tag:blogger.com,1999:blog-56342724221358014472024-03-06T13:01:57.446+07:00ISLAMKURAMAI ORANG YANG BERGURU DENGAN "SHEIKH INTERNET" SERING TERSALAH MEMILIH ILMU DAN GURU, DAN AKHIRNYA RAMAI JUGA YANG TERPERANGKAP DENGAN FAHAMAN TERPESONG SEPERTI SALAFI WAHHABI TANPA MEREKA SADARI. MEREKA MENELAN RACUN TERLEBIH DAHULU SEBELUM MENGENALI OBATAulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.comBlogger74125tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-9837716546833342552010-08-16T13:43:00.000+07:002010-08-16T13:43:14.159+07:00Puasanya Wanita Hamil dan Menyusui<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3Dv-XXPbKOSnqqUSHjrEv8ukMNdz0tfIYsG9DJ8OfzBi2_B9r1DHnPUaUIv_q1jh1XfCRMQ6phw_6vG04y3z3PIAM-Cu352NNhpsUIq_kPzbJVNoRdCUsXxuSKwHqjGVvbrR0PGyie7X2/s1600/hamil.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3Dv-XXPbKOSnqqUSHjrEv8ukMNdz0tfIYsG9DJ8OfzBi2_B9r1DHnPUaUIv_q1jh1XfCRMQ6phw_6vG04y3z3PIAM-Cu352NNhpsUIq_kPzbJVNoRdCUsXxuSKwHqjGVvbrR0PGyie7X2/s200/hamil.jpg" width="181" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bolehkah seorang wanita hamil atau menyusui tidak menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan? Bila harus diganti dengan fidyah, berapa yang harus dibayarkan?<br />
<br />
Jawab:<br />
<br />
Islam adalah agama yang penuh toleransi, dan tidak memaksakan se¬suatu di luar kemampuan seseorang un¬tuk melakukannya, sebagaimana Allah SVVT berfirman:<br />
<br />
"Dan tidaklah Allah SWT menjadikan suatu kesulitan atas kalian dalam hal agama." (OS Al-Hajj: 78).<br />
<br />
Biasanya seorang wanita hamil atau yang sedang menyusui memang akan selalu merasa lapar, karena apa yang dimakan akan menjadi asupan makanan juga bagi bayinya. Kondisi itu membuat tubuh menjadi lemah dan tidak kuat kala menjalankan ibadah puasa. Maka di antara kelonggaran agama adalah diperbolehkannya seorang wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa di bulan Ramadhan, dengan catatan bahwa ia harus mengqadhanya di luar bulan Ramadhan.<br />
<br />
Namun demikian, bukan berarti se¬tiap wanita hamil atau menyusui menjadi wajib hukumnya untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan. Jika mereka tetap mampu untuk melaksanakan puasa walaupun dalam keadaan hamil atau menyusui, itu lebih baik, agar ia juga terlepas dari kewajiban mengqadha di bulan lainnya. Selain itu, melaksanakan puasa tentunya akan menjadikan dirinya sehat jasmani dan ruhani, selama puasanya itu tidak berada dalam kondisi yang membahayakan dirinya maupun bayinya. Adapun jika sudah sampai pada kondisi sedemikian rupa sehingga puasa yang ia lakukan akan membahayakan dirinya, ataupun bayi maupun janinnya, wajib atasnya untuk tidak berpuasa.<br />
<br />
Hukum mengqadha puasa Rama¬dhan adalah sama dengan hukum asalnya, hukum puasa Ramadhan, yaitu wajib. Jadi, bukan cuma wajib mem¬bayar fidyah tanpa harus-berpuasa lagi sebagai ganti puasa di bulan Ramadhan. Qadha puasa tetap saja wajib. <br />
<br />
Adapun dari segi wajib atau tidaknya membayar fidyah, terdapat dua kondisi:<br />
<br />
1. Jika ia tidak berpuasa karena kha¬watir bila ia berpuasa akan mem¬bahayakan dirinya saja atau dirinya sekaligus bayi maupun janinnya, ia hanya wajib mengqadha puasa sejumlah hari di bulan Ramadhan yang ia tidak berpuasa, tanpa harus membayar fidyah.<br />
<br />
2. Jika ia tidak berpuasa karena kha¬watir akan kesehatan bayi maupun janinnya saja tanpa khawatir akan terjadi suatu hal yang akan mem¬bahayakan dirinya, misalnya kalau ia berpuasa akan berakibat air susunya jadi tidak akan keluar atau tidak ada asupan makanan yang tersalurkan kepada janinnya, selain wajib meng¬qadha puasanya itu, ia juga wajib membayar fidyah setiap harinya satu mud (6.25 ons) beras.<br />
<br />
Wallahu a'lam<br />
<br />
(artikel ini kami kutip dari penjelasan Habib Segaf bin Hasan Baharun dalam rubrik Tanya jawab Fiqhun Nisa’ majalah AlKisah No. 17/Tahun VII/2009)</div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-53052595632333059612010-08-16T13:31:00.000+07:002010-08-16T13:31:47.042+07:00Fatwa Ulama Tentang diperbolehkannya IMSAK<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjs7go3ysbC8gYeaPbPV4xGVO8KL0W1WAinV9HBMHI8teWs0XqsgWpOVcDtWTc76K1-t1fkLSPW4hG4zwbJakcBW8sV7VS7y7wAKrXBI0rQ2XU2_BR77bB0D-p8ROqJMVNeuYelKazPGy-P/s1600/fajar.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjs7go3ysbC8gYeaPbPV4xGVO8KL0W1WAinV9HBMHI8teWs0XqsgWpOVcDtWTc76K1-t1fkLSPW4hG4zwbJakcBW8sV7VS7y7wAKrXBI0rQ2XU2_BR77bB0D-p8ROqJMVNeuYelKazPGy-P/s320/fajar.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ada segelintir fatwa yang ganjil dari golongan pembid’ah yang mengatakan bahwa imsak adalah bid’ah (sesat).. Seperti fatwa yang dikeluarkan oleh Syeikh pujaan mereka, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang salah satunya mengatakan sebagaimana berikut:<br />
<br />
“Hal ini (imsak) TERMASUK BID’AH, tiada dalilnya dari sunnah, bahkan sunnah bertentangan dengannya, karena Allah berfirman di dalam kitabnya yang mulia.”<br />
<br />
Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk PERBUATAN YANG DIADA-ADAKAN dalam agama Allah padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Artinya : Celakalah orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan ! “ <br />
<br />
Begitulah alasan mereka golongan pembid’ah. Sepertinya yang membid’akan imsak itu hanya kelompok yang pekerjaannya mencari bid’ah, bukan pencari sunnah.<br />
<br />
LALU BAGAIMANA SEBENARNYA HUKUMNYA BER-IMSAK TERSEBUT?<br />
<br />
Berikut kami tampilkan fatwa Habib Umar bin Hafidz, seorang ulama ahlus sunnah waljamaah.<br />
<br />
Pertanyaan:<br />
Banyak orang yg makan sampai waktu adzan tiba, yaitu ia tidak berimsak kecuali tatkala mendengar adzan. Apakah hal ini diperbolehkan atau dia wajib berimsak sebelumnya?<br />
<br />
Jawaban:<br />
Tidak diragukan lagi bahwa ber-imsak itu lebih afdhal. Selama belum terbitnya fajar diperbolehkan baginya untuk makan apa yang dikehendakinya. Akan tetapi berhati-hati dengan imsak sebelum azan dengan (untuk menjaga) satu jangka masa adalah baik. Apabila seseorang sampai fajar telah terbit lalu dia makan dan minum, kemudian ternyata perbuatannya itu (yakni makan/minumnya tadi) berlaku setelah terbit fajar, maka berdosalah dia dan wajib atasnya untuk berpuasa sehari sebagai ganti puasanya hari tersebut (yakni apabila nyata bahawa dia telah makan dan minum setelah fajar terbit, maka dia berdosa dan wajib qadha).<br />
<br />
Oleh itu, maka berhati-hati itu lebih utama dan yang sedemikian itu telah diambil oleh para ulama daripada apa yang datang dalam hadits yang mulia:<br />
<br />
“Berapa masa antara sahur s.a.w. dan sholat ? Dijawabnya : Sekadar 50 ayat. 50 ayat dikadarkan dengan seperempat jam atau sepertiga, atas sekurang-kurangnya. Oleh karena itu, imsak sebelum fajar dengan seperempat jam atau sepertiga jam adalah awla dan ahwath (terlebih utama dan terlebih berhati-hati).<br />
<br />
Oleh karena bab Ihtiyath (berhati-hati) dengan imsak itu luas dan dipersempitkanlah dia oleh seseorang itu atas dirinya menurut kehendaknya seperti dipuasakannya sehari yang sempurna itu dengan didatangkannya sebelum hari tersebut (yakni sebelum tiba fajar hari tersebut) dengan 10 minit atau 15 minit (sebagai ihtiyath bagi dirinya untuk mendapatkan kesempurnaan puasa satu hari tersebut). Karna menjatuhkan dirinya dalam keraguan pada yang sedemikian adalah satu keburukan dalam muamalah dengan Allah al-Jabbar s.w.t. Bahkan sewajarnya dia berihtiyath sebelum fajar, maka berimsaklah dia sebelum fajar. Dan pada Maghrib, sedemikian juga dia berihtiyath (berhati-hati) untuk tidak berbuka sehingga diyakini terbenamnya matahari. Wa billahit tawfiq.<br />
