itu maujud (ada) ?" Jawabnya, "Benar !" Kata Dahri, "Dimana Dia ?" Jawabnya, "Tidak ada tempat bagi-Nya". Katanya, "Bagaimana ada maujud tapi tiada bertempat baginya ?" Jawabnya, "Pada dirimu itu ada buktinya". Tanyanya, "Mana buktinya ?" Jawabnya, "Tidakkah ada pada dirimu nyawa ?" Katanya, "Benar !" Kata Abu Hanifah, "Dimana tempat ruhmu itu, dikepala kamukah, diperut kamukah atau dikaki kamukah ?" Tercenganglah Dahri itu, lalu Abu Hanifah meminta didatangkan padanya susu. Katanya, "Tidakkah pada susu ini ada minyaknya ?" Kata Dahri, "Benar !" Kata Abu Hanifah, "Dimanakah tempatnya, diatasnyakah atau dibawahnyakah ?" Maka Dahri itupun tercengang pula, lalu Abu Hanifah berkata, "Seperti tiada pada ruh itu tempat tertentu di tubuh dan tidak pula minyak pada susu, demikianlah tidak pula bagi Allah didalam yang ada ini tempat-Nya". Kata Dahri, "Apa yang mendahului Allah dan apa pula yang sesudahnya ?" Kata Abu Hanifah, "Tidak ada sesuatu yang mendahului-Nya dan tidak pula ada sesuatu yang sesudah-Nya". Kata Dahri, "Bagaimana dapat tergambar ada yang maujud tanpa di dahului sesuatu dan tidak ada yang kemudiannya". Kata abu Hanifah, "Pada perkara itu ada buktinya pada dirimu". Kata Dahri, "Apa pula itu ?" Kata Abu Hanifah, "Apa yang sebelum ibu jarimu dan apa yang kemudian dari jari kelingkingmu. Demikian pula Allah tidak ada yang sebelum-Nya dan tidak ada yang kemudian dari-Nya". Kata Dahri, "Masih ada satu pertanyaan lagi pada diriku". Kata Abu Hanifah, "Tanyakan olehmu, insya Allah aku jawab". Katanya, "Apa yang sedang dilakukan Allah sekarang ini ?" Kata Abu Hanifah, "Engkau itu orang yang berbuat terbalik. Seharusnya orang yang menjawab itu diatas mimbar dan orang yang bertanya itu di bawah mimbar. Bila engkau turun dan aku naik maka akan kujawab pertanyaanmu itu". Maka turun ia dan naiklah Abu Hanifah ke mimbar. Ketika ia sudah duduk di mimbar bertanyalah Dahri dan Abu Hanifah menjawab pertanyaannya dengan mengatakan, "Perbuatan Allah saat ini adalah Dia menjatuhkan yang batil seperti dirimu dari atas ke bawah dan menaikkan Dia yang benar seperti naiknya aku dari bawah ke atas". Pergilah Dahri itu pada akhirnya dengan putus sekalian hujjahnya.
Firman Allah Ta'ala :
اِنَّ في خَلْقِ السَّموَاتِ وَالاَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لايَاتٍ لأُولى الاَلْبَابِ
Artinya : “Di dalam kejadian langit dan bumi serta pergantian malam dengan siang, sesungguhnya sekaliannya itu menjadi petunjuk atas adanya Allah yang menjadikan sekalian yang demikian itu untuk orang yang mempunyai akal pikiran”.
Dinukil dari ibarat Suhaimi dengan artinya : “Adapun makrifatullah dan makrifaturrasul terhenti atas pengetahuan tentang tiga perkara yang tersimpan di dalam hukum akli yaitu wajib, mustahil dan jaiz “. Oleh karena itu wajib diketahui tiga perkara ini didahulukan atas sebutan 20 sifat dan ditambahkan pula keterangan tentang hukum syar’i dan hukum ‘adi supaya dapat dibedakan satu dengan yang lain.

B. HUKUM
Pengertian hukum adalah :
اِثْبَاتُ اَمْرٍ اِلى اخَرَ اِيْجَابًا اَوْسَلَبًا
Artinya : “Menetapkan suatu perkara kepada perkara yang lain ada ataupun tidak ada”.
Contoh dari hukum ini adalah menetapkan apakah sembahyang itu wajib atau tidak, makanan itu halal atau haram, urusan itu benar atau salah dan lain sebagainya.
Hukum yang wajib diketahui oleh mukallaf supaya dapat memahami ilmu tauhid dengan benar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu hukum aqli, hukum syar’i dan hukum ‘adi.

1.    Hukum Aqli (Hukum Akal)
Hukum akal yang sempurna merupakan cahaya yang diletakkan di hati orang mukmin yang dengan cahaya itu dapat diketahui ilmu dhoruri (yang tidak membutuhkan banyak berpikir) seperti dikatakan sebuah benda selalu berada dalam salah satu keadaan antara bergerak  dan diam, dan ilmu nazhori (yang membutuhkan pemikiran lebih dalam) seperti harus bagi Allah memasukkan orang yang berbuat taat kedalam neraka.
Arti hukum akal adalah menetapkan suatu perkara atas suatu perkara atau menafikannya yang mana penetapan itu tidak disebabkan karena berulang-ulang atau karena ada yang menetapkannya tetapi disandarkan penerimaan akal atau pemikiran manusia.

Hukum akal terdiri atas tiga perkara, yaitu :
a.    Wajib artinya perkara yang tidak diterima akal kalau tidak ada (mesti ada) atau tidak diterima akal kalau tidak seperti itu. Misalnya setiap benda wajib dalam salah satu keadaan bergerak atau diam.
b.    Mustahil artinya perkara yang tidak diterima akal kalau ada (mesti tidak ada) atau tidak diterima akal kalau seperti itu. Misalnya dikatakan ada benda yang tidak bergerak dan tidak diam.
c.    Jaiz (harus) artinya perkara yang dapat diterima akal baik ada atau tidak ada. Misalnya saya sekarang sedang menulis atau sedang membaca.
2.    Hukum Syar’i (Hukum Syara’)
Hukum Syara’ adalah ketetapan Allah atas perbuatan mukallaf.
Karena penetapan pembebanan perintah ini untuk mukallaf maka dikatakan juga khitob taklif. Karena dalam penetapan perintah ini ditentukan syarat, sebab dan mani’ maka disebut juga khitob wadh’i.
Hukum syar’i ditetapkan oleh Allah dan terbagi atas dua makna ini dan tujuh perkara, yaitu :
a.    Wajib artinya setiap perkara yang diperintahkan Allah mengerjakannya yang mendapat pahala jika dikerjakan dan mendapat dosa jika ditinggalkan, misalnya sembahyang lima waktu, puasa Ramadhan dan lainnya.
b.    Sunat artinya setiap perkara yang baik dikerjakan dimana bila dikerjakan akan mendapatkan pahala tetapi tidak mendapat dosa jika ditinggalkan, misalnya mengucapkan salam, memakai wangi-wangian, senantiasa dalam keadaan wudhu dan lainnya.
c.    Haram artinya setiap perkara yang dilarang Allah mengerjakannya dimana bila dikerjakan akan mendapat dosa dan mendapatkan pahala jika ditinggalkan, misalnya berzina, mencuri, durhaka pada kedua orangtua, mengumpat dan lainnya.
d.    Makruh artinya perkara yang baik ditinggalkan dimana jika dikerjakan tidak mendapat dosa akan tetapi mendapat pahala jika ditinggalkan, seperti bernyanyi sambil buang air, merokok, memakan makanan yang berbau dan lainnya.
e.    Mubah atau harus atau boleh artinya perkara boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan tanpa mendapat pahala ataupun mendapat dosa, misalnya makan, minum, berjalan-jalan, olahraga dan lainnya.
f.    Shohih (sah) artinya perkara yang lengkap seluruh syarat dan rukunnya, misalnya sembahyangnya sah karena syarat dan rukunnya telah ditunaikan secara sempurna.
g.    Batal artinya perkara yang kurang syarat atau rukunnya, misalnya sembahyangnya batal karena datangnya sebab-sebab hadats.

3.     Hukum ’Adi (Adat)
Hukum adat adalah menetapkan keterkaitan suatu perkara atas suatu perkara lainnya atau menafikannya karena disebabkan kejadiannya berulang-ulang (sudah biasa) seperti itu dengan sah berbeda dan tidak ada hubungan salah satu dengan yang lainnya.
Hukum ini didasarkan atas kejadian yang sering terjadi seolah-olah salah satu menjadi sebab untuk yang lainnya sehingga karena sudah menjadi kebiasaan maka ditetapkan sebagai hukum misalnya api membakar, makanan mengenyangkan, pisau memotong, anak lahir dengan adanya orangtua atau lainnya. Sebahagian orang ada yang mengistilahkannya dengan sunatullah. Akan tetapi ketetapan ini bisa saja berubah atau disalahi atau diselisihi yaitu adanya peristiwa atau kejadian yang tidak mengikuti ketentuan yang sudah biasa itu. Perkara yang menyalahi adat itu ada yang terpuji misalnya mukjizat, karamah, irhas dan ma'unah. Ada pula yang tercela seperti sihir dan istidraj.

Hukum adat terbagi atas empat perkara, yaitu :
a.    Keterkaitan adanya suatu perkara dengan adanya suatu perkara seperti adanya kenyang dengan adanya makan.
b.    Keterkaitan tidak adanya suatu perkara dengan tidak adanya suatu perkara seperti tidak adanya kenyang dengan tidak adanya makan.
c.    Keterkaitan adanya suatu perkara dengan tidak adanya sutu perkara seperti adanya dingin dengan tidak adanya baju.
d.    Keterkaitan tidak adanya suatu perkara dengan adanya suatu perkara seperti tidak hangus dengan adanya air yang menyiram.