<br />
Allahu a’lam<br />
<br />
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG IMSAK<br />
<br />
Sebenarnya ketetapan waktu imsak sebagai ihtiyath itu punya dasarnya. Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf menyebut dalam “at-Taqriiraat as-Sadiidah fil Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan talkhish daripada ajaran guru-guru beliau terutama sekali al-’Allaamah al-Faqih al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Zain BinSmith, pada halaman 444 menyatakan :<br />
<br />
…”Dan imsak daripada makan (yakni bersahur) itu mandub (disunnatkan) sebelum fajar kira-kira sekadar pembacaan 50 ayat ( sekadar seperempat jam @ 15 minit)”.<br />
<br />
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari berbunyi:-<br />
Daripada Sayyidina Anas meriwayatkan bahawa Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a. berkata: “Kami telah makan sahur bersama-sama Junjungan Nabi s.a.w., kemudian baginda bangun mengerjakan sembahyang. Sayyidina Anas bertanya kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan masa makan sahur itu ?” Dia menjawab: “Kira-kira sekadar membaca 50 ayat.”<br />
<br />
Hadis ini menunjukkan bahawa jarak atau senggang masa antara bersahurnya Junjungan s.a.w. dan azan Subuh ialah kira-kira 50 ayat. Sekali-kali ianya tidak membawa makna yang Junjungan s.a.w. makan sahur sehingga berkumandang azan Subuh, yang jelas ialah ia menyatakan bahawa Junjungan bersahur dan berhenti kira-kira kadar pembacaan 50 ayat sebelum masuk waktu Subuh. Inilah yang difahami oleh para ulama kita sehingga menetapkan kesunnahan berimsak dalam kadar pembacaan 50 ayat tersebut yang dianggarkan pada kadar 10 – 15 minit. <br />
<br />
Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani rhm. dalam “Fathul Baari” tatkala mensyarah maksud hadits di atas antara lain menyatakan:-<br />
“Dan telah berkata Imam al-Qurthubi: “Padanya (yakni dalam kandungan hadits di atas) bukti atas bahawasanya selesai daripada sahur adalah sebelum terbitnya fajar….”<br />
<br />
Jadi jelas dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi bahawa selesainya sahur Junjungan Nabi s.a.w. menurut hadits di atas ialah sebelum terbitnya fajar (qabla thulu`il fajri), yang memberi maksud bahawa tidaklah Junjungan s.a.w. terus-menerus bersahur sehingga terbit fajar.<br />
Selanjutnya Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani juga menyatakan bahawa:-<br />
“Maka disamakan Zaid bin Tsabit akan yang demikian itu dengan ukuran pembacaan al-Quran sebagai isyarat bahawa waktu tersebut (yakni waktu senggang antara selesai sahur dan azan) adalah waktu untuk ibadah membaca al-Quran.”<br />
<br />
Jadi bukanlah waktu itu untuk mengunyah makanan lagi, inilah yang dimaksudkan.<br />
<br />
Al-’Allaamah Badruddin al-’Ayni rhm. pula dalam “‘Umdatul Qari” menyatakan:-<br />
“Hadits Zaid bin Tsabit menunjukkan atas bahawasanya selesai daripada sahur adalah sebelum fajar dengan kadar pembacaan 50 ayat.”<br />
<br />
Beliau juga menulis:-<br />
“Bahawasanya padanya (yakni pada hadits Zaid tersebut) mentakhirkan sahur sehingga tinggal waktu antara azan dan makan sahur itu kadar pembacaan 50 ayat… maka dari situ ianya menunjukkan bahawasanya mereka (Junjungan Nabi s.a.w. dan sahabat ) menyegerakan dengan bersahur sehingga tinggal (masa) antara mereka dan fajar kadar yang tersebut.”<br />
<br />
Yakni Junjungan dan sahabat berhenti bersahur dalam keadaan masa antara mereka dengan fajar itu kadar pembacaan 50 ayat dan tidaklah bermaksud yang mereka mentakhirkan sahur sehingga terbitnya fajar shodiq.<br />
<br />
Imam an-Nawawi rhm. dalam “Syarah Muslim” tatkala mensyarahkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim daripada Abu Bakar bin Abu Syaibah yang kandungannya hampir sama dengan hadits Imam al-Bukhari di atas dengan perbezaannya bahawa dalam lafaz al-Bukhari dinyatakan “berapa kadar masa antara azan dan sahur” dan dalam hadits Muslim pula digunakan “berapa kadar masa antara keduanya”, menyatakan:-<br />
“… padanya (yakni dalam hadits tersebut) terkandung anjuran untuk mentakhirkan sahur sehingga sedikit sebelum fajar”, ( yakni kita mengakhirkan makan sahur ke waktu yang hampir dengan fajar di mana selesainya kita bersahur masih berbaki sedikit waktu sebelum fajar shodiq terbit).<br />
<br />
Tidaklah Imam an-Nawawi menyatakan bahawa mentakhirkan makan sahur itu sehingga terbit fajar, tetapi mentakhirkan sahur sehingga sedikit sebelum fajar. Perhatikanlah, dan bertitik tolak dari pemahaman di ataslah maka ulama kita menetapkan adanya waktu imsak yang sunnat untuk menyelesaikan makan sahur (yakni bagi yang telah bersahur).<br />
Untuk lebih jelas kedudukannya dalam mazhab kita, lihatlah keterangan Al-’Allaamah Sayyid ‘Abdullah al-Jurdani dalam “Fathul ‘Allam bi syarhi Mursyidil Anaam” juzuk 4 halaman 59 yang menyebut:-<br />
<br />
“Telah berkata Imam ar-Ramli rhm. seperti (kata) Imam Ibnu Hajar rhm. selepas menyebut kedua mereka akan hadits Zaid bin Tsabit tersebut: “<br />
Dan padanya (yakni terkandung dalam hadits tersebut) penetapan bagi kadar yang menghasilkan dengannya kesunnahan mentakhir sahur. Iaitu yang afdhalnya bahawa ditakhirkannya sahur tersebut sehinggalah sekira-kira selesai daripadanya (yakni selesai daripada bersahur) dan masih berbaki malam (yakni masih belum terbit fajar shodiq) sekadar (pembacaan) 50 ayat.<br />
<br />
Dan pendapat agar berhenti bersahur sebelum terbit fajar ini juga dapat dilihat dalam aqwal mazhab yang lain. Contohnya, Syaikh Abu as-Su`uud ad-Dusuuqi al-Maliki dalam “Haasyiah ad-Dusuuqi” juzuk 1 halaman 503 menyatakan:-<br />
“Dan mentakhirkan sahur iaitu ke pertiga akhir malam, dan masuknya waktu untuk bersahur dengan pertengahan malam yang akhir dan jika diakhirkan ianya adalah afdhal. Maka telah warid bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. telah mengakhirkan sahur sehingga kira-kira selesainya baginda daripada bersahur dan terbitnya fajar (masa) kadar apa yang dibaca si pembaca 50 ayat.”<br />
<br />
Sebagai keterangan tambahan, ada juga pendapat segelintir ulama (kata qil) yang berpegang bahawa kewajipan imsak berlaku sebelum terbitnya fajar shodiq, sebagaimana disebut oleh Ibnu Rusyd dalam “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” juzuk 2, mukasurat 37 di mana beliau, berhubung kata qil ini, menyatakan:-</div><div style="text-align: justify;">“…Dan mereka yang berpendapat bahawasanya imsak itu wajib sebelum fajar shodiq, maka pendapat mereka ini adalah berdasarkan kepada ihtiyath dan saddudz dzarii`ah dan ianya adalah pendapat yang lebih wara` (berhati-hati) antara dua pendapat tersebut…”</div><div style="text-align: justify;"><br />
Walau bagaimanapun, pendapat ini adalah kata qil yang tidak dipegangi dalam mazhab kita dan mazhab jumhur. Mazhab kita dan mazhab jumhur tidaklah mewajibkan imsak sebelum terbit fajar ini, hanya kita memandang sunnat dan afdhal untuk berhenti sahur kira-kira 10 – 15 minit sebelum terbit fajar. Oleh itu isu ini bukanlah perkara asasiyyah yang wajar untuk diperbesarkan.<br />
<br />
Wallahu a’lam<br />