Dari uraian diatas maka dapat dibedakan antara wajib syara’ dengan wajib akal bahwa arti keduanya berbeda. Bila dikatakan wajib atas tiap-tiap mukallaf maka maksudnya adalah wajib syara’ dan bila dikatakan wajib bagi Allah atau bagi rasul Allah maksudnya wajib akal. Demikian juga bila dikatakan jaiz bagi Allah Ta'ala atau harus bagi Allah maka maksudnya adalah jaiz akal dan bila dikatakan jaiz bagi mukallaf maksudnya adalah jaiz syara’.
Diceritakan bahwa pada suatu hari Imam Syafi’i sedang melakukan perjalanan dengan mengendarai unta. Ditengah perjalanan beliau berpapasan dengan seorang anak muda. Anak muda itu lalu berkata, “Assalaamu ’alaikum ya Syeikh !” Imam Syafi’i menjawab, “Wa ’alaikum salam ya fattah !” Anak muda itu bertanya, “Wahai Syeikh, berapa kaki untamu ?” Imam Syafi’i lalu turun dari untanya, melihat ke bawah dan menghitung kaki untanya lalu menjawab, “Empat”. Demikianlah kaki unta ada empat adalah ’adat yang dapat saja berubah bila Allah menghendaki.
C.     SIFAT-SIFAT ALLAH
Adapun perkara yang wajib yaitu sifat-sifat yang wajib bagi Allah Jalla wa Azza dengan tafshil (terperinci ) adalah 20 sifat yang telah ada dalil akli dan dalil naqli padanya. Tersebut tiap-tiap satu sifat arti dan dalilnya kemudian apa yang seharusnya dilakukan seorang mukmin yang mengi’tiqadkan bahwa Tuhan bersifat seperti itu. Yaitu merupakan sikap seorang mukmin yang sempurna imannya.
Adapun sebab maka wajib mengenal sifat-sifat ini karena dzat hanya dapat dikenali dengan adanya sifat yang berdiri atau melekat padanya jadi dengan mengenal sifat-sifat ini diharapkan seorang mukmin akan dapat mengenal Dzat Tuhan kita Azza wa Jalla. Seperti juga yang baharu ini dikenal juga dengan adanya sifat yang melekat padanya, misalnya seseorang dikenali dengan sifatnya seperti kulitnya hitam, ramah, tingginya 170 cm atau lainnya. Semakin banyak sifat yang kita ketahui maka akan semakin kita mengenalnya. Tanpa adanya sifat maka dzat tidak akan bisa dikenali. Apabila ada yang bertanya mengapa dibatasi sifat Allah Ta'ala yang wajib dipelajari hanya 20 sifat sedangkan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah tidak pernah menyebutkan hal itu maka katakan bahwa peringkasan atas 20 sifat saja merupakan ijtihad dari para ulama dengan memahamkan apa yang ada dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW kemudian tidak dibatasi sifat Allah hanya 20 akan tetapi mengenal yang 20 ini dengan sekalian dalil naqli dan aqli mencukupi untuk mengenali Dzat Tuhan kita dengan pengenalan yang paling ringkas tetapi sempurna sedangkan sifat yang lain dikenali secara ringkas seperti akan disebutkan nantinya.
Seperti itu pula ijtihad ulama dalam menyatakan bahwa rukun sembahyang ada 13 perkara walaupun Nabi SAW tidak pernah menyebutkan seperti itu, tetapi dipahamkan dari perbuatan dan penjelasan Nabi lalu disimpulkanlah dalam ijtihad ulama tentang hal itu. Perkara ini sedikit penulis uraikan karena pada masa ini banyak orang yang kurang akalnya dan kurang takutnya pada Allah lalu ia mulai menggugat ijtihad para ulama-ulama Islam yang dahulu-dahulu seolah-olah mereka menjelaskan hukum hanya berdasarkan hawa nafsu bukan berdasarkan pemahaman Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW. Akibatnya banyak orang awam terkena fitnah mereka dan mulai meninggalkan ijtihad para ulama dan memahamkan sendiri Al-Qur'an dan Hadits menurut hawa nafsunya. Ketahuilah para ulama-ulama pendahulu kita lebih memahami dan lebih takut pada Allah Ta'ala. Wallahu muwafiq.

Diceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hambal rhm. bila pulang kerumahnya selalu menceritakan pada anak-anaknya tentang bagaimana beliau mengagumi kecerdasan dan ke’aliman gurunya Imam Syafi’i, diantara anaknya ada seorang anak perempuannya yang begitu penasaran dengan setiap penuturan ayahnya tentang pujiannya pada gurunya itu dan ia sangat ingin melihat sendiri bagaimana hal dari Imam Syafi’i itu. Pada suatu hari Imam Ahmad mengajak Imam Syafi’i untuk menginap di rumahnya selama satu malam. Oleh anak perempuan Imam Ahmad hal ini merupakan kesempatan untuk memperhatikan secara langsung tentang Imam Syafi’i yang diceritakan oleh ayahnya itu sehingga setiap apa yang dikerjakan oleh Imam Syafi’i di rumahnya pada malam itu tidak luput dari perhatiannya. Demikianlah Imam Syafi’i malam itu menginap di rumah Imam Ahmad dan keesokan harinya beliau pulang. Setelah Imam Syafi’i pulang, anak Imam Ahmad ini bercerita kepada ayahnya, “Wahai ayah, engkau selalu bercerita tentang kekaguman engkau akan gurumu tetapi tadi malam aku memperhatikan ada tiga hal yang menurut ananda tidak cocok untuk seorang ’alim”. Mendengar itu Imam Ahmad terkejut dan bertanya, “Apa itu hai anakku ?” Jawab anaknya, “Pertama aku melihat saat makan malam beliau makan cukup banyak yang tidak layak kiranya untuk orang ‘alim; kedua,  setelah masuk kamar aku memperhatikan bahwa beliau tidak keluar pada malam hari untuk sembahyang tahajud padahal itu adalah kebiasaan untuk orang ‘alim; dan ketiga, saat sembahyang shubuh aku tidak melihatnya berwudhu, tetapi langsung menjadi Imam Shubuh”. Mendengar perkataan anaknya Imam Ahmad menjadi sedih dan ingin segera bertemu dengan gurunya dan menanyakan hal itu secara langsung agar bisa menjelaskan hal itu pada anaknya. Pergilah Imam Ahmad menemui gurunya dan menanyakan hal itu. Mendengar perkataan Imam Ahmad, Imam Syafi’I tersenyum dan berkata, “Wahai Ahmad, benar perkataan anakmu itu. Adapun aku malam itu makan dirumahmu cukup banyak yang tidak selayaknya untuk orang ‘alim adalah karena untuk menyenangkan engkau karena aku tahu engkau sangat senang kalau hidanganmu kumakan dan aku yakin bahwa apa yang engkau berikan adalah dari jalan yang halal sedangkan makanan yang halal akan menjadi obat dari penyakit dan dapat membukakan hati. Setelah aku ke kamar untuk tidur kudapati mataku tidak mau terpejam dan tidak merasa mengantuk dan terbuka hatiku sehingga pada malam itu terbuka bagiku tujuh puluh masalah fikih yang mana hal itu menyibukkanku sepanjang malam tanpa tidur sama sekali sehingga aku tidak keluar untuk sembahyang tahajud karena sembahyang tahajud syaratnya adalah tidur sehabis Isya. Adapun Shubuh itu aku tidak berwudhu karena sepanjang malam itu wudhu’ku tetap terjaga akibat tidak kedatangan hadats dan tidak tidur. Demikianlah Ahmad, katakanlah pada anakmu itu”. Mendengar hal itu senanglah hati Imam Ahmad dan iapun segera pulang untuk menceritakan hal itu pada anaknya.
Selain sifat yang 20 maka sifat-sifat Allah Jalla wa Azza tidak dibatasi banyaknya maka wajib atas tiap-tiap mukallaf mengetahuinya secara ijmali saja di dalam perkataan  مُتَّصِفٌ بكُلِّ كَمَالٍ   (bersifat Allah dengan sifat-sifat yang sempurna). Dengan kalimat ini nyata bahwa sifat Allah tidak hanya 20 sifat karena setiap namaAllah yang ada pada Asmaul Husna menunjukkan pula sifat dari Dzat Tuhan kita Azza wa Jalla. Sifat yang mustahil pada Tuhan Jalla wa Azza dengan tafshil adalah 20 sifat lawan dari 20 sifat yang wajib. Sifat yang mustahil pada Allah Jalla wa Azza dengan ijmali yaitu di dalam perkataan :
مُنَزَّهٌ عَنْ كُلِّ نَقْصٍ وَمَا خَطَرَ بالبَالِ
Artinya : "Maha suci Tuhan dari sifat-sifat kekurangan dan Maha suci dari perkara yang terlintas di dalam hati".
Adapun 20 sifat yang wajib bagi Allah adalah :
1.    Wujud (وُجُوْدُ ) artinya ada mustahil tiada.
Dalilnya firman Allah Ta'ala :
اَللّهُُ الَّذِى خَلَقَ السَّموَاتِ والاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
Artinya : “Allah yang menjadikan langit, bumi dan yang ada diantara keduanya”. (As-Sajdah 32:4)
Dalil aqlinya :
وُجُوْدُ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ
Artinya : “Adanya sekalian makhluk”
Makhluk (yang dijadikan) ini disebut juga dengan alam yang berasal dari alamat artinya tanda yaitu tanda adanya Allah. Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat wujud hendaklah selalu mengingat Allah Ta'ala pada setiap yang wujud di alam karena Allah yang menjadikan sekaliannya. Hal ini dapat diibaratkan dengan seseorang yang memberi kita sesuatu hadiah, maka tiap-tiap kita melihat hadiah itu maka kita akan selalu ingat pula pada orang yang telah memberi hadiah itu. Oleh karena itu dengan melihat setiap sesuatu di alam maka seorang mukmin yang yakin adanya Allah tentu akan ingat pula pada Allah yang menjadikannya.
Diceritakan saat Uni Soviet dahulu ingin memasukkan paham atheisnya pada anak-anak Islam hal ini dilakukan melalui guru-guru yang mengajar disekolah. Diantara guru itu berkata pada muridnya, "Anak-anak ! Apakah kalian melihat papan tulis ?" Murid menjawab, "Melihat !" Kata guru, "Berarti papan tulis itu ada karena dapat dilihat. Apakah kalian melihat saya ?" Jawab murid, "Melihat !" Kata guru, "Berarti saya ada karena dapat dilihat". Katanya lagi, "Apakah kalian melihat Tuhan ?" Jawab murid, "Tidak !" Kata guru, "Berarti Tuhan tidak ada karena tidak dapat dilihat". Lalu ada seorang muridnya yang cerdas berkata, "Wahai kawan-kawan! Apakah kalian melihat akal pak guru ?" Jawab yang lain, "Tidak !" Lalu kata murid tadi, "Berarti guru kita tidak punya akal karena akalnya tidak dapat dilihat".  Wallahu muwaffiq.

2.    Qidam ( قِدَمٌ ) artinya sedia mustahil baharu.
Maksudnya wujud Allah Ta'ala atau ada Allah itu tanpa didahului atau diawali dengan tiada atau memang dari awalnya sudah ada mustahil baharu yaitu ada Allah didahului oleh tiada atau mengalami tidak ada sebelum ada Allah.
Dalilnya Firman Allah Ta'ala :
هُوَالاَوَّلُ وَالاخِرُ
Artinya : “Allah Ta'ala yang Awal dan Dia juga yang Akhir”. (Al-Hadiid 57:3)
Dalil aqlinya yaitu :
اَنَّهُ لَوْكَانَ حَادِثً لاحْتَاجَ الى مُحْدِثٍ وَهُوَ مُحَالٌ
Artinya : “Apabila Allah baharu maka berarti Ia akan butuh yang membaharukan-Nya maka hal itu mus-tahil”
Apabila pencipta butuh pada yang menciptakannya maka akan ada dua kemungkinan, yaitu pencipta I dijadikan pencipta II, pencipta II dijadikan pula oleh pencipta III demikian terus (disebut tasalsul), maka hal itu mustahil karena tidak akan ada habisnya ataupun pencipta I dijadikan pencipta II dan pencipta II pula dijadikan pencipta I (disebut daur) maka akan berkumpul dua sifat yang berlawanan yaitu qidam dan baharu pada setiap Tuhan maka hal itu mustahil pula.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat qidam hendaklah banyak bersyukur pada Allah Ta'ala yang menjadikannya mukmin dan muslim dengan taufik-Nya karena Iman dan Islam yang ada di hati kita itu sifatnya baharu seperti diri kita. Allah SWT banyak menjadikan makhluk-Nya yang bernama manusia, tetapi seperti yang kita lihat hanya sebagian kecil diantaranya yang beriman dan beragama Islam, maka kita harus mensyukuri hal itu karena untuk menetapkan nikmat itu tidak ada jalan selain mensyukurinya.
Dikisahkan bahwa saat seorang ulama menceritakan tentang orang terakhir masuk kesyurga dan apa yang didapatkannya serta namanya adalah maka banyak yang mendengar cerita itu tertawa karena merasa bahwa kisah itu menggelikan akan tetapi Syeikh Hasan Bashri menangis tersedu-sedu. Lalu teman-teman-nya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau menangis padahal yang lain tertawa ?” Jawabnya, “Alangkah beruntungnya orang itu seandainya akulah dirinya !” Tanya mereka, “Mengapa begitu bukankah ia masuk syurga paling akhir ?” Jawabnya, “Karena ia masih masuk ke syurga sedangkan diriku aku tidak tahu apakah akan bisa masuk kesyurga”.
3.    Baqo’ ( بَقَاءُ ) artinya kekal mustahil fana (binasa).
Allah bersifat kekal artinya adanya Allah tidak akan diakhiri dengan mati ataupun lenyap (hilang), tidak mengalami perubahan seperti muda, lalu tua karena Allah yang dahulu, sekarang ataupun nanti tetap tidak berubah.
Firman Allah Ta'ala :
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبّكَ ذُوالجَلاَلِ وَالإِ كْرَامِ
Artinya : “Kekal dzat Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan”. (Ar-Rahman 55:27)
Dalil aqlinya, yaitu :
اَنَّهُ لَوْكَانَ فَانِيًالَكَانَ حَادِثًا وَهُوَمُحََالٌ
Artinya : “Kalau Allah fana maka berarti Dia baharu, maka hal itu mustahil”.
Jika Allah dapat fana, maka keberadaan Allah saat ini adalah harus bukan wajib, maka tentu Dia butuh pada Dzat yang dapat menetapkan keberadaan Allah maka hal itu mustahil.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat baqo’ sementara dirinya bersifat fana hendaklah menyadari bahwa suatu saat ia akan mati sehingga banyak beristighfar dan bertaubat pada Allah karena kematian itu dapat datang pada dirinya tanpa diketahui waktunya. Firman Allah ta’ala :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُوْنَ
Artinya : “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengun-durkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.
Hingga bila waktu itu tiba maka kita mati dalam keadaan tidak membawa dosa.