(dari berbagai sumber : orgawam.wordpress.com, bahrusshofa, dan sidogiri.net)</div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-12366265729717426142010-07-06T16:53:00.000+07:002010-07-06T16:53:14.936+07:00Terjemahan ringkas dari Kitab Al Anwaarul Bahiyyah Min Israa' Wa Mi'raaj Khoiril Bariyyah Karya Al Imam As Sayyid Muhammad bin Alawy Al Hasany RA.<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigYOpp9kcj_3VjGcg9pmFKhF4nI9IqX4ZSDw0lH9sPen8-DDGWhgN6yl8-7KDFdsGqOrOsN_YxOWOJHagKhHObs7VfRlcfMFvJ9j07sv-E-mKu7-J5rHv8smowv2yPLH8sS_A71gCxaG06/s1600/angkasa.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigYOpp9kcj_3VjGcg9pmFKhF4nI9IqX4ZSDw0lH9sPen8-DDGWhgN6yl8-7KDFdsGqOrOsN_YxOWOJHagKhHObs7VfRlcfMFvJ9j07sv-E-mKu7-J5rHv8smowv2yPLH8sS_A71gCxaG06/s320/angkasa.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Diterjemahkan dengan ringkas dari Kitab Al Anwaarul Bahiyyah Min Israa' Wa Mi'raaj Khoiril Bariyyah Karya Al Imam As Sayyid Muhammad bin Alawy Al Hasany RA.<br />
<br />
Pada suatu malam Nabi Muhammad SAW berada di Hijir Ismail dekat Ka'bah al Musyarrofah, saat itu beliau berbaring diantara paman beliau, Sayyiduna Hamzah dan sepupu beliau, Sayyiduna Jakfar bin Abi Thalib, tiba-tiba Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil menghampiri beliau lalu membawa beliau ke arah sumur zamzam, setibanya di sana kemudian mereka merebahkan tubuh Rasulullah untuk dibelah dada beliau oleh Jibril AS.<br />
<br />
Dalam riwayat lain disebutkan suatu malam terbuka atap rumah Beliau saw, kemudian turun Jibril AS, lalu Jibril membelah dada beliau yang mulya sampai di bawah perut beliau, lalu Jibril berkata kepada Mikail:<br />
<br />
"Datangkan kepadaku nampan dengan air zam-zam agar aku bersihkan hatinya dan aku lapangkan dadanya".<br />
<br />
Dan perlu diketahui bahwa penyucian ini bukan berarti hati Nabi kotor, tidak, justru Nabi sudah diciptakan oleh Allah dengan hati yang paling suci dan mulya, hal ini tidak lain untuk menambah kebersihan diatas kebersihan, kesucian diatas kesucian, dan untuk lebih memantapkan dan menguatkan hati beliau, karena akan melakukan suatu perjalanan maha dahsyat dan penuh hikmah serta sebagai kesiapan untuk berjumpa dengan Allah SWT.<br />
<br />
Kemudian Jibril AS mengeluarkan hati beliau yang mulya lalu menyucinya tiga kali, kemudian didatangkan satu nampan emas dipenuhi hikmah dan keimanan, kemudian dituangkan ke dalam hati beliau, maka penuhlah hati itu dengan kesabaran, keyakinan, ilmu dan kepasrahan penuh kepada Allah, lalu ditutup kembali oleh Jibril AS.<br />
<br />
Setelah itu disiapkan untuk Baginda Rasulullah binatang Buroq lengkap dengan pelana dan kendalinya, binatang ini berwarna putih, lebih besar dari himar lebih rendah dari baghal, dia letakkan telapak kakinya sejauh pandangan matanya, panjang kedua telinganya, jika turun dia mengangkat kedua kaki depannya, diciptakan dengan dua sayap pada sisi pahanya untuk membantu kecepatannya.<br />
<br />
Saat hendak menaikinya, Nabi Muhammad merasa kesulitan, maka meletakkan tangannya pada wajah buroq sembari berkata: "Wahai buroq, tidakkah kamu merasa malu, demi Allah tidak ada Makhluk Allah yang menaikimu yang lebih mulya daripada dia (Rasulullah)", mendengar ini buroq merasa malu sehingga sekujur tubuhnya berkeringat, setelah tenang, naiklah Rasulullah keatas punggungnya, dan sebelum beliau banyak Anbiya' yang menaiki buroq ini.<br />
<br />
Dalam perjalanan, Jibril menemani disebelah kanan beliau, sedangkan Mikail di sebelah kiri, menurut riwayat Ibnu Sa'ad, Jibril memegang sanggurdi pelana buroq, sedang Mikail memegang tali kendali.<br />
<br />
(Mereka terus melaju, mengarungi alam Allah SWT yang penuh keajaiban dan hikmah dengan Inayah dan RahmatNya), di tengah perjalanan mereka berhenti di suatu tempat yang dipenuhi pohon kurma, lantas malaikat Jibril berkata: "Turunlah disini dan sholatlah", setelah Beliau sholat, Jibril berkata: "Tahukah anda di mana Anda sholat?", "Tidak", jawab beliau, Jibril berkata: "Anda telah sholat di Thoybah (Nama lain dari Madinah) dan kesana anda akan berhijrah".<br />
<br />
Kemudian buroq berangkat kembali melanjutkan perjalanan, secepat kilat dia melangkahkan kakinya sejauh pandangan matanya, tiba-tiba Jibril berseru: "berhentilah dan turunlah anda serta sholatlah di tempat ini!", setelah sholat dan kembali ke atas buroq, Jibril memberitahukan bahwa beliau sholat di Madyan, di sisi pohon dimana dahulu Musa bernaung dibawahnya dan beristirahat saat dikejar-kejar tentara Firaun.<br />
<br />
Dalam perjalanan selanjutnya Nabi Muhammad turun di Thur Sina', sebuah lembah di Syam, tempat dimana Nabi Musa berbicara dengan Allah SWT, beliau pun sholat di tempat itu. Kemudian beliau sampai di suatu daerah yang tampak kepada beliau istana-istana Syam, beliau turun dan sholat disana. Kemudian Jibril memberitahukan kepada beliau dengan berkata: "Anda telah sholat di Bait Lahm (Betlehem, Baitul Maqdis), tempat dilahirkan Nabi Isa bin Maryam".<br />
<br />
Setelah melanjutkan perjalanan, tiba-tiba beliau melihat Ifrit dari bangsa Jin yang mengejar beliau dengan semburan api, setiap Nabi menoleh beliau melihat Ifrit itu. Kemudian Jibril berkata: "Tidakkah aku ajarkan kepada anda beberapa kalimat, jika anda baca maka akan memadamkan apinya dan terbalik kepada wajahnya lalu dia binasa?"<br />
<br />
Kemudian Jibril AS memberitahukan doa tersebut kepada Rasulullah. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan sampai akhirnya bertemu dengan suatu kaum yang menanam benih pada hari itu dan langsung tumbuh besar dan dipanen hari itu juga, setiap kali dipanen kembali seperti awalnya dan begitu seterusnya, melihat keanehan ini Beliau SAW bertanya: "Wahai Jibril, siapakah mereka itu?", Jibril menjawab:" mereka adalah para Mujahid fi sabilillah, orang yang mati syahid di jalan Allah, kebaikan mereka dilipatgandakan sampai 700 kali.<br />
<br />
Kemudian beberapa saat kemudian beliau mencium bau wangi semerbak, beliau bertanya: "Wahai Jibril bau wangi apakah ini?", "Ini adalah wanginya Masyithoh, wanita yang menyisir anak Firaun, dan anak-anaknya", jawab Jibril AS.<br />
<br />
Masyitoh adalah tukang sisir anak perempuan Firaun, ketika dia melakukan pekerjaannya tiba-tiba sisirnya terjatuh, spontan dia mengatakan: "Bismillah, celakalah Firaun", mendengar ini anak Firaun bertanya: "Apakah kamu memiliki Tuhan selain ayahku?", Masyithoh menjawab: "Ya". Kemudian dia mengancam akan memberitahukan hal ini kepada Firaun. Setelah dihadapkan kepada Raja yang Lalim itu, dia berkata: "Apakah kamu memiliki Tuhan selain aku?", Masyithoh menjawab: "Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah".<br />
<br />
Mengetahui keteguhan iman Masyithoh, kemudian Firaun mengutus seseorang untuk menarik kembali dia dan suaminya yang tetap beriman kepada Allah agar murtad, jika tidak maka mereka berdua dan kedua anaknya akan disiksa, tapi keimanan masih menetap di hati Masyithoh dan suaminya, justru dia berkata: "Jika kamu hendak membinasakan kami, silahkan, dan kami harap jika kami terbunuh kuburkan kami dalam satu tempat".<br />
<br />
Maka Firaun memerintahkan agar disediakan kuali raksasa dari tembaga yang diisi minyak dan air kemudian dipanasi, setelah betul-betul mendidih, dia memerintahkan agar mereka semua dilemparkan ke dalamnya, satu persatu mereka syahid, sekarang tinggal Masyithoh dan anaknya yang masih menyusu berada dalam dekapannya, kemudian anak itu berkata: "Wahai ibuku, lompatlah, jangan takut, sungguh engkau berada pada jalan yang benar", kemudian dilemparlah dia dan anaknya.<br />
<br />
Kemudian di tengah perjalanan, beliau juga bertemu dengan sekelompok kaum yang menghantamkan batu besar ke kepala mereka sendiri sampai hancur, setiap kali hancur, kepala yang remuk itu kembali lagi seperti semula dan begitu seterusnya. Jibril menjelaskan bahwa mereka adalah manusia yang merasa berat untuk melaksanakan kewajiban sholat.<br />
<br />