Dikisahkan dua orang Bani Israil yang bersaudara dimana salah seorang dari mereka ahli ibadah yang sudah 40 tahun berkhalwat untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Adapun saudaranya selama 40 tahun menghabiskan waktunya dalam berbuat maksiat menurutkan hawa nafsu. Pada suatu hari ahli maksiat itu terbangun dari tidurnya dan didapatinya dirinya berada di dalam parit dan celana bau kencing dimana tanpa disadarinya dirinya tadi malam dalam keadaan mabuk maka semua itu terjadi. Dalam dirinya timbul rasa malu dan ia berpikir bagaimana keadaannya nanti bila dia mati dalam keadaan itu tentu amat sangat memalukan dan masuk keneraka tidak seperti saudaranya yang ahli ibadah yang akan menjadi ahli surga. Akhirnya dia menyesal dan bertaubat kepada Allah dan iapun naik ketempat saudara berkhalwat diatas bukit untuk ikut bersamanya beribadah. Adapun saudaranya yang ahli ibadah maka bertemu dengan setan dan berkata setan itu, “Alangkah bodohnya, engkau lelah beribadah selama 40 tahun dan masih tinggal lagi umurmu 40 tahun kenapa tidak engkau ikut akan saudaramu”. Mendengar perkataan setan itu berkata ahli ibadah itu dalam hatinya, “Masih tinggal umurku 40 tahun kalaulah aku ikut saudaraku selama 20 tahun dan nanti disisa umurku yang 20 tahun dapat aku kembali bertaubat dan beribadah kepada Allah”. Turunlah ia dari atas bukit sementara saudaranya naik ketempatnya. Saat sedang turun ia tergelincir dan jatuh menimpa saudaranya, lalu keduanya mati maka masuklah ahli maksiat tadi kesurga karena diterima Allah taubatnya sedang ahli ibadah tadi dimasukkan keneraka karena niatnya untuk bermaksiat kepada Allah. Wallahu muwafiq.
Dikisahkan ada seorang pemuda datang kepada Ibrahim bin Adham rhm. Ia berkata, ”Ya Aba Ishaq ! Aku adalah seorang yang suka bertaubat tetapi tidak sanggup menahan diriku untuk kembali kepada dosa. Berilah aku pengajaran semoga dapat menjadi jalan untukku menjaga diriku !” Kata Ibrahim, “Kalau engkau tetap ingin terus berbuat maksiat maka kerjakan saja olehmu tetapi engkau harus memenuhi syaratnya”. Kata pemuda itu dengan heran, “Wahai syeikh, bagaimana bisa begitu dan apa syarat yang harus kupenuhi ?” Kata Ibrahim, “Adapun syaratnya itu ada lima. Pertama kalau engkau ingin bermaksiat pada Allah, maka jangan engkau makan dari rezeki-Nya”. Kata pemuda itu, “Ya Syeikh, bagaimana dapat aku makan tidak dari rezeki-Nya sedangkan setiap yang ada diatas bumi dan dibawah langit makan dari rezeki-Nya”. Kata Ibrahim, “Seburuk-buruk hamba itu engkau. Engkau makan rezeki-Nya tapi bermaksiat kepada-Nya”. Kata pemuda itu, “Wahai Syeikh, apa syarat ke-dua ?” Kata Ibrahim, “Yang ke-dua, kalau engkau bermaksiat maka bermaksiatlah tapi jangan diatas bumi-Nya dan dibawah langit-Nya”. Kata pemuda itu, “Wahai Syeikh, bagaimana dapat kulakukan hal itu, sedangkan selain diatas bumi-Nya dan dibawah langit-Nya tidak ada tempat untuk didatangi”. Kata Ibrahim, “Seburuk-buruk hamba itu engkau, engkau bermaksiat dengan memakan rezeki-Nya dan ditempat milik-Nya”. Tanya pemuda itu, “Apa syarat ke-tiga, ya Syeikh ?” Jawab Ibrahim, “Kalau engkau bermaksiat, carilah tempat dimana Ia tidak dapat melihatnya !” Kata pemuda itu lagi, “Wahai Syeikh, bagaimana dapat kulakukan hal itu, sedangkan Dia Maha Melihat. Tidak ada suatu kejadian diatas bumi dan dibawah langit ini kecuali Dia melihatnya”. Kata Ibrahim, “Seburuk-buruk hamba itu engkau. Engkau makan rezeki-Nya, tinggal ditempat-Nya dan durhaka di hadapan-Nya”. Pemuda itu bertanya lagi sambil menangis, “Wahai Syeikh, apa pula syarat ke-empat ?” Kata Ibrahim, “Nanti saat Malaikat maut datang padamu untuk mencabut nyawa, katakan padanya, “Wahai Malaikat maut, tunggulah sebentar agar aku bertaubat dahulu dari segala maksiatku lalu engkau cabut nyawaku !” Kata pemuda itu, “Wahai Syeikh, bagaimana hal itu dapat kulakukan sedangkan ajal itu bila telah sampai maka tidak dapat dimajukan dan dimundurkan walaupun sesaat. Wahai Syeikh apa syarat ke-lima”. Kata Ibrahim, “Syarat kelima adalah engkau sudah mengetahui dimana tempatmu nanti di syurga ataukah di neraka. Kalau engkau sudah tercatat sebagai penghuni syurga maka bermaksiatlah sesukamu karena tidak akan memberi bekas maksiatmu akan ketentuan Allah. Jika tempatmu nanti di neraka, maka bermaksiatlah sesukamu, karena ketaatanmu tidak akan mampu mengeluarkan engkau dari neraka”. Kata pemuda itu, “Wahai Syeikh, bagaimana dapat kuketahui hal itu sedangkan itu adalah hal yang ghaib bagiku. Wahai Syeikh, cukuplah sudah pengajaranmu ini, sungguh akan kuingat selalu dalam hidupku sebagai pengajaran yang sangat berharga, berharap aku taufik Allah atasku hingga dapat kuatasi nafsuku”.
4.    Mukholafatuhu lil hawadits ( مُخَالَفَةُ لِلْحَوَادِثِ ) artinya berbeda dengan yang baharu mustahil sama atau seumpama dengan yang baharu.
Firman Allah Ta'ala :
لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْءٌ وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Artinya : “Dia tidak seumpama dengan sesuatu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat”. (Asy-Syuuro 42:11)

Dalil aqlinya yaitu :
اَنَّهُ لَوْكَانَ مُمَاثَلاًلِلْحَوَادِثِ لَكَانَ حَادِثًا وَهُوَمُحَالٌ
Artinya : “Apabila Dia sama seperti yang baharu berarti Dia baharu, maka hal itu mustahil”.
Allah adalah Dzat yang Qodim seperti telah disebutkan sebelumnya, bila Dia sama seperti yang baharu maka Dia akan bersifat dengan sifat yang baharu berarti ternafi sifat Qodim, maka perkara itu mustahil karena dua yang berlawanan tidak akan mungkin (mustahil) berkumpul pada Dzat yang satu. Oleh karena itu Dzat Allah berbeda dengan dzat yang baharu, sifat-sifat yang ada pada Allah juga berbeda dengan sifat-sifat yang ada pada yang baharu seperti Ada-Nya, Hidup-Nya, Mendengar-Nya, Melihat-Nya, Perbuatan-Nya, Perkataan-Nya dan semua sifat yang lain berbeda dengan yang baharu walaupun nantinya ada kesamaan nama dengan yang baharu.

Kesimpulannya dengan dikatakan Allah berbeda dengan yang baharu :
a.    Mustahil Allah Ta'ala benda atau berjirim (berjasad) seperti batu, kayu atau lainnya. Arti berjirim adalah Dzat Allah mengambil ruang (memiliki volume).
b.    Mustahil Allah Ta'ala a’radh (sifat) yang melekat pada jirim. A’radh artinya tiap-tiap sifat yang baharu seperti warna, rasa, gerak atau diam, berkumpul atau berpisah dan lainnya. Setiap yang dapat di indera dengan indera yang lima adalah a'rodh. A’radh merupakan bagian dari alam karena alam terdiri atas jirim dan a’rodh sedangkan alam ini baharu.
c.    Mustahil Allah Ta'ala bertempat jirim seperti diatas, dibawah, dikanan, dikiri, didepan ataupun dibelakang seperti diatas Arasy, dibawahnya, dikanannya dan lainnya.
d.    Mustahil  Allah Ta'ala memiliki arah karena arah merupakan sifat anggota yang baharu, seperti atas sifat anggota kepala, bawah sifat anggota kaki atau lainnya, maka tidak ada pada sisi Allah naik atau turun ke langit, berjalan atau berlari. Adapun apa yang ada pada hadits maka perlu dipahami dengan menyerahkan hakikat maknanya pada Allah Ta'ala atau mentakwilkan dengan apa yang pantas untuk Allah.
e.    Mustahil Allah Ta'ala dibatasi oleh tempat atau waktu seperti pada Arasy atau lainnya atau berlaku pada Allah siang dan malam karena tempat dan waktu adalah makhluk yang dijadikan Allah.
f.    Mustahil sifat-sifat Allah sama seperti sifat yang ada pada yang baharu seperti bersifat dengan Kudrat seperti Kudrat yang baharu, bersifat dengan Iradat yang sama dengan Iradat yang baharu dan lainnya. Kalaupun ada kesamaan nama hal itu tidak mengapa tetapi pada hakikatnya tidaklah sama.
g.    Mustahil Allah Ta'ala bersifat dengan  besar atau kecil  adapun  yang dimaksud pada Qur’an seperti اَللَّهُ الْكَبيْرُالْمُتَعَالُ  (artinya : “Allah Ta'ala yang Maha Besar serta Maha Tinggi”) maksud dari besar adalah pada ketuhanan dan derajat sebagaimana seorang yang mempunyai kedudukan dan kemuliaan dapat dikatakan juga sebagai orang besar walau secara fisik tubuhnya mungkin kecil dibanding orang lain.
h.    Mustahil Allah Ta'ala berkeinginan untuk mengambil manfaat/faedah dalam perbuatan dan hukum Allah, karena hal itu menunjukkan kelemahan dan kekurangan seperti menyuruh beribadah karena berkeinginan supaya sempurna atau melarang sesuatu karena takut ada yang mudharat akan terjadi pada Allah. Semua itu mustahil karena Allah Maha Kaya atas sekalian makhluk.
i.    Mustahil Allah dekat atau jauh dengan jirim. Adapun apa yang dikatakan pada firman Allah Ta'ala :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya : “Sesungguhnya Kamilah yang menjadikan manusia dan Kami mengetahui sekalian yang dibisikkannya dalam hatinya dan Kami dekat padanya lebih dekat urat dari lehernya”. (Qoof 50:16)
Maksudnya Sama', Bashor dan Ilmu Allah meliputi dirimu dan kejadianmu itu menurut ketentuan Allah ta'ala tanpa ada selisih sedikitpun dari ketentuan-Nya jadi Allah Ta'ala itu lebih mengetahui tentang dirimu lebih dari pengetahuanmu tentang dirimu sendiri dan Allah Ta'ala mengawasimu dimanapun engkau berada jadi jauhkanlah dirimu dari maksiat.
j.    Mustahil Allah Ta'ala seperti apa yang dipikirkan seseorang atau yang terlintas didalam hati karena yang didalam hati itu semula tidak ada, lalu ada dan kemudian tidak ada lagi yang mana merupakan sifat yang baharu berarti yang dihati itupun baharu.
Bila ditanyakan kalau seperti itu maka bagaimana cara kita beriman kepada Allah? Jawabnya : “I’tikadkan dan renungkan dalam hati bahwa Dzat Allah itu ada dengan sifat-sifat Allah seperti apa yang diterangkan dalam ilmu ‘Aqoid bahwa semua itu tidak sama dengan sesuatu disertai banyak berzikir (Laa ilaaha illallaah) dan berdoa pada Allah memohon dimudahkan memahami dan dijauhkan dari was-was syetan. Insya Allah nanti akan timbul perasaan dan keyakinan yang teguh dalam diri kita bahwa Allah ada lengkap dengan sifat-sifat Allah yang wajib bagi Allah. Itulah iman yang sebenarnya (hakikat iman). Untuk mengenal ataupun mengetahui Dzat Allah bukan dengan panca indra kita tetapi dengan hati atau akal kita yang ditunjuki oleh Allah.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat mukholafatuhu lil hawadits hendaklah banyak bertasbih memaha-sucikan Allah dari yang selain Allah, bila timbul khatir (suara hati) yang membisik-bisikkan tentang Allah apa yang tidak sesuai dengan sifat ini maka mahasucikan Dia dari hal itu karena bisikan-bisikan itu dari setan yang ingin menjerumuskan manusia dalam kesesatan.
Firman Allah ta’ala :
إِنمَّـَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُوْنَ
Artinya : “Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.
5.    Qiyamuhu ta'ala binafsihi ( قِيَامُهُ تَعَالى بنَفْسِهِ ) artinya berdiri Allah Ta'ala dengan sendirinya, mustahil tidak berdiri dengan sendirinya.
Maksudnya Allah Ta'ala tidak membutuhkan tempat bersandar/berdiri seperti sifat  karena Allah Ta'ala bukan sifat dan tidak membutuhkan pada yang membuat atau menjadikan Allah karena Allah Ta'ala Qodiim.
Firman Allah Ta'ala :
اِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya : “Allah Ta'ala yang kaya dari sekalian alam”.
Demikian juga firman Allah :
اَللَّهُ لااِلهَ اِلاَّهُوَالْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَتَأْخُذُه سِنَةٌ وَّلاَ نَوْمٌ
Artinya : “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Hidup, yang Berdiri Sendiri, tidak menimpa Allah mengantuk dan tidak pula tidur”. (Al-Baqarah 2:255)
Dalil aqlinya yaitu :
اَنَّه لَوِحْتَاجَ اِلى مَحَلٍّ لَكَانَ صِفَةً وَكَوْنُه صِفَةً مُحَالٌ وَلَوِاحْتَاجَ اِلى مُخَصِّصٍ لَكَانَ حَادِثًا وَكَوْنُه حَادِثًا مُحَالٌ
Artinya : “Apabila Allah Ta'ala membutuhkan tempat berdiri maka berarti Dia adalah sifat (bukan Dzat) dan Dia merupakan sifat mustahil dan bila Dia membutuhkan pada yang menjadikan maka berarti Dia baharu maka hal itupun mustahil”.

Dikatakan tidak membutuhkan tempat berdiri karena Allah bukan sifat karena yang membutuhkan tempat berdiri adalah sifat, seperti hitam yang terdapat pada peci, manis yang ada pada gula, asin pada air laut. Setiap sifat melekat pada dzat, karena sifat itu merupakan ciri dari dzat yang mana dzat dikenal dan diketahui adanya adalah dengan adanya sifat itu sedang dzat tidak membutuhkan tempat berdiri. Allah Ta'ala adalah Dzat maka Allah tidak membutuhkan tempat berdiri. Demikian pula bila Allah Ta'ala membutuhkan pada yang menjadikan maka Allah Ta'ala akan sama seperti kita yang baharu, maka seperti yang terdahulu hal itu mustahil.

Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat qiyamuhu Allah binafsihi hendaklah selalu menyampaikan hajat atau keinginannya dan kebutuhannya hanya pada Allah Ta'ala saja karena Dia yang Kaya pada hakikatnya jadi kalau kita meminta maka mintalah kepada Allah, sedangkan makhluk itu semuanya hakikatnya adalah faqir atau masih membutuhkan maka bila kita minta kebutuhan kita pada yang faqir bagaimana hajat dan keinginan kita dapat terpenuhi dengan sempurna. Kalaupun kita meminta sesuatu pada seseorang, maka mohonlah terlebih dahulu kepada Allah Ta'ala karena jalan Allah Ta'ala memberi itu terkadang dengan sebab orang lain itu dan terkadang dengan sebab yang tidak kita sangka ataupun tanpa melalui suatu sebab atau perantara. Firman Allah ta’ala :
إِنَّ الله لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَشْكُرُوْنَ
Artinya    :    “Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”.
6.    Wahdaniat ( وَحْدَانِيَةِ ) artinya Esa yaitu esa dzat, sifat dan perbuatan Allah mustahil Allah Ta'ala berbilang pada dzat, sifat atau perbuatan Allah.
Maksud Allah Ta'ala Esa pada Dzat Allah adalah :
اَنَّهُ لَيْسَتْ مُرَكَّبَهً مِنْ اَجْزَآءٍ مُتَعَدِّدَةٍ
Artinya : “Bahwasanya Dzat Allah itu tidak ganda dan tidak tersusun atas bagian-bagian”.
Maksud Allah Ta'ala Esa pada Sifat Allah adalah :
اَنَّه لَيْسَ لَه صِفَتَانِ فَاَكْثَرُمِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ كَقُدْرَتَيْنِ وَهكَذَاوَلَيْسَ لِغَيْرِه صِفَةٌ تُشَابهُ صِفَتَه تَعَالى
Artinya : “Sifat Allah tidak ganda yang sejenis seperti memiliki dua Kudrat dan tidak ada yang selain Allah yang memiliki sifat yang sama seperti sifat Allah Ta'ala”.
Maksud Allah Ta'ala Esa pada perbuatan Allah adalah :
اَنَّه لَيْسَ لِغَيْرِه فِعْلٌ مِنَ الاَفْعَالِ
Artinya : “Tidak ada selain Allah yang berbuat seperti perbuatan Allah.
Firman Allah Ta'ala :
قُلْ هُوَاللَّهُ اَحَدٌ
Artinya : “Katakanlah ya Muhammad ! Allah itu Esa”.
Dalil aqlinya yaitu :
اَنَّه لَوْكَانَ مُتَعَدِّدًالَمْ يُوْجَدْشَيْءٌ مِنْ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ
Artinya : “Bahwasanya apabila Dia berbilang maka tidak akan wujud sesuatu dari sekalian makhluk ini”.
Hal ini disebabkan bahwa bila ada beberapa orang ingin membuat satu benda yang sama maka tidak akan terjadi benda itu, bila salah satu dapat didahului oleh yang lain maka menunjukkan lemah dan membuat sesuatu yang sudah dibuat yang lain menunjukkan melakukan perbuatan yang sia-sia berarti jahil. Bila ada yang mengatakan bahwa sepakat keduanya bila ingin membuat perkara yang satu, maka menunjukkan terpaksa dalam berbuat karena harus mufakat dengan apa yang diinginkan taulannya maka hal itu menunjukkan lemah, karena kehendaknya tergantung pada kehendak taulannya. Kalau salah satu memiliki kehendak yang berbeda maka tidak akan wujud alam semesta. Wujudnya alam semesta dengan segala keteraturannya menunjukkan adanya kehendak yang satu dalam penciptaan yang berasal dari Dzat yang satu pula yaitu Allah Ta'ala.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat wahdaniat hendaklah selalu merasa melihat Allah di dalam tiap-tiap kejadian yang dilihatnya karena setiap yang terjadi semuanya berasal dari Allah seperti apa yang difirmankan Allah dalan Al-Qur’an :
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللّهِ
Artinya    :    “Katakanlah (ya Muhammad) : Tiap-tiap sesuatu (berasal) dari sisi Allah”. (An-Nisa' 4:78)
Dan juga firman Allah :
وَاللّهُ خَلَقَ كُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya : “Allah-lah yang menjadikanmu dan apa-apa yang kamu perbuat”. (Ash-Shoffaat 37:96)
Jadi setiap perbuatan kitapun pada hakikatnya adalah perbuatan Allah. Adapun yang dibebankan kepada kita berupa syara’, maka semua itu disandarkan pada niat. Bila kita ingin bergerak maka kita digerakkan, bila ingin memegang maka tangan kita digerakkan untuk memegang demikianlah maka pahala dan dosa disandarkan pada hati yang ruhani sebagaimana pahala dan dosa juga bersifat ruhani. Adapun perbuatan kita merupakan tanda lahiriah dari yang ada didalam hati. Sering terjadi sesuatu pada diri kita yang tidak kehendaki seperti sakit, jatuh, tua, lupa dan lainnya.
Kemudian lawan dari Wahdaniat adalah ta’addud (berbilang) seperti apa yang telah disebut Syeikh Sanusi yaitu :
وَكَذَا يَسْتَهِيْلُ عَلَيْهِ تَعَالى أَنْ لايَكُونَ وَحِدًا باَنْ يَكُوْنَ مُرَكَّبًافي ذَاتِهِ أَوْ صِفَاتِهِ أَوْ يَكُوْنَ مَعَهُ في الْوُجُوْدِ مُؤَثِّرٌ في فِعْلٍ مِنَ اْلأَفْعَالِ
Artinya    :    “Dan seperti itu pula mustahil atas Allah ta'ala bahwasanya Dia tidak Esa dengan adalah Dia bersusun pada Dzat-Nya atau sifat-Nya atau ada bersama-Nya pada  mewujudkan yang memberi bekas perbuatannya dari yang selain Allah”.
Dimaksud dengan bersusun adalah dapat dibagi-bagi seperti tubuh kita ini sebenarnya satu tetapi tersusun atas anggota-anggota atau dapat diuraikan menjadi bagian-bagian yang sangat kecil. Sedangkan Dzat Allah adalah tunggal yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak terdiri atas anggota-anggota seperti wajah, tangan, kaki, jari, betis, mata dan lainnya sungguh telah terdahulu bahwa Allah ta’ala bersifat Mukholafatuhu lilhawadits sedangkan itu semua merupakan sifat dari yang baharu. Adapun yang warid dari Al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan bahwa Allah memiliki hal itu maka untuk memahaminya ditempuh oleh para ulama Ahlu sunnah dengan dua jalan. Jalan pertama yang ditempuh oleh ulama salaf dengan tidak membicarakan hal itu cukup mengimankan apa yang disebutkan pada Qur'an dan Sunnah tanpa membahasnya lebih jauh tentang maksudnya dan mempermasalahkan hal itu digolongkan perbuatan bid'ah cukuplah hal itu diserahkan pada Allah dan Rasul-Nya. Jalan kedua yang ditempuh ulama-ulama khalaf adalah dengan mentakwilkannya pada arti yang pantas dengan menyerahkan hakikatnya pada Allah seperti firman Allah ta'ala :
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبّكَ ذُوالْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
Artinya    :    "Dan kekallah wajah yaitu Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan".
Wajah pada ayat ini dimaknai dengan Dzat. Lalu firman-Nya lagi :
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلاَتخُـَاطِبْنِيْ في الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا إِنَّهُمْ مُغْرَقُوْنَ
Artinya    :    "Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan". (Huud : 37)
Mata pada ayat ini ditakwil menjadi pengawasan. Firman-Nya :
إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنمَّـَا يُبَايِعُوْنَ اللّهَ يَدُ اللّهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ
Artinya : "Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka …".
Tangan pada ayat ini dimaknai dengan Qudrat atau kekuasaan. Demikannlah dengan yang lainnya. Adapun segolongan orang yang mengatakan bahwa Allah bertangan, berkaki, memiliki wajah dan lainnya tapi mengatakan bahwa tangan, kaki atau wajah Allah tidak sama dengan makhluk-Nya sungguh telah tersesat dan tidak mengerti hakikat dari bahasa atau kata-kata yang mereka ucapkan. Mereka ini digolongkan sebagai golongan Mujassimah.
7.    Qudrat ( قُدْرَةُ ) artinya Kuasa mustahil lemah.
    Firman Allah Ta'ala :
اِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِ يْرٌ
Artinya : “Sesungguhnya Allah Ta'ala atas tiap-tiap sesuatu Maha Kuasa”.
Adapun dalil aqlinya :
اَنَّهُ لَوْكَانَ عَاجِزًا لَمْ يُوْجَدْ شَيْءٌ مِنْ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ
Artinya : “Bahwasanya Dia jika lemah, maka tidak akan wujud sesuatu dari sekalian makhluk (alam semesta) ini”.
Qudrat Allah adalah kekuasaan yang mutlak pada segala sesuatu didalam alam semesta artinya setiap apa yang kita lihat ini merupakan hasil qudrat Allah Ta'ala. Adapun qudrat yang kita miliki hanyalah nama saja sedangkan apa yang kita perbuat pada hakikatnya adalah perbuatan Allah Ta'ala seperti apa telah disebutkan sebelumnya pada Esa dalam perbuatan Allah.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat qudrat hendaklah selalu tawadhu’, tidak takabur terhadap apa yang dihasilkan dari perbuatannya karena apa yang didapatkannya itu walau pada lahirnya tampak dari dirinya, tetapi sebenarnya dari Allah jadi harus kita syukuri karena berapa banyak orang yang memiliki keahlian dan ilmu yang cukup telah berusaha dengan sungguh-sungguh tetapi tidak mendapatkan hasil. Seorang mukmin juga harus banyak merasa takut pada Allah Ta'ala karena setiap saat bila Dia menghendaki maka dapat saja ditimpakan-Nya pada kita apa yang tidak kita inginkan dan mengambil kembali apa yang telah diberikan-Nya karena kurangnya rasa syukur atau adanya kesombongan dan rasa ujub dalam diri kita karena Dia kuasa mewujudkan apa yang diinginkan Allah. Allah berfirman tentang Iblis :
أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ
Artinya : “ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.
Demikian pula nyata mustahil Allah Ta'ala lemah karena seorang manusia yang lemah saja untuk mengangkat beban seberat tubuhnya tidak akan mampu apabila untuk mengatur alam semesta yang demikian luas dan teratur tidak diterima akal dapat dilakukan bila Allah Ta'ala lemah.
8.    Iradat ( اِرَدَ ةٌ ) artinya berkehendak mustahil terpaksa.
Dimaksud dengan iradat artinya bahwa apa yang terjadi semuanya di alam semesta ini memang sudah merupakan kehendak Allah Ta'ala dan mustahil ada yang terjadi dialam semesta sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya atau karena Dia terpaksa melakukannya.
    Firman Allah Ta'ala :
فَعَّالٌ لِّمَايُرِيْدُ
Artinya    :    “Melakukan Allah Ta'ala apa-apa yang dikehendaki-Nya”. (Al-Buruj 85:16)
Dalil aqlinya :
اَنَّهُ لَوْكَانَ كَارِهًا لَكَنَ عَاجِزًا وَكَوْنُه عَاجِزًا مُحَالٌ
Artinya : “Bahwasanya jika Dia terpaksa membuat sesuatu atau mentiadakannya maka tentu Dia lemah dan Dia lemah mustahil”.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Iradat bahwa ia bersyukur pada Allah Ta'ala atas tiap-tiap nikmat karena nikmat yang kita terima merupakan anugerah Allah yang kalau tidak karena kehendak-Nya tidak akan dapat terjadi. Rasa syukur itu wajib kita haturkan pada-Nya karena bila kita tidak bersyukur berarti kufur yaitu kufur nikmat yang akan mendatang-kan azab yang pedih seperti firman-Nya :
وَلَئِنْ كَفَرْتمْ اِنَّا عَذَابِيْ لَشَدِيْدُ
Artinya : “… dan bila kalian kufur (yaitu atas nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
Kemudian kita wajib sabar atas tiap-tiap bala dunia karena apa yang datang baik hal baik ataupun yang buruk semuanya dari Allah yaitu apa yang sudah ditentukan-Nya. Kesabaran akan mendatangkan pahala yang besar dan merupakan jalan menuju syurga. Firman Allah Ta'ala :
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya : “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
Perlu kita ketahui pula perbedaan antara perintah Allah dan iradat Allah supaya tidak terjadi kesalahan dalam memahami Al-Qur’an, yaitu :
-    Ada sesuatu yang diperintahkan Allah dan Dia-pun menghendakinya seperti iman yang ada pada hati setiap orang beriman, Nabi-nabi dan Rasul-rasul demikian pula ketaatan para Rasul atas setiap perintah Allah.
-    Ada sesuatu yang diperintahkan Allah tetapi Dia tidak menghendakinya, seperti iman pada hati Fir’aun, Namrud dan orang yang kafir. Allah memerintahkan mereka beriman dengan diutusnya Rasul-Nya pada mereka tetapi telah tersurat pada ketentuan Allah bahwa mereka tidak beriman maka dakwah para Rasul dengan mu’jizatnya tidak membekas di hati mereka.
-    Ada sesuatu yang tidak diperintahkan Allah tetapi Dia menghendakinya, seperti perbuatan maksiat diantaranya berzina, mencuri, membunuh dan lainnya tetapi kita lihat banyak terjadi maksiat disekitar kita terutama pada masa sekarang. Hal ini karena dalam ketentuan Allah demikianlah adanya seperti hadits Nabi yang menceritakan fitnah yang akan terjadi selepas beliau wafat sampai hari kiamat.
-    Ada sesuatu yang tidak diperintahkan Allah dan Dia-pun tidak menghendakinya seperti kafir dan maksiat pada para rasul dan anbiya’-Nya.
Jadi kalau kita dapat beriman sedangkan kita hanya mendengar kabar tentang Nabi kita tanpa menyaksikan beliau ataupun mukjizatnya maka hal itu merupakan karunia yang tidak ternilai yang wajib kita syukuri dengan berbuat taat.  Firman Allah ta’ala :
وَلَوْ شَآءَ الله مَا اقْتَتَلَ الَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتِ وَلَـكِنَّ اخْتَلَفُوْا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ ﺝ وَلَوْ شَآءَ الله مَا اقْتَتَلُوْا وَلَـكِنَّ الله يَِفْعَلُ مَا يُرِيْدُ
Artinya     :    “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.
Firman Allah ta'ala :
فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ
Artinya : “… maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya” (Fathir 35:8)
Firman Allah ta’ala :
وَلاَتَهِنُوْا وَلاَتحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ الأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya : “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.(Ali Imroon 3:139)

9.    Ilmu ( عِلْمٌ ) artinya Mengetahui mustahil jahil.
Ilmu Allah adalah mutlak dan yakin yaitu ilmu yang tidak dida-hului oleh jahil, bukan karena belajar, tanpa diselipi keraguan, tanpa adanya lupa dan hasil dari coba-coba berbeda dengan ilmu kita dimana sebelumnya tidak tahu lalu belajar dan terkadang masih diragukan, suka terlupa dan banyak merupakan kesimpulan setelah melakukan percobaan yang berulang-ulang. Allah mengetahui yang nyata dan yang ghoib. Semua itu jelas bagi Allah tanpa adanya kesamaran atau keraguan.