Kemudian beliau juga bertemu sekelompok kaum, di hadapan mereka ada daging yang baik yang sudah masak, sementara di sisi lain ada daging yang mentah lagi busuk, tapi ternyata mereka lebih memilih untk menyantap daging yang mentah lagi busuk, ketika Rasulullah menanyakan perihal ini, Jibril menjawab: "Mereka adalah manusia yang sudah mempunyai isteri yang halal untuknya, tapi dia justru berzina (berselingkuh) dengan wanita yang jelek (hina), dan begitupula mereka adalah para wanita yang mempunyai suami yang halal baginya tapi justru dia mengajak laki-laki lain untuk berzina dengannya".<br />
<br />
Ketika beliau melanjutkan perjalanan, tiba-tiba seseorang memanggil beliau dari arah kanan: "Wahai Muhammad, aku meminta kepadamu agar kamu melihat aku", tapi Rasulullah tidak memperdulikannya. Kemudian Jibril menjelaskan bahwa itu adalah panggilan Yahudi, seandainya beliau menjawab panggilan itu maka umat beliau akan menjadi Yahudi. Begitu pula beliau mendapat seruan serupa dari sebelah kirinya, yang tidak lain adalah panggilan nashrani, namun Nabi tidak menjawabnya. Walhamdulillah.<br />
<br />
Kemudian tiba-tiba muncul di hadapan beliau seorang wanita dengan segala perhiasan di tangannya dan seluruh tubuhnya, dia berkata: "Wahai Muhammad lihatlah kepadaku", tapi Rasulullah tidak menoleh kepadanya, Jibril berkata: "Wahai Nabi itu adalah dunia, seandainya anda menjawab panggilannya maka umatmu akan lebih memilih dunia daripada akhirat".<br />
<br />
Demikianlah perjalanan ditempuh oleh beliau SAW dengan ditemani Jibril dan Mikail, begitu banyak keajaiban dan hikmah yang beliau temui dalam perjalanan itu sampai akhirnya beliau berhenti di Baitul Maqdis (Masjid al Aqsho). Beliau turun dari Buraq lalu mengikatnya pada salah satu sisi pintu masjid, yakni tempat dimana biasanya Para Nabi mengikat buraq di sana.<br />
<br />
Kemudian beliau masuk ke dalam masjid bersama Jibril AS, masing-masing sholat dua rakaat. Setelah itu sekejab mata tiba-tiba masjid sudah penuh dengan sekelompok manusia, ternyata mereka adalah para Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian dikumandangkan adzan dan iqamah, lantas mereka berdiri bershof-shof menunggu siapakah yang akan mengimami mereka, kemudian Jibril AS memegang tangan Rasulullah SAW lalu menyuruh beliau untuk maju, kemudian mereka semua sholat dua rakaat dengan Rasulullah sebagai imam. Beliaulah Imam (Pemimpin) para Anbiya' dan Mursalin.<br />
<br />
Setelah itu Rasulullah SAW merasa haus, lalu Jibril membawa dua wadah berisi khamar dan susu, Rasulullah memilih wadah berisi susu lantas meminumnya, Jibril berkata: "Sungguh anda telah memilih kefitrahan yaitu al Islam, jika anda memilih khamar niscaya umat anda akan menyimpang dan sedikit yang mengikuti syariat anda".<br />
<br />
Kemudian setelah beliau menyempurnakan segalanya, maka tiba saatnya beliau melakukan mi'raj yakni naik bersama Jibril menembus langit satu persatu sampai akhirnya berjumpa dengan Khaliq-nya. Bagaimana dan apa saja yang beliau temui pada Mi'raj ini sampai akhirnya beliau kembali ke Makkah, Insya Allah akan kita paparkan pada edisi berikutnya.<br />
<br />
Wallahu a'lam.<br />
</div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-39201304205953980642010-07-06T16:44:00.000+07:002010-07-06T16:44:55.201+07:00UNDANGAN UMUMKepada Yth,<br />
KAUM MUSLIMIN DAN MUSLIMAT<br />
di - Tempat<br />
<br />
Assalamu’alaikum Wr. Wb.<br />
Dengan ini kami mengundang Bapak/Ibu/Sdr/Sdri Kaum Muslimin untuk hadir dalam rangka ZIKIR AKBAR Peringatan ISRA’ dan MI’RAJ NABI BESAR MUHAMMAD SAW Tahun 1431 H dan Deklarasi Lembaga ANSHORULLAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH PROVINSI SUMATERA UTARA MASA BAKTI 2010 – 2015, yang Insya Allah dilaksanakan pada :<br />
<br />
Hari/Tanggal : Sabtu, 10 Juli 2010 <br />
Pukul : 08.00 – 11.15 Wib. <br />
Muballigh : Ustadz H. Mhd. Nasir, Lc., MA. <br />
Tempat : Mesjid Agung<br />
Jl. Pangeran Diponegoro Medan.<br />
<br />
Demikian undangan ini kami sampaikan, atas kehadirannya di ucapkan terima kasih<br />
<br />
PENGURUS LEMBAGA<br />
ANSHORULLAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH<br />
PENGURUS PROVINSI SUMATERA UTARA<br />
<br />
Ketua Umum Sekretaris Umum<br />
M. ALAMSYAH NASUTION ABD. LATIF IBRAHIM, S.Pd<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDMfxz6dM47VAj3_aiNfCNF3jZdtaJm9ia9vqH8YL3omfYUsunp24OKwDpS-0MsBxolnLTePkPGB6cXbYJn802Tq03N3UwuwKIgWBoEILEeV8SGaTrquR1cZwlTrur79JfKVysuMXQmeuu/s1600/Undangan+1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDMfxz6dM47VAj3_aiNfCNF3jZdtaJm9ia9vqH8YL3omfYUsunp24OKwDpS-0MsBxolnLTePkPGB6cXbYJn802Tq03N3UwuwKIgWBoEILEeV8SGaTrquR1cZwlTrur79JfKVysuMXQmeuu/s1600/Undangan+1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDMfxz6dM47VAj3_aiNfCNF3jZdtaJm9ia9vqH8YL3omfYUsunp24OKwDpS-0MsBxolnLTePkPGB6cXbYJn802Tq03N3UwuwKIgWBoEILEeV8SGaTrquR1cZwlTrur79JfKVysuMXQmeuu/s320/Undangan+1.jpg" /></a></div><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyTMG7lcmWyekwJg5mY7UL-bEwFnSLdVysYjpupP4pcpefZJQgOVrAOsw-_GKrGWn_eFrMDLpvJKaTTjzg3bxe_p098lq4zz6pN1OQlC3AaR7t_5TToyzpTKumXkNkNgrJToAYQb-phZBq/s1600/Undangan+2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyTMG7lcmWyekwJg5mY7UL-bEwFnSLdVysYjpupP4pcpefZJQgOVrAOsw-_GKrGWn_eFrMDLpvJKaTTjzg3bxe_p098lq4zz6pN1OQlC3AaR7t_5TToyzpTKumXkNkNgrJToAYQb-phZBq/s320/Undangan+2.jpg" /></a></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-23279257852291661682010-06-07T11:45:00.001+07:002010-06-07T11:58:35.274+07:00Apa bukti keimanan mu??<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyV2NYiZDrxwPptYGhhDfWKtNpIiGfOaIJpHSagY8HQlpR67lXp1_p7mJaRAAss3QpdNyIkjeIWcJ7mb_sJNupPjuIwvORSyphGKPvpDbF1nbBJsJ3Y9zvBAhUJB5p32JpBNirQR4_yYs2/s1600/siluet_t2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyV2NYiZDrxwPptYGhhDfWKtNpIiGfOaIJpHSagY8HQlpR67lXp1_p7mJaRAAss3QpdNyIkjeIWcJ7mb_sJNupPjuIwvORSyphGKPvpDbF1nbBJsJ3Y9zvBAhUJB5p32JpBNirQR4_yYs2/s200/siluet_t2.jpg" width="200" /></a></div><div style="text-align: justify;">Al-Hakim meriwayatkan Alqamah bin Haris r.a berkata, aku datang kepada Rasulullah s.a.w dengan tujuh orang dari kaumku. Kemudian setelah kami beri salam dan beliau tertarik sehingga beliau bertanya, "Siapakah kalian ini ?" </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jawab kami, "Kami adalah orang beriman." </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kemudian baginda bertanya, "Setiap perkataan ada buktinya, apakah bukti keimananmu ?" </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jawab kami, "Buktinya ada lima belas perkara. Lima perkara yang engkau perintahkan kepada kami, lima perkara yang diperintahkan oleh utusanmu kepada kami dan lima perkara yang kami biasakan sejak zaman jahiliyyah ?" </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tanya Nabi s.a.w, "Apakah lima perkara yang aku perintahkan kepada kalian itu ?" </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jawab mereka, "Kamu telah perintahkan kami untuk beriman kepada Allah, percaya kepada Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, percaya kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk." </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Selanjutnya tanya Nabi s.a.w, "Apakah lima perkara yang diperintahkan oleh para utusanku itu ?" </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jawab mereka, "Kami diperintahkan oleh para utusanmu untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah, hendaknya kami mendirikan solat wajib, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat dan berhaji bila mampu." </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tanya Nabi s.a.w selanjutnya, "Apakah lima perkara yang kamu masih biasakan sejak zaman jahiliyyah ?" </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jawab mereka, "Bersyukur di waktu senang, bersabar di waktu kesusahan, berani di waktu perang, ridha pada waktu kena ujian dan tidak merasa gembira dengan sesuatu musibah yang menimpa pada musuh." </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mendengar ucapan mereka yang amat menarik ini, maka Nabi s.a.w berkata, "Sungguh kalian ini termasuk di dalam kaum yang amat pandai sekali dalam agama maupun dalam tatacara berbicara, hampir saja kamu serupa dengan para Nabi dengan segala macam yang kamu katakan tadi." </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kemudian Nabi s.a.w melanjutkan, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada lima perkara amalan yang akan menyempurnakan dari yang kalian punyai ? </div><div style="text-align: justify;">Janganlah kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak akan kalian makan. Janganlah kalian mendirikan rumah yang tidak akan kalian tempati, janganlah kalian berlomba-lomba dalam sesuatu yang bakal kalian tinggalkan (Dunia ) berusahalah untuk mencari bekal ke dalam akhirat."</div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-43026775860730176852010-06-07T11:43:00.001+07:002010-06-07T12:13:11.930+07:00Tafsir “al-Ma'iyyah” Pada Hak Allah (Bukan Dalam Makna Menempel; Hati-hati!!!!)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiE9UOAuX7Avcs8ro7MaiMPaEcL3VWWFcLOCFLMwzRuHapVNNYImspO8RrJZ1BvxmRYHcfLhJTt4Io3NAK_5fooOoPkeLbcCeL9P7c-pEuzw1PZajzSOX2QXeWxsgKtHr_YqM3cA3bGZjyt/s1600/siluet-masjid-13.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiE9UOAuX7Avcs8ro7MaiMPaEcL3VWWFcLOCFLMwzRuHapVNNYImspO8RrJZ1BvxmRYHcfLhJTt4Io3NAK_5fooOoPkeLbcCeL9P7c-pEuzw1PZajzSOX2QXeWxsgKtHr_YqM3cA3bGZjyt/s320/siluet-masjid-13.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;"><big>Dalam al-Qur’an Allah berfirman:<br />
<br />
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ (الحديد: 4) <br />
<br />
Kata “Ma’akum” dalam ayat ini bukan berarti bahwa Allah menempel, mengiringi, menyatu, atau menetap dengan setiap orang dari kita. Tetapi al-Ma’iyyah di sini adalah dalam pengertian bahwa Allah dengan sifat ilmu-Nya mengetahui di manapun setiap orang dari kita berada. Artinya, yang dimaksud ayat ini adalah “Ma’iyyah al-‘Ilm”, bukan “Ma’iyyah adz-Dzat Bi adz Dzat”.<br />
<br />
Terkadang al-Ma’iyyah dapat pula dalam pengertian pertolongan dan perlindungan Allah. Seperti firman-Nya dalam QS. an-Nahl: 128:<br />
<br />
إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا (سورة النحل :128)<br />
<br />
Al-ma'iyyah dalam ayat ini bukan bahwa Allah menempati makhluk-Nya, menyatu, atau menempel dengannya. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa Allah memberikan pertolongan dan perlindungan bagi orang-orang sabar. <br />
<br />
Seorang yang berkeyakinan bahwa Allah menempel, menyatu, atau berpisah dengan jarak, atau bertempat, maka ia telah menjadi kafir. Karena itu, Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya menempel, atau menyatu dengan alam ini, juga tidak boleh dikatakan terpisah dengan jarak, atau berada di luar alam ini. Allah tidak disifati dengan bentuk, baik ukuran besar atau kecil, panjang atau pendek, di luar atau di dalam, menempel atau terpisah, karena semua itu adalah sifat-sifat benda. Dengan demikian, setiap prasangka atau bayangan yang menyandarkan bentuk dan ukuran kepada Allah, atau menyandarkan sifat-sifat benda kepada-Nya, maka itu semua wajib diusir dan dihilangkan dari benak dan pikiran. <br />
<br />
Dahulu, orang-orang Yahudi menyandangkan sifat lelah kepada Allah. Mereka berkata: “Setelah Allah menciptakan langit dan bumi Dia beristirahat dan terlentang karena lelah”. Perkataan semacam ini jelas sebuah kekufuran, karena Allah maha suci dari sifat-sifat benda. Dia maha suci dari sifat-sifat tubuh (al-Infi’alat), seperti lelah, sakit, merasa lezat, dan lainnya. Karena yang mengalami keadaan-keadaan semacam ini pasti sebagai makhluk yang selalu mengalami perubahan. Allah berfirman: <br />
<br />
وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ (سورة ق : 38)<br />
<br />
“Kami (Allah) telah menciptakan semua langit-langit dan bumi dan segala apa yang berada di antara keduanya dalam enam hari dan tidaklah sekali-kali mendapati Kami oleh kelelahan” (QS. Qaf: 38)<br />
<br />
Yang akan merasakan lelah adalah yang melakukan suatu perbuatan dengan perantara anggota-anggota badan. Sedangkan Allah maha suci dari setiap anggota badan. Allah berfirman: <br />
<br />
إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (غافر : 20) <br />
<br />
“Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”. (QS. Ghafir: 20)<br />
<br />
Allah mendengar dan melihat bukan seperti melihat dan mendengar yang ada pada makhluk. Sifat mendengar (as-Sam’u) dan sifat melihat (al-Bashar) pada Allah ada dua sifat-Nya azali yang bukan merupakan sifat-sifat anggota badan. Artinya, bukan dengan telinga, bukan dengan kelopak mata, bukan dengan istilah jarak dekat atau jauh, tidak berhubungan dengan adanya arah, dan tanpa dengan munculnya cahaya dari mata, atau berhembusnya udara.<br />
<br />
Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki telinga maka ia telah kafir, meskipun ia mengatakan bahwa telinga Allah tidak seperti telinga kita. Hal ini berbeda dengan orang yang mengatakan: “Lillahi ‘Ain La Ka A’yunina” atau “Lillahi Yad La Ka Aidina”, (Artinya; “Allah memiliki ‘Ain, tetapi tidak seperti mata kita”, atau “Allah memiliki Yad, tetapi tidak seperti tangan kita). Melainkan bahwa “al-‘Ain” dan “al-Yad” ini adalah sebagai sifat-Nya. Kata “al-‘Ain” dan kata “al-Yad” terdapat penyebutannya di dalam al-Qur’an, dengan demikian keduanya boleh kita nisbatkan kepada Allah tanpa kita memahaminya sebagai anggota-anggota badan. Sedangkan kata “al-Udzun” (telinga) tidak ada penyebutannya dalam nash-nash syari’at dinisbatkan kepada Allah (Lebih lengkap tafsir “al-Ma’iyyah” lihat asy-Syarh al-Qawim Fi Hall Alfazh ash-Shirath al-Mustaqim karya al-Hafizh al-Abdari, h. 192, dan kitab tafsir lainnya.).<big><br />
</big></big></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-72412112029614745812010-06-07T11:39:00.001+07:002010-06-07T13:59:56.289+07:00Allah tidak dikatakan bagi-Nya "di luar", "di dalam", "menempel", dan atau "terpisah" (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcTKXKPbhgSGJwyel67Ja9sYi-Ta4nNzbg7mQeHFC5Nd9svejFaU-GqmbaRsdYTLf_bp6ogyZntcYApXAFTbR-v04f6-7UVULKSTVDyb0HG-YfN6zTZt_iPov_DCLQyZncM8psFQpjk33e/s1600/siluet-masjid-42.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="145" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcTKXKPbhgSGJwyel67Ja9sYi-Ta4nNzbg7mQeHFC5Nd9svejFaU-GqmbaRsdYTLf_bp6ogyZntcYApXAFTbR-v04f6-7UVULKSTVDyb0HG-YfN6zTZt_iPov_DCLQyZncM8psFQpjk33e/s200/siluet-masjid-42.jpg" width="200" /></a></div><div style="text-align: justify;">Kaum Musyabbihah (wahabi sekarang) memiliki kerancuan yang sangat menyesatkan, menyebutkan jika Allah ada tanpa tanpa tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah. Kemudian dari kesesatan mereka ini, mereka menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata: ”Pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat yang sama saja dengan menafikan wujud Allah”.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Cukup untuk membantah kesesatan mereka ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan benda; Dia bukan benda berbentuk kecil juga bukan benda berbentuk besar. Dan oleh karena Dia bukan benda maka keberadaan-Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan bagi-Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para ulama terkemuka dikalangan Ahlussunnah dari empat madzhab. Dan inilah pula keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, di mana mereka telah menetapkan keyakinan tentang kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat makhluk seperti; baru, gerak, diam, berkumpul, berpisah, bertempat, menempel dengan alam, terpisah dari alam, dan lainnya, ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dengan sangat tegas mengatakan bahwa Allah tidak boleh disifat dengan menempel atau terpisah dari sesuatu. Simak tulisan beliau berikut ini:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Bila ada yang berkata bahwa menafikan arah dari Allah sama saja dengan menafikan keberadaan-Nya, kita jawab kesesatan ini: ”Jika kalian berpendapat bahwa segala yang ada itu harus menerima sifat menempel dan terpisah maka pendapat kalian ini benar, namun demikian bahwa Allah mustahil dari sifat menempel dan terpisah juga benar dan dapat diterima. Jika mereka berkata: ”Kalian memaksa kami untuk menetapkan sesuatu yang tidak dapat dipahami!”, kita jawab: ”Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang dapat dipahami itu adalah adalah sesuatu yang dapat dikhayalakan dan digambarkan oleh akal, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan seperti itu karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, segala apapun yang dikhayalkan dan digambarkan oleh akal pastilah merupakan benda yang memiliki warna dan memiliki ukuran, karena khayalan dan gambaran akal itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran akal ini tidak dapat membayangkan apapun kecuali segala apa yang pernah diindra oleh mata karena gambaran adalah buah dari penglihatan dan indra”. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman tersebut tidak dapat diterima oleh akal, maka kita jawab: ”Telah kita jelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah dapat diterima oleh akal. Dan sesungguhnya akal sehat itu tidak memiliki alasan untuk menolak terhadap sesuatu yang logis. Ketahuilah, ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka dengan demikian secara logis nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya. Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan atau berpindah-pindah” (Lihat al-Bâz al-Asyhab, h. 59).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami berkata sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat menempel dan terpisah adalah bahwa sesuatu tersebut pastilah merupakan benda dan pasti membutuhkan kepada tempat. Dan dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda. Pendekatannya, seperti benda keras (al-jamâd; semacam batu) tidak kita katakan bahwa benda itu pintar juga tidak kita katakan bahwa dia itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup. Dan jika sifat hidup itu tidak ada (seperti batu tersebut) maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan darinya” (lihat al-I’lâm Bi Qawâthi’ al-Islâm pada tulisan pinggir (hâmisy) kitab al-Zawâjir, j. 2, h. 43-44).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Al-Imâm al-Hâfizh an-Nawawi dalam kitab Raudlah al-Thâlibin dalam kutipannya dari pernyataan al-Imâm al-Mutawalli berkata: “... atau apa bila seseorang menetapkan sesuatu bagi Allah yang secara Ijma’ telah ditetapkan bahwa sesuatu tersebut dinafikan dari-Nya, seperti menetapkan warna, menempel, dan terpisah, maka orang ini telah menjadi kafir” (Lihat Raudlah al-Thalibîn, j. 10, h. 64). </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Anda lihat kutipan al-Imâm an-Nawawi dari al-Imâm al-Mutawalli bahwa seorang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat benda telah menjadi kafir. Perlu anda ketahui bahwa al-Imâm al-Mutawalli ini adalah seorang yang telah mencapai derajat Ash-hâb al-Wujûh dalam madzhab Syafi’i; adalah derajat keilmuan yang sangat tinggi, satu tingkat di bawah derajat para Mujtahid Mutlak.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al-Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka, yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah Muhammad ibn Jalal pernah ditanya apakah Allah tidak dikatakan di dalam alam ini juga tidak dikatakan di luarnya? yang bertanya ini kemudian berkata: Pertanyaan ini; yaitu Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam telah kami dengar dari beberapa guru kami. Ada sebagian orang yang menyanggah hal ini dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sama juga menafikan dua keadaan yang berlawanan. Ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah segala sesuatu dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan alam. Pendapat terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat sebagian orang menyatakan bahwa pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang rancu dan sia-sia, serta tidak layak dipertanyakan demikian bagi Allah. Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia menjawab demikian atas pertanyaan tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam, sebagaimana ia tuliskan dalam syarh-nya terhadap kitab al-Risâlah. </div><div style="text-align: justify;">Kemudian al-Imâm Ibn Jalal menjawab: ”Akidah yang kita nyatakan dan yang kita pegang teguh serta yang kita yakini sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam. Dan sesungguhnya merasa tidak mampu dan merasa lemah untuk meraih Allah maka itu adalah keyakinan yang benar. Keyakinan ini didasarkan kepada dalil-dalil yang sangat jelas baik dengan dalil akal, maupun dalil naql. Adapun dalil naql adalah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an Allah berfirman bahwa Dia Allah sama sekali tidak menyerupai suatu apapun (QS. asy-Syura: 11). Jika Allah dikatakan berada di dalam alam atau berada di luar alam maka akan banyak yang serupa bagi-Nya. Karena jika Allah berada di dalam alam maka berarti Allah adalah bagian dari jenis-jenis alam itu sendiri, dan bila demikian maka berarti Allah wajib memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang wajib dimiliki oleh setiap bagian alam tersebut (seperti punah, berubah dan lainnya). Lalu jika dikatakan bahwa Allah berada di luar alam maka hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan, bisa jadi Dia menempel dengan alam tersebut dan bisa jadi Dia terpisah dari alam tersebut. Dan bila terpisah maka hal itu menuntut adanya jarak antara keduanya, baik jarak yang terbatas atau jarak yang tidak terbatas. Dan keadaan semacam ini sama saja menuntut bahwa adanya Allah membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya dalam keadaan tersebut. Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">كَانَ اللهُ وَلمْ يَكُنْ شَيءٌ مَعَهُ (روَاه البُخَارِي وَغيرُه)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun bersama-Nya”. (HR al-Bukhari dan lainnya). </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sementara dalil dari Ijma’ ialah bahwa seluruh Ahl al-Haq telah sepakat bahwa Allah ada tanpa arah. Tidak boleh dikatakan bagi-Nya di atas, di bawah, di samping kanan, di samping kiri, di depan atau di belakang.</div><div style="text-align: justify;">Adapun dalil secara akal maka telah sangat jelas bagi anda pada pembahasan di atas dalam makna dari firman Allah QS. asy-Syura: 11. Adapun pendapat yang menyanggah pernyataan ”Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam” karena sama saja dengan menafikan-Nya adalah pendapat yang tidak benar. Karena sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa diterima keberadaannya kecuali dengan adanya salah satu keadaan yang berlawanan (seperti bila tidak di luar, maka ia di dalam) hanya berlaku bagi sesuatu yang terikat oleh dua keadaan tersebut saja. Adapun sesuatu yang tidak disifati dengan dua keadaan tersebut maka hal itu bisa diterima, dan dua keadaan tersebut tidak dikatakan saling bertentangan. Pendekatannya, bila dikatakan “tembok ini tidak buta juga tidak melihat”, maka pernyataan semacam ini tidak dikatakan saling bertentangan, karena dua keadaan yang bertentangan tersebut tidak berlaku bagi tembok. Maka demikian pula ketika kita katakan bagi Allah bahwa Dia tidak di atas, juga tidak di bawah, atau semacamnya, itu semua bisa diterima oleh akal. </div><div style="text-align: justify;">Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah segala sesuatu dari komponen alam ini, seperti yang dituduhkan kepada al-Ghazali, maka ini adalah pendapat yang berasal dari kaum filsafat yang belakangan diambil sebagai faham oleh beberapa kelompok kaum sufi gadungan. Dan pernyataan semacam ini jauh dari kebenaran. Adapun pendapat yang menuduh bahwa pernyataan ”Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam” sebagai pernyataan yang rancu dan sia-sia serta perkara yang tidak layak dipertanyakan bagi Allah, maka pendapat ini tidak bisa diterima karena telah jelas dalil-dalilnya seperti yang telah dibahas. Dan seandainya benar pendapat Ibn Miqlasy seperti ini, namun demikian ia tidak patut dijadikan rujukan dalam hal ini karena dia bukanlah seorang yang ahli seperti layaknya kaum teolog (dari kalangan Ahlussunnah). Dan sesungguhnya, memang banyak dari antara para ulama fiqih yang tidak benar-benar mumpuni dalam masalah teologi ini, terlebih lagi sangat mendalam dengan sedetailnya” (Lihat ad-Durr al-Tsamîn, h. 24-25).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pernyataan bahwa Allah tidak di dalam alam dan tidak di luar alam juga telah diungkapkan oleh salah seorang pimpinan kaum teolog di kalangan Ahlussunnah, yaitu al-Imâm Abu al-Mu’ain an-Nasafi, demikian pula telah disebutkan oleh asy-Syaikh al-Qunawi, al-‘Allâmah asy-Syaikh al-Bayyadli, dan para ulama terkemuka lainnya. (Lihat Isyârât al-Marâm Min ’Ibârât al-Imâm, h. 197-198).</div><div style="text-align: justify;">Al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari menuliskan: </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">”Setelah adanya penjelasan yang sangat terang ini maka janganlah engkau tertipu dengan kesesatan kaum Mujassimah hingga mereka memalingkanmu dari akidah tanzîh kepada akidah tasybîh. Biasanya mereka berkata: ”Pernyataan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa bentuk, tidak menempel dengan alam atau tidak terpisah dari alam adalah pendapat yang sama sekali tidak bisa dipahami”. Kita katakan kepada mereka: ”Di antara makhluk saja ada sesuatu yang wajib kita percayai keberadaannya, padahal sesuatu tersebut tidak dapat kita bayangkan. Tetapi demikian, akal kita menetapkan keberadaan sesuatu tersebut. Yaitu adanya satu waktu sebelum diciptakannya cahaya dan kegelapan. Sesungguhnya, cahaya dan kegelapan adalah makhluk Allah, sebelumnya tidak ada, lalu kemudian menjadi ada karena diciptakan oleh Allah, seperti dalam berfirman-Nya:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ (الأنعام: 1)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">”Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala kegelapan dan cahaya” (QS. al-An’am: 1). </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dengan ayat ini kita wajib beriman bahwa kegelapan dan cahaya adalah makhluk Allah. Ini artinya kita wajib meyakini bahwa ada suatu waktu; di mana Allah belum menciptakan kegelapan dan belum menciptakan cahaya. Dalam hal ini akal manusia tidak akan bisa membayangkan adanya suatu waktu yang di dalamnya tidak ada kegelapan juga tidak ada cahaya. Jika pada makluk saja ada sesuatu yang harus kita percayai semacam ini yang tidak dapat digambarkan dan dibayangkan oleh akal maka terlebih lagi tentang Allah. Artinya, jika keberadaan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh akal dapat diterima oleh akal, maka demikian pula dapat diterima jika Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal; bahwa Dia ada tanpa bentuk, tanpa tempat, tanpa arah, tidak menempel atau di dalam alam dan juga tidak di luar alam. Bahkan adanya Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal harus lebih diterima dibanding waktu yang tidak ada kegelapan dan cahaya di dalamnya tersebut. Karena waktu tersebut adalah makhluk, sementara Allah adalah Khâliq, dan Dia sendiri telah berfirman dalam QS. asy-Syura: 11 bahwa Dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya” (Lihat Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ’Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, J. 1, h. 107).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ingat, Aqidah Rasulullah, para sahabat, dan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.</div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-82428939484210860632010-06-06T19:27:00.005+07:002010-06-07T11:37:14.731+07:00Penjelasan Tentang Riddah (Keluar Dari Islam) Dari Berbagai Kitab Para Ulama 4 Madzhab [Supaya Kita Selalu Terhindar Dari Kufur]<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsiOw0HEJZTpAEMT1jowpQ3Cly7bWxY-4YmmcxHAeKrbaHDCRsOF675JRQpIJ1Nw5laIfUZnuQi6yoEtw3i-IOKB9Dijm8fa00tWvbLVbN6tMWIxem932BP4Y6Wx4O9xxLcS2y8vOw08EQ/s1600/1449634-2-silhouette-of-man-stood-by-tree-overlooking-manchester-city-centre-at-night2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsiOw0HEJZTpAEMT1jowpQ3Cly7bWxY-4YmmcxHAeKrbaHDCRsOF675JRQpIJ1Nw5laIfUZnuQi6yoEtw3i-IOKB9Dijm8fa00tWvbLVbN6tMWIxem932BP4Y6Wx4O9xxLcS2y8vOw08EQ/s400/1449634-2-silhouette-of-man-stood-by-tree-overlooking-manchester-city-centre-at-night2.jpg" width="400" /></a></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><big>الردة</big><br />
<big> الردة وهي قطع الإسلام، وتنقسم إلى ثلاثة أقسام: أفعال وأقوالٌ واعتقادات كما اتَّفقَ على ذلك أهل المذاهب الأربعة وغيرهم، كالنووي (ت676 هـ) وغيره من الشافعية، وابن عابدين ( ت 1252 هـ ) وغيره من الحنفية، ومحمد عليش ( ت1299 هـ ) وغيره من المالكية، والبهوتي ( ت 1051 هـ) وغيره من الحنابلة.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Riddah</big><br />
<big> Riddah adalah memutuskan Islam. Riddah terbagi kepada tiga macam; riddah (keluar dari Islam) karena perbuatan, karena perkataan dan karena keyakinan. Pembagian ini telah disepakati oleh para ulama dari empat madzhab dan lainnya; seperti, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dan lainnya dari ulama madzhab Syafi’i, al-Imam Ibn Abidin (w 1252 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanafi, Syekh Muhammad Illaisy (w 1299 H) dan lainnya dari ulama madzhab Maliki, dan al-Imam al-Buhuti (w 1051 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanbali.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وكلٌّ من الثلاثة كفرٌ بمفردِهِ فالكفرُ القوليُّ كفرٌ ولو لم يقترن به اعتقادٌ أو فعلٌ، والكفرُ الفِعْلِيُّ كفرٌ ولو لم يقترن به قول أو اعتقادٌ أو انشراحُ الصَّدْر به، والكفرُ الاعتقادي كفرٌ ولو لم يقترن به قولٌ أو فعلٌ، وسواء حصول هذا من جاهل بالحكم أو هازل أو غضبان.</big><br />
<big> قال الله تعالى: [وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ] {التوبة 66-65 } .</big><br />
<big> </big><br />
<big> Setiap satu dari tiga macam kufur di atas dengan sendirinya merupakan kekufuran (artinya mengeluarkan seseorang dari Islam). Kufur Qawli misalkan, (kufur karena ucapan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkan seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur I’tiqadi dan atau kufur Fi’li. Demikian pula kufur Fi’li (kufur karena perbuatan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkna seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur Qawli, atau kufur I’tiqadi, dan juga walaupun tidak dibarengi dengan tujuan dalam hati untuk keluar dari Islam itu sendiri. Dan demikian pula dengan kufur I’tiqadi dengan sendirinya ia merupakan kekufuran walaupun tidak dibarengi dengan kufur Qawli dan atau kufur Fi’li. Dengan demikian setiap satu dari tiga macam kufur ini bila terjadi masing-masing maka dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari Islam, sama halnya bila itu terjadi dari seorang yang tidak mengetahui hukumnya, atau orang yang dalam keadaan bercanda, dan atau orang yang dalam keadaan marah.</big><br />
<big> Allah berfirman:</big><br />
<big> </big><br />
<big> قال الله تعالى: [وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ] {التوبة 66-65 }</big><br />
<big> </big><br />
<big> “Dan bila engkau (Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya bermain-main (bercanda)”, katakan (wahai Muhammad); “Adakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS. At-Taubah; 65-66).</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" إنَّ الرَّجلَ لَيَتَكلَّمُ بالكلمةِ لا يَرى بها بأسًا يهوِي بِها سبعينَ خريفًا في النَّارِ " رواه الترمذي وحسنه، وفي معناه حديث رواه البخاري ومسلم.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya --yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. (HR. at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih masing-masing).</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الإمام المجتهد محمد بن جرير الطبري ( ت 310 هـ ) في كتابه " تهذيب الآثار ": إن من المسلمين من يخرج من الإسلام من غير أن يقصد الخروج منه اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Salah seorang Imam Mujtahid terkemuka; yaitu Imam Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) dalam kitab karyanya berjudul Tahdzib al-Atsar, berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الحافظ الكبير أبو عوانة (ت 316 هـ) الذي عمل مستخرجا على مسلم، فيما نقله عنه الحافظ ابن حجر في فتح الباري ج12/301-302:" وفيه أن من المسلمين من يخرج من الدين من غير أن يقصد الخروج منه ومن غير أن يختار دينا على دين الإسلام" اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Ahli hadits terkemuka yang telah membuat kitab al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim, yaitu al-Hafizh Abu Uwanah (w 316 H), berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya, dan atau walaupun ia tidak bertujuan memiliki agama lain selain agama Islam”. (Dikutip oleh al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqlani dalam Fath al-Bari, j. 12, h. 301-302).</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الشيخ عبد الله بن الحسين بن طاهر الحضرمي (ت 1272 هـ) في كتابه سلم التوفيق إلى محبة الله على التحقيق:" يجب على كل مسلم حفظُ إسلامه وصونُهُ عمَّا يفسده ويبطلُهُ ويقطعُهُ وهو الرّدةُ والعياذ بالله تعالى وقد كثُرَ في هذا الزمان التساهلُ في الكلام حتى إنَّهُ يخرج من بعضهم ألفاظٌ تُخرجهم عن الإسلام ولا يَرَوْنَ ذلك ذنبًا فضلاً عن كونه كفرًا"اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Syekh Abdullah ibn al-Husain ibn Thahir al-Hadlrami (w 1272 H) dalam kitab Sullam at-Taufiq Ila Mahabbah Allah ‘Ala at-Tahqiq, berkata: “Wajib atas setiap orang muslim menjaga Islamnya, dan memeliharanya dari segala perkara yang dapat merusaknya, membatalkannya, dan memutuskannya; yaitu riddah --semoga kita dilindungi oleh Allah darinya--. Dan sungguh di zaman sekarang ini telah banyak orang yang menganggap remeh dalam berkata-kata hingga telah keluar dari sebagian mereka kata-kata yang telah mengeluarkan mereka dari Islam. Ironisnya, mereka tidak menganggap hal itu sebagai dosa, terlebih menganggapnya sebagai kekufuran”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> قال مختصره الإمام المحدث الشيخ عبد الله بن الهرري (ت 1429 هـ) ص/14: " وذلك مصداقُ قوله صلى الله عليه وسلم :" إن العبد ليتكلم بالكلمة لا يرى بها بأسًا يهوي بها في النار سبعين خريفًا" أي مسافة سبعين عامًا في النـزول وذلك منتهى جهنم وهو خاصٌ بالكفار. والحديث رواه الترمذي وحسَّنَه. وفي معناه حديث رواه البخاري ومسلم، وهذا الحديث دليل على أنه لا يشترط في الوقوع في الكفر معرفة الحكم ولا انشراح الصدر ولا اعتقاد معنى اللفظ."اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Al-Imam al-Hafizh Abdullah ibn Muhammad al-Harari (w 1429 H), dalam kitab Mukhtashar Sullam at-Taufiq, h. 14, berkata: “--bahwa menganggap remeh kata-kata kufur dapat mengeluarkan seseorang dari Islamnya-- hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya --yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. Artinya, ia akan masuk ke dalam neraka hingga ke dasarnya yang jarak hingga dasarnya tersebut adalah 70 tahun, dan dasar neraka adalah khusus sebagai tempat bagi orang-orang kafir. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini merupakan dalil bahwa terjatuh dalam kufur tidak disyaratkan harus mengetahui hukumnya, juga tidak disyaratkan bahwa hatinya benar-benar bertujuan keluar dari Islam, serta juga tidak disyaratkan bahwa ia harus meyakini bahwa kata-kata tersebut dapat mengeluarkan dirinya dari Islam”. (Artinya, secara mutlak dengan hanya berkata-kata kufur; seseorang menjadi kafir/keluar dari Islam).</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال السيد البكري الدمياطي (ت 1310هـ) في إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين( م2/ج4/133): "واعلم أنه يجري على ألسنة العامة جملة من أنواع الكفر من غير أن يعلموا أنها كذلك فيجب على أهل العلم أن يبينوا لهم ذلك لعلهم يجتنبونه إذا علموه لئلا تحبط أعمالهم ويخلدون في أعظم العذاب، وأشد العقاب، ومعرفة ذلك أمر مهمّ جدًا، وذلك لأن من لم يعرف الشرّ يقع فيه وهو لا يدري، وكل شرّ سببه الجهل، وكل خير سببه العلم، فهو النور المبين، والجهل بئس القرين"اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> As-Sayyid al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) dalam kitab I’anah ath-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, vol. 2, j. 4, h. 133, berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang dengan lidahnya telah berkata-kata kufur tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya hal itu merupakan kekufuran (dan menjatuhkan mereka di dalamnya). Maka wajib atas seorang yang memiliki ilmu untuk menjelaskan bagi mereka perkara-perkara kufur tersebut supaya bila mereka mengetahinya maka mereka akan menghindarinya, dan dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, serta mereka tidak dikekalkan di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan adzab yang sangat pedih. Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu pangkalnya (sebab utamnya) adalah kebodohan (tidak memiliki ilmu), dan setiap kebaikan itu pangkalnya adalah ilmu, maka ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> ويقول الحافظ الفقيه محمد بن محمد الحسيني الزبيدي الشهير بمرتضى (ت 1205هـ) في كتابه اتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين،ج5/333، ما نصه: "وقد ألف فيها( الردة) غير واحد من الأئمة من المذاهب الأربعة رسائل وأكثروا في أحكامها"اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Al-Imam al-Hafizh al-Faqih Muhammad ibn Muhammad al-Husaini az-Zabidi yang lebih dikenal dengan sebutan Mutadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 5, h. 333, menuliskan: “Sangat banyak sekali para Imam terkemuka dari ulama empat madzhab yang telah menuliskan berbagai risalah/kitab dalam menjelaskan masalah riddah dan hukum-hukumnya”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> الحنفية</big><br />
<big> قال الفقيه الحنفي محمد أمين الشهير بابن عابدين (ت1252هـ) في كتاب رد المحتار على الدر المختار شرح تنوير الأبصار، ج6/354، باب المرتد: شرعا الراجع عن دين الإسلام، وركنها إجراء كلمة الكفر على اللسان بعد الإيمان. هذا بالنسبة إلى الظاهر الذي يحكم به الحاكم، وإلا فقد تكون بدونه كما لو عرض له اعتقاد باطل أو نوى أن يكفر بعد حين "اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Penjelasan Para Ulama