Firman Allah Ta'ala :
وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Artinya : “ … dan Allah Ta'ala atas tiap-tiap sesuatu Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah 2:282)
Demikian juga firman Allah :
هُوَاللّهُ الَّذِيْ لاَاِلهَ اِلاَّهُوَ، علِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ، هُوَ الرَّحمنُ الرَّحِيْمِ
Artinya : “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan kecuali hanya Dia, yang Mengetahui sekalian yang ghoib dan yang nyata. Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyar 59:22)
Adapun dalil aqlinya yaitu :
اَنَّهُ لَوْكَانَ جَاهِلاًلَمْ يَكُنْ مُرِيْدًاوَهُوَ محـَالٌ
Artinya : “Bahwasanya Dia apabila Jahil tentu Dia tidak memiliki kehendak dan hal itu mustahil”.
Hal ini dikarenakan kehendak itu didasarkan dengan adanya ilmu. Kemudian lagi untuk membuat sesuatu teratur tentunya harus berilmu sebagaimana kita lihat dalam kehidupan orang yang merencanakan atau berkehendak untuk membuat sebuah bangunan yang kokoh maka perencanaannya didasari dengan ilmu yaitu ilmu arsitektur. Untuk menjadikan alam semesta dengan keteraturan dan ukuran-ukuran yang tertentu seperti kadar udara yang kita hirup, susunan anatomi tubuh yang demikian sempurna tidak mungkin yang merencanakannya seorang yang jahil. Bila kita memandang diri kita sendiri maka akan kita lihat bahwa ketiga sifat Allah itu pasti wujud yaitu ilmu, iradat dan qudrat. Allah berfirman :
وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
Artinya : “Pada diri kalian sendiri apakah kalian tidak memper-hatikan”. (Adz-Dzaariyat 51:21)
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Alim hendaknya sangat takut melakukan maksiat walaupun masih dalam bentuk keinginan atau niat sekalipun karena Tuhannya sangat mengetahui seluruh keadaan hatinya dan perbuatannya seperti firman Allah :
إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Artinya : “Sesungguhnya Allah sangat Mengetahui dengan apa yang ada di dalam hatimu”. (Ali-Imran 3:119)
Demikian pula seperti disebutkan sebelumnya, sebenarnya yang ada didalam diri kita sebenarnya hanya niat atau keinginan yang mana yang terlahir dalam perbuatan kita adalah wajud dari keinginan hati kita yang diketahui Allah lalu dijadikan-Nya apa yang kita perbuat seperti yang kita inginkan. Jadi bila kita mengaku beriman dan mengakui bahwa Allah-lah yang Alim hendaknya menjaga hati selalu dimanapun dan bagaimanapun keadaan kita. Kita harus malu apabila ada keinginan untuk berbuat maksiat karena Dia mengetahuinya dengan sangat jelas tanpa ada keraguan sedikitpun karena ilmu Allah sempurna. Demikian juga dalam beribadah hendaklah kita menjaga keikhlasan hati karena dalam beribadah Allah tidak hanya melihat zhohir kita tetapi juga hati kita. Firman Allah ta’ala :
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْ لاَتُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَاْلأَذَى كَالَّذِى يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَآءَ النَّاسِ وَلاَيُؤْمِنُ بِاللهِ وَالءيَوْمِ اْلآخِرِ
Artinya    :    “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu meng-hilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian”.
Sabda Nabi SAW :
اِنَّ اللّهَ تَعَالَى لاَيَنْظُرُ اِلَى صُوَرِكُمْ وَاَبْشَارِكُمْ وَاِنمَّـَا يَنْظُرُ اِلَى قُلُوْبكُمْ
Artinya : “Sesungguhnya Allah ta'ala tidak memandang kepada rupa kamu dan badan kamu hanyasanya Dia memandang kepada hati kamu”.
Adapun lawan dari ilmu adalah jahil dan apa yang semakna dengannya yaitu syak (ragu-ragu), waham (dugaan), zhon (kira-kira) demikian pula tidak ada pada ilmu Allah Ta'ala lupa, lalai, mudah dan sukar karena didalamnya ada unsur jahil.
10.    Hayat ( حَيَاةٌ ) artinya Hidup mustahil mati.
Dimaksud dengan hayat yaitu hidup yang bukan dengan nyawa atau ditandai dengan nafas berbeda dengan hidup kita yang mempunyai nyawa dan ditandai dengan adanya nafas yang mana bila nafas terputus maka nyawa kitapun tercabut lalu mati. Hidup Allah adalah Baqo' yaitu kekal tanpa diakhiri dengan mati karena bukan dengan nyawa karena setiap yang bernyawa akan mati.
Firman Allah Ta'ala :
وَتَوَكَّلْ عَلَى الحَيِّ الَّذِيْ لاَ يمُوْتُ
Artinya : “Bertawakkallah engkau pada Tuhan Yang Hidup yang tidak akan mati”.
Adapun dalil aqlinya, yaitu :
اَنَّه لَوْكَانَ مَيّتًالَمْ يَكُنْ قَادِرًاوَلاَمُرِيْدًاوَلاَعَالِمًاوَهُوَمحـَالٌ
Artinya : “Bahwasanya jika Dia mati maka Dia tidak akan memiliki qudrat, iradat dan ilmu sedangkan hal Allah tidak memiliki qudrat, iradat dan ilmu mustahil”.
Hal ini dapat dipastikan karena seperti kita lihat orang yang mati diperlakukan apa saja oleh yang hidup tidak akan dapat berbuat apa-apa karena sifat-sifat yang seperti diatas sudah tidak ada padanya. Demikian pula Allah tidak mungkin mati karena jika Dia mati tentu tidak akan ada alam ini karena akan hancur.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat hayat hendaknya banyak bertawakkal atau menyerahkan dirinya kepada Allah Ta'ala karena hanya pada yang hidup kekal kita dapat menyandarkan diri kita sedangkan pada yang mungkin mati maka kita tidak dapat menyerahkan urusan kita karena bila suatu saat ia mati tentu urusan kita akan terbengkalai sedangkan karena sakit saja dapat membuat urusan tidak lancar apalagi mati.

Diceritakan bahwa Nabi Sulaiman AS telah memasukkan seekor semut kedalam sebuah wadah tertutup dan sebutir gandum sebagaimana perkataan semut bahwa dalam setahun ia dapat menghabiskan sebutur gandum. Setelah setahun maka Nabi Sulaiman AS membuka wadah dan didapatinya gandum itu masih bersisa separuh, lalu beliau menghardik semut itu dengan katanya, “Engkau telah berbohong padaku !” Jawab semut, “Sesungguhnya aku tidak berbohong hanya saja aku bertawakkal pada Allah sehingga dalam keadaan bebas aku memakan tanpa rasa khawatir bahwa Tuhanku lalai dalam membagi rezeki, akan tetapi aku terhadapmu khawatir karena engkau dapat lupa dan mati, bagaimana bila hal itu terjadi atasmu. Itulah sebabnya tidak kuhabiskan gandum itu karena ada rasa khawatir dalam diriku”. Demikianlah semut itu yang menyerahkan urusan rezekinya pada Allah ta’ala karena Allah telah berfirman :
وَمَا مِنْ دَآبَّةٍ فِى اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَابٍ مُبِيْنٍ
Artinya : “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.
Diceritakan bahwa seorang sahabat dari Ibrahim bin Adham rhm. berencana untuk pergi musafir karena urusan perdagangannya. Sebelum pergi ia sudah berpamitan dan meminta maaf pada seluruh kerabat dan tetangganya sebagaimana lazimnya orang masa itu yang akan pergi musafir. Kemudian sahabatnya itupun pergi tetapi tidak berapa lama kemudian Ibrahim bin Adham mendengar bahwa sahabatnya itu telah kembali dan mengurung dirinya di rumah saja. Iapun pergi mendatangi sahabatnya itu untuk menanyakan halnya tentang segeranya ia kembali. Ia bertanya, “Hai sahabatku, kudengar engkau pergi musafir untuk berdagang tetapi sekarang engkau sudah kembali dengan segera tanpa memberitahu dan berdiam diri di rumah saja”. Jawab sahabatnya, “Engkau benar, aku telah pergi tapi segera kembali karena aku telah melihat perkara yang begitu mengagumkan dan kujadikan pengajaran yang sangat berharga”. Tanya Ibrahim, “Ceritakan padaku kisahmu”. Kata sahabatnya, “Saat aku dalam perjalanan, aku berhenti di sebuah Mesjid untuk sholat dan beristirahat sebentar. Saat aku beristirahat tampak olehku seekor burung kecil yang sayapnya patah dan tidak dapat terbang. Saat itu aku berpikir bagaimana cara burung itu mencari makan. Tiba-tiba aku melihat seekor burung yang lain terbang menghampiri burung itu dengan membawa makanan sehingga burung yang cacat itupun makan dari bawaan temannya. Akupun berpikir bahwa seandainya aku bertawakkal saja pada Allah dengan sepenuh hatiku maka rezekiku tidak perlu aku khawatirkan karena apa yang sudah menjadi bagianku pasti akan datang padaku baik aku usahakan atau tidak. Untuk apa lagi aku berusaha melelahkan diri lebih baik aku sibuk dengan ibadahku saja. Karena itulah maka akhirnya aku pulang dan tidak kuteruskan niatku untuk pergi bedagang”. Mendengar perkataan sahabatnya itu Ibrahim bin Adham berkata, “Engkau benar tentang tawakkal, tetapi engkau salah mengambil pelajaran dari apa yang engkau lihat. Adapun dirimu seharusnya yang engkau lihat bukanlah burung yang cacat karena dirimu bukan orang yang cacat. Seharusnya engkau melihat pada burung yang datang membawakan makanan untuk temannya itu, karena ia bermanfaat bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk yang lain. Kalau engkau berusaha tidak menghilangkan sebutanmu sebagai orang yang tawakkal selagi hatimu tetap bergantung pada Allah. Kemudian engkau bisa menjadi jalan untuk rezeki saudaramu dan engkau menjadi mulia karena tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Sementara kalau engkau hanya menunggu rezekimu yang memang pasti akan datang maka engkau bisa menjadi hina karena menjadi orang dengan tangan dibawah sementara engkau mempunyai tubuh yang sehat tetapi tidak mau berusaha”. Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham maka sahabatnya berkata, “Engkau benar, kalau begitu aku segera pergi untuk meneruskan perdaganganku dan beruntunglah orang yang mempunyai guru dan sahabat sepertimu”.
Kalau ditanyakan bagaimana hidup yang tidak dengan nyawa dapat hidup, maka katakan bahwa demikianlah adanya seperti juga kita ketahui bahwa pohon-pohonan hidup, kuman hidup tetapi lihatlah bahwa pohon dapat hidup dan berkembang tanpa nyawa lalu kuman berkembang-biak dengan membelah diri dimana setiap belahan hidup. Demikian pula hidup Allah berbeda dengan hidup kita tidak bisa kita ketahui hakekatnya karena ilmu kita terbatas. Firman Allah :
وَمَا اُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ اِلاَّ قَلِيْلاً
Artinya : “Tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit sekali”.

11.    Sam’un ( سمْعٌ ) artinya Mendengar mustahil tuli.
Maksudnya adalah Mendengar yang sempurna tidak dengan telinga yang tidak dapat terhalang, tidak tergantung jarak tertentu dan tidak tergantung dengan kekuatan suara. Mustahil pula tuli dan apa yang semakna dengannya.
Firman Allah Ta'ala :
وَاللّهُ سمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Artinya    : “Allah Ta'ala yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Sama’ hendaknya takut untuk berkata-kata yang haram seperti memaki, ghibah, dusta, janji palsu dan lainnya ataupun yang sia-sia seperti bergurau bukan dengan isteri, menceritakan film dan yang tidak bermanfaat walaupun tidak berdosa karena Allah Ta'ala sangat mendengar semua yang dikatakannya. Hal ini karena Allah Ta'ala memberi kita anggota tubuh untuk membantu kita dalam mentaati-Nya maka lidah seharusnya digunakan untuk membaca Al-Qur’an, berzikir dan saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan takwa. Mensia-siakan nikmat yang diberikan tentu akan membuat pemberi nikmat murka sebagaimana bila kita memberi seseorang hadiah lalu orang yang diberi mengabaikan dan membuangnya tentu hal itu akan menyakiti hati kita. Berbicara yang sia-sia juga termasuk mensia-siakan umur yang sudah diberikan karena waktu yang tidak digunakan untuk meraih kebajikan akhirat sungguh akan sangat disesali oleh setiap orang pada hari dimana kita sangat membutuhkan amal dan pahala yang banyak yaitu hari kiamat yang disebut juga yaumun nadamah (hari penyesalan).
Disamping takut seorang mukmin juga seharusnya memiliki rasa malu karena setiap yang kita ucapkan dicatat dan dibawa kesisi Allah dan nantinya akan diajukan dalam sidang hari pembalasan. Alangkah malunya bila dalam catatan itu tertera setiap kata-kata makian yang kita ucapkan. Beruntunglah orang yang mampu menjaga lidahnya.
Kalau ditanyakan bagaimana pula Allah dapat mendengar tidak dengan telinga maka katakanlah demikianlah Mendengarnya Allah karena sesungguhnya makhluk Allah banyak dengan sifat pendengaran dan alat pendengaran yang berbeda-beda Allah yang menjadikan semua itu tentu berbeda dengan yang dijadikan-Nya. Wallahu muwafiq.
12.    Bashor ( بَصَرٌ ) artinya Melihat mustahil buta.
Maksudnya Melihat yang sempurna yang tidak dengan mata, tidak terhalang dengan sesuatu, tidak pula tergantung jarak, warna dan lainnya. Mustahil pada-Nya buta atau apa-apa yang semakna dengannya.
Firman Allah Ta'ala :
وَاللّهُ بَصِيرٌ بمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya : “Allah Ta'ala Maha Melihat tiap-tiap apa yang kamu lakukan”.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Bashor hendaknya takut untuk melakukan perbuatan maksiat karena Tuhannya melihat apa yang dilakukannya walaupun ditempat yang tersembunyi menurut pandangan orang sekalipun karena Melihat Allah tidak sama dengan kita yang dapat dihalangi, membutuhkan cahaya ataupun bila jauh menjadi tidak jelas. Pada Penglihatan Allah semua itu nyata karena disisi Allah tidak ada istilah jauh ataupun dekat.
Disamping takut seorang mukmin juga seharusnya malu sebagaimana bila kita akan bermaksiat sementara disamping ada orang tua atau orang yang kita hormati tentu akan timbul rasa malu apalagi setiap kita dalam pengawasan Allah dan pengawasan malaikat-Nya dan setiap yang ada disekeliling kita akan menjadi saksi setiap maksiat yang kita kerjakan kelak dihari kiamat dihadapan setiap makhluk-Nya.
Diceritakan bahwa ada seorang perampuan pezina yang sangat jahat di Mekah, ia berkata, “Aku tidak akan senang hingga kujatuhkan fitnah pada Thawus al-Yamani (yaitu ulama tabi’in yang merupakan seorang laki-laki yang sangat tampan)”. Beberapa kali perempuan itu menggodanya tetapi selalu tidak berhasil hingga ia sangat heran. Karena berulangkali ditolak tetapi perempuan itu tetap merayunya maka berkatalah laki-laki itu padanya, “Persiapkanlah dirimu untukku pada malam ini. Datanglah engkau pada waktu sahur maka keinginanmu nanti akan kupenuhi”. Datanglah perempuan itu pada waktu yang telah ditentukan lalu berjalan keduanya hingga sampai pada Maqam Ibrahim, berkatalah laki-laki itu, “Berbaringlah engkau disini dan lepaskanlah pakaianmu!” Kata perempuan itu, “Subhanallah! Apakah kita tidak dilihat oleh manusia”. Kata laki-laki itu, “Apakah Allah tidak melihat kita pada setiap tempat ?” Kata perempuan itu, "Bahwasanya aku memuliakan tempat itu dari melakukannya disitu”. Katanya, “Wahai perempuan ! Tempat ini lebih engkau muliakan dari kemuliaan Allah dan kebesaran-Nya. Sesungguhnya Allah Ta'ala itu lebih utama dan lebih agung untuk engkau takuti”. Akhirnya perempuan itupun bertaubat dan ditinggalkannya seluruh kejahatannya.
Kalau ditanyakan bagaimana melihat tidak dengan mata maka katakan makhluk Allah yang melata dimuka bumi banyak yang hidup dan mencari rezekinya tanpa menggunakan matanya. Kelelawar mengetahui di malam hari tanpa melihat dengan sistem pendengarannya, banyak orang yang buta matanya tetapi bisa mengetahui dengan hati dan tongkatnya.

13.    Kalam ( كَلاَمٌ ) artinya berkata-kata mustahil bisu.
Maksudnya Kalam yang sempurna yang tidak berhuruf dan bersuara, tidak terdahulu dan terkemudian, tidak ada I’rob dan mabni.
Firman Allah Ta'ala :
وَكَلَّمَ اللّهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
Artinya : “Berkata-kata Allah dengan Musa dengan perkataan yang sempurna”.
Demikan pula firman Allah :
اِنِّيْ اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاَتِيْ وَبِكَلاَمِيْ
Artinya    :    “Sesungguhnya Aku memilihmu hai Musa diantara selu-ruh manusia dengan risalah-Ku dan Kalam-Ku”.
Dalam masalah ini perlu dipahami beberapa perkara, yaitu :
a.    Perkataan manusia merupakan ungkapan dari isi hati atau merupakan gambaran isi hati. Jadi perkataan yang sebenarnya (hakiki) adalah perkataan hati. Perkataan hati tidak berhuruf dan tidak pula bersuara kecuali sesudah diucapkan dengan lidah barulah berhuruf dan bersuara dan dapat didengar orang lain. Isi hati yang sama dapat diungkapkan dengan cara yang berbeda bila bahasa lidahnya berbeda seperti perkataan orang Indonesia dengan perkataan orang Arab. Demikian pula Kalam Allah tidak berhuruf dan tidak bersuara jadi pahamilah.
b.    Perkataan Allah berbeda dengan perkataan makhluk. Perkataan Allah dapat dibedakan atas dua macam, yaitu :
1)    Perkataan nafsi atau hakiki, yaitu yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, sebagaimana firman Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kedalam hati para Nabi.
2)    Perkataan majazi atau lafdzi, yaitu perkataan Allah yang setelah diterima oleh para Rasul disampaikan pada sahabatnya, jadi dengan berhuruf dan bersuara sehingga dapat ditulis.
Demikianlah Kalam Allah ada yang hakiki dan ada yang majazi. Adapun tulisan mushaf yang kita baca maksudnya sama dengan Kalam Allah yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW yang merupakan sebagian dari Kalam Qodim Allah Ta'ala. Tulisan Qur’an memang baharu tetapi makna yang terkandung didalamnya adalah sebagian dari Kalam Qodim Allah.
Perlu dijelaskan bahwa Kalam itu Esa dan tidak berbilang hanya ada baginya aqsamun I’tibariyyah artinya bagian-bagiannya ditinjau dari beberapa sisi. Dipandang dari sisi Kalam itu meme-rintahkan disebut Amrun, ditinjau dari melarang disebut Nahyun, ditinjau dari sisi menceritakan disebut Khobarun, ditinjau dari sisi Kalam itu memberitahukan balasan surga untuk orang taat disebut Wa’dun dan ditinjau dari sisi menakuti orang maksiat dengan neraka disebut Wa’idun dan lainnya.
Sesungguhnya telah mufakat Ahlu sunnah bahwa Al-Qur’an adalah Kalamulloh yang Qodim bukan makhluk sebab dikhawa-tirkan memberi prasangka jika dikatakan Qur’an itu baharu maka jadi baharu pula Kalam Allah yang ada pada Zat-Nya dan siapa yang berkeyakinan demikian telah sepakat mereka akan kafirnya.
Dikisahkan : Adapun yang mula-mula mengatakan Al-Qur’an itu makhluk adalah Ahmad bin Abu Daud lalu dikatakannya hal itu pada Ma’mun khalifah Baghdad dan dibaguskannya perkataan itu dan dibenarkannya, lalu diikutnya dan disuruhnya kepada sekalian negeri bawahannya untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk dan tiap-tiap orang yang tidak mengikut per-kataannya maka dibunuhnya atau dipukulnya atau dipenjara-kannya. Mengambil dalil mereka akan hal itu dengan firman Allah ta’ala :
اِنَّا جَعَلْنَا قُرْآنًا عَرَبِيًّا
Artinya : “Dan Kami Jadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab”.
Mengambil dalil mereka bahwa tiap-tiap yang dijadikan oleh Allah ta’ala bahwa ia itu baharu. Karena itu sebagian ulama mengikut sebab takut dan sebahagian lagi tidak mengikut. Untuk yang mengikut maka diberinya berbagai hadiah dan untuk yang tidak mengikut maka disakitinya dengan berbagai jenis siksaan. Sebagin dari mereka dibunuh dan sebagian lagi dipenjarakan. Diantara mereka yang tidak mengikut adalah Imam Ahmad bin Hambal maka iapun hendak dibunuh. Ketika sampai berita itu padanya diapun berdoa kepada Allah memohon pertolongan maka tidak sampai pagi hari terdengar teriakan dirumah Ma’mun. Datang khadamnya dan berkata, “Benar Ahmad Al-Qur’an itu Kalamulloh bukan makhluk sanya telah mati Amirul Mu’minin”. Digantikan Ma’mun oleh Mu’tashim billah Muhammad saudara ma’mun dimana telah dipesankan oleh Ma’mun untuk mengatakan Qur’an itu makhluk. Dipanggillah Imam Ahmad untuk munazhoroh, maka munazhorohlah Imam Ahmad bin Hambal dengan Ahmad bin Abu Daud maka kalah Ahmad bin Abu Daud. Dikerasilah Imam Ahmad bin Hambal untuk mengatakan Qur’an itu makhluk tetapi ia tidak mau maka dipukullah ia kira-kira lima belas kali pukulan putuslah tali celananya dan turunlah celananya dari pinggangnya. Lalu Imam Ahmad memandang ke langit dan tidak sempurna bacaannya melainkan keluar tangan  emas mengangkatkan celananya. Tatkala melihat orang-orang akan yang demikian maka mereka berkeinginan untuk membunuh Mu’tashim, maka dihentikanlah pukulan itu dan ditahan ia dipenjara sekitar dua puluh delapan bulan. Matilah Mu’tashim dan digantikan oleh Watsiq billah Harun anak Mu’tashim, menyatakan pula dia bahwa Qur’an itu makhluk maka Imam Ahmad menyembunyikan dirinya. Lalu didatangkan-lah Ahmad bin Nazhar al-Khuza’i dan disuruh mengatakan Qur’an itu makhluk maka ia berkata Qur’an itu Kalamulloh. Dikatakan kepadanya, “Halallah darahnya”. Disuruhlah untuk membunuhnya, lalu ia dibunuh dan kepalanya dipotong lalu digantungkan diarah matahari terbit kota Baghdad selama beberapa hari dan diarah matahari terbenam beberapa hari. Didengar oleh orang-orang bahwa pada malam hari kepala itu membaca Laa ilaaha illallaah dan surat Yaasiin (dalam satu riwayat membaca :
الم . أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوْا اَنْ يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَهُمْ لاَيُفْتَنُوْنَ
maka oleh Harun disuruh menulis surat dan digantungkan pada telinganya dengan tulisan :
بسم الله الرحمن الرحيم . هذا رأس أحمد بن نضر الخزاعى دعاه عبدالله الامام هارون الواثق بالله أمير المؤمنين الى القول بخلق القرآن وتفى الشبه فأبى الاالمعاندة فعجله الله الى النار
Artinya : “Inilah kepala Ahmad bin Nazhor al-Khuza’i telah memanggilnya Abdullah al-Imam Harun al-Watsiq billah Amirul mukminin untuk berkata Qur’an itu makhluk untuk menepikan syubhat tapi ia enggan bahkan ingkar maka Allah menyegerakan neraka padanya”.
Matilah Watsiq dan digantikan saudaranya Mutawakil ’alalloh Ja’far. Masuk menemuinya Abdul Aziz bin Yahya kepadanya dan ia berkata, “Adalah suatu perkara yang sangat mengherankan dalam perkara Watsiq bahwa ia membunuh Ahmad bin Nadhir al-Khuza’i padahal lidahnya tetap membaca Qur’an”. Maka akhirnya Mutawakil-pun inshaf dan dicelanya perbuatan saudaranya dan ia memerintahkan pada sekalian negeri bawahannya untuk mengatakan bahwa Qur’an itu bukan makhluk. Ia meminta untuk menghadirkan Imam Ahmad bin Hambal dan ia berkata, “Telah terang dunia dengan laki-laki ini”. Lalu ia memberi hadiah pakaian yang indah-indah dan seorang sahaya tetapi oleh Imam Ahmad hal itu tidak diterimanya dan ia menangis, lalu berkata, “Selamatlah aku dari sekalian mereka pada seluruh umurku hingga hampir umurku dibala’kan dengan mereka dan dengan dunia mereka”. Lalu ia meninggalkan pakaian-pakaian itu dan dikembalikannya. Kata Basyir al-Khofi, “Tiada seorang yang paling kuat berkata seumpama perkataan Imam Ahmad bin Hambal dalam cobaan ketika disuruh mengatakan Qur’an itu makhluk, maka pada saat itu diberi ia maqom para nabi”. Karena itu pulalah maka mengirim utusan Imam Syafi’i ke Baghdad untuk meminta baju yang dipakai ketika ia dipukul. Dikirimkanlah baju itu kepadanya lalu diambil oleh Imam Syafi’i dan dibasuhnya lalu diminumnya airnya. Lalu sisa air itu diletakkannya di dalam kaca yang bila sakit sahabatnya diberinya sedikit dari padanya yang bila disapukan pada tubuh maka hilanglah sakitnya. Kata Qiil, “Dilihat oleh seseorang didalam tidurnya akan Ahmad bin Hambal, lalu ia berkata, “Apa yang diperbuat Allah untukmu ?” Katanya, “Diampunkan bagiku kemudian Dia berkata, “Hai Ahmad, dipukul engkau karena-Ku ?” Kataku, “Benar !” Maka firman Allah, “Ini Muka-Ku, perhatikan olehmu pada-Nya, sungguh telah Kubolehkan bagimu !”
Demikian lagi, telah melihat oleh Imam Syafi’i akan Nabi saw pada tidurnya, sabdanya, “Kirimkan surat olehmu pada Abi Abdullah (yakni Ahmad bin Hambal). Sampaikan salamku kepadanya dan katakan olehmu bahwa akan dicoba ia dan disuruh mengatakan Qur’an itu makhluk maka jangan ia perkenankan karena sangat berkatnya serta akan diangkatkan ilmunya oleh Allah hingga hari kiamat”. Maka ditulis oleh Imam Syafi’i surat itu dan dimintanya Rabi’ untuk membawanya. Ketika surat itu sampai kepadanya berkata Rabi’, “Beri olehmu kepadaku hak bisyaroh !” Oleh Imam Ahmad dilepaskannya bajunya dan diberikannya pada Rabi’.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat kalam hendaknya banyak berdzikir menyebut nama-Nya mudah-mudahan namanya akan disebut-sebut Tuhan diantara hamba-Nya. Firman Allah Ta'ala :
فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ
Artinya : “Ingatlah Aku niscaya Aku-pun akan mengingatmu”
Sabda Nabi SAW :
ذِكْرُاللّهُ علم الإِ يمَان وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ وَحَصَن مِنَ الشَّيْطَانِ وَحرز مِنَ النِّيرَانِ
Artinya : “Mengingat Allah (Zikrullah) itu tanda iman, kelepasan dari nifaq, benteng dari setan dan pemelihara dari neraka”.
Adapun dalil akli ketiga sifat ini yaitu Mendengar, Melihat dan Berkata-kata adalah :
لَوْلَمْ يَـتَّصِفُ بهَالَزِمَ اَنْ يَـتَّصِفَ باضدَادِهَاوَهِيَ نَقَائِصْ ، وَالنَّقْصٍ عَلَيْهِ تَعَالى محَالٌ
Artinya : “Apabila Dia tidak bersifat dengan ketiganya berarti Dia bersifat kekurangan karena bersifat kebalikannya sedang-kan bersifat kekurangan pada sisi Allah mustahil”.
Allah Ta'ala merupakan Dzat yang sempurna dengan sekalian sifat-sifatnya yang sempurna pula. Apabila  ketiga sifat itu ada pada Allah hal itu merupakan kekurangan yang berarti Dia akan membutuhkan pada yang dapat menyempurnakan-Nya. Hal itu adalah mustahil seperti telah nyata sebelumnya Allah Ta'ala bersifat Qiyamuhu binafsihi.
14.    Kaunuhu Qoodiron ( كَوْنُهُ قَادِرٌ ) artinya Keadaan-Nya Yang Kuasa mustahil Keadaan-Nya yang lemah.
Dalilnya sama seperti dalil sifat qudrat. Sifat ini saling berhubungan dengan sifat Qudrat. Ada sifat Qudrat maka ada pula sifat Qodirun.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat qodirun hendaknya sangat membanyakkan takut pada Tuhannya yang sangat Kuasa dan besar pengharapannya padaAllah dengan memberikan nikmat kebaikan.
15.    Kaunuhu Muridan ( كَوْنُهُ مُرِيدً ) artinya Keadaan-Nya yang Berkehendak mustahil Keadaan-Nya yang terpaksa.
Dalilnya seperti dalil sifat Iradat.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Muridun hendaknya banyak memanjatkan do’a pada Allah Ta'ala dengan seluruh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat sertya menolakkan bala.
16.    Kaunuhu Aliman ( كَوْنُهُ عَالِمٌ ) artinya Keadaan-Nya Yang Mengetahui mustahil Keadaan-Nya yang jahil.
Dalilnya seperti dalil sifat Ilmu.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Alimun hendaknya selalu minta pertolongan pada Allah Ta'ala di dalam tiap-tiap keadaan dan minta peliharakan dari keburukan dunia dan akhirat.
17.    Kaunuhu Hayyan ( كَوْنُهُ حَيًّ ) artinya Keadaan-Nya Yang Hidup mustahil Keadaan-Nya yang mati.
Dalilnya seperti dalil sifat Hayat.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Hayat hendaknya selalu bertawakkal pada Allah Ta'ala pada setiap keadaan.
18.    Kaunuhu Sami’an ( كَوْنُهُ سمِـيْعً ) artinya Keadaan-Nya Yang Mendengar mustahil Keadaan-Nya yang tuli.
Dalilnya seperti dalil sifat Sam’un.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Sami’un hendaknya selalu memuji Allah Ta'ala, banyak bersyukur dan banyak berdo’a padaAllah.
19.    Kaunuhu Bashiron ( كَوْنُهُ بَصِيْـرً ) artinya Keadaan-Nya Yang Melihat mustahil Keadaan-Nya yang buta.
Dalilnya seperti dalil sifat Bashor.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Bashirun hendaknya senantiasa malu pada Allah Ta'ala yang melihatnya melakukan dosa dan meninggalkan yang wajib.
20.    Kaunuhu Mutakalliman (  كَوْنُهُ مُتَـكَلِّمًا) artinya Keadaan-Nya Yang Berkata-kata mustahil Keadaan-Nya Yang bisu.
Dalilnya seperti dalil sifat Kalam.
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Mutakallimun hendaknya banyak membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ dan hormat atau ta’zhim, bertajwid bukan asal dibaca.

Bersambung ...yang dimaksud Ta’aluq

KATA PENGANTAR (AQIDAH MUKMIN)


  
Alhamdulillah, puji-pujian bagi Allah SWT sebagai pujian yang layak bagi Zat-Nya yang mulia atas selesainya kitab ini saya tulis. Sholawat dan salam atas Rasullah SAW, penghulu segala Nabi dan Rasul, penutup para Nabi yang mana syafaatnya begitu diharapkan pada hari Akhirat kelak.
    Adapun kitab ini telah lama saya mulai tulis tetapi karena kurangnya ilmu dan himmah maka selesainya dalam waktu yang cukup lama, itupun atas desakan beberapa sahabat yang begitu ingin agar saya segera menyelesaikan kitab ini. Kitab ini saya namakan  dengan AQIDAH MUKMIN karena isinya berkaitan dengan masalah-masalah aqidah (keyakinan) ataupun masalah ushul, yang saya kumpulkan dari berbagai kitab karangan-karangan ulama terdahulu tetapi dengan sistematika kitab pada saat ini. Kitab ini diinspirasikan susunannya dan isinya dari kitab sifat duapuluh karangan Syeikh Utsman Betawi yang begitu ringkas, tetapi memuat simpul-simpul aqidah yang mendasar yang mana harus diyakini oleh orang yang mengaku beriman.
    Kitab ini juga saya tulis karena untuk memudahkan orang awam untuk memahami agamanya, karena pada masa ini banyak kitab tauhid yang ditulis oleh orang-orang yang berpaham MUJASSIMAH, dimana bentuk kemasan dan susunannya dibuat menarik sehingga banyak orang awam terperangkap dalam paham-paham yang tidak sesuai dengan paham Ahlu Sunnah wal Jama’ah seperti yang dipahami oleh umat islam selama ribuan tahun. Sementara itu kitab-kitab tauhid yang ditulis oleh para ulama islam kebanyakan dalam bahasa Arab dan adapula dalam bahasa melayu dengan tulisan yang orang masa sekarang sulit membacanya apalagi untuk memahaminya.
    Kemudian lagi perlu diketahui bahwa ilmu ini bukanlah hal yang baru tetapi sudah berumur ribuan tahun diawali oleh imam Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai yang mula-mula mengkonsepnya. Ilmu ini sendiri muncul karena situasi zaman pada masa itu dimana paham Mu’tazilah yang mengandalkan rasio (akal) sudah meluas sehingga banyak orang yang meninggalkan dalil-dalil Syara’. Imam Abu Hasan Asy’ari merupakan murid dari ayah tirinya yang merupakan ulama besar Mu’tazilah dan telah pula mengajarkan  mahzab itu selama bertahun-tahun. Diceritakan bahwa Imam Abu Hasan Al-Asy’ari bermimpi selama tiga malam bertemu dengan Nabi SAW. Yang memintanya untuk memperbaiki keadaan aqidah umat karena sudah melenceng jauh dari ajaran yang dibawa oleh beliau. Imam Abu Hasan Al-Asy’ari menjawab, “Ya Rasullah, bagaimana aku dapat melakukan hal itu sedangkan aku telah menghabiskan sebagian besar umurku dengan mempelajari mahzab ini dan membahas permasalahan-permasalahannya”. Jawab Nabi SAW, “Sungguh aku tidak menyuruh engkau kecuali karena Aku telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala akan menolongmu”. Terbangunlah beliau dari tidurnya dan dibukanya kitab-kitab yang selama ini sudah tidak dipelajarinya dan didapatinya dalil-dalil yang menjelaskan tentang hal-hal yang selama ini mereka ingkari seperti adanya Syafa’at dan melihat Allah Ta’ala ketika orang beriman sudah masuk syurga. Terbukalah hatinya  dan beliau tidak keluar dari rumahnya selama lebih kurang 15 hari. Setelah itu beliau keluar dan naik ke mimbar dihadapan masyarakat muslim. Beliau berkata “ Sesungguhnya aku tidak keluar selama beberapa waktu karena mengarang kitab ini dan mulai sekarang melepaskan dari apa yang selama ini kuyakini sebagaimana aku melepas kainku ini”. Maka dilepaskannya kainnya dan dibuangnya. Dari saat itu maka lahirlah ilmu aqidah sebagaimana yang kita kenal dan disebut  dengan mahzab Asy’ari yang sebagaimana dikatakan Imam Al-Ghozali apabila dikatakan Mahzab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah maka itu adalah Mahzab Asy’ari dan Maturidi. Adapun Imam Maturidi juga mengkonsep mahzabnya beberapa tahun berikutnya mengikut Imam Asy’ari dengan sedikit perbedaan dalam memahami beberapa permasalahan yang bisa mempunyayi maksud yang berbeda.
    Pada masa sekarang ini terutama di Indonesia ada sebagaian orang yang mengaku mempelajari sifat duapuluh tetapi sebenarnya hanya nama saja bukan ilmu aqidah tetapi merupakan ilmu kebatinan.Banyak orang awam yang sudah tertipu sehingga tersesat dari jalan sebenarnya. Untuk itulah buku ini saya tulis supaya orang awam dapat  membedakan antara hal itu sehingga tidak timbul keraguan dalam mempelajari ilmu ini karena tidak mempelajari ilmu aqidah membuat orang mudah tergelincir dalam pemahaman yang keliru bahkan tersesat jauh mengira dirinya dapat petunjuk.
    Demikianlah semoga usaha kecil ini dapat bermanfaat disisi para pecinta ilmu dan mendapatkan pahala disisi Allah SWT sebagai simpanan bagi hamba semoga dengannya nanti dapat jadi jalan untuk mendapatkan keridhoan dan ampunan dari Tuhanku Semesta Alam, menjadi tebusan untuk kebebasan dari murka-NYA. Ya Allah, Hanya Engkaulah yang dapat mengabulkan permohonan para hamba dan yang dapat menghindarkan para hamba dari yang ditakutinya


MULYADI ASY-SYAFI’I AMD
(Konsultasi Langsung  Lewat Hp/SmS)
            Hp. 081361 032 033

Sudah diminta Izin Penyebaran
ke Jaringan Internet oleh : Aulia P. Lubis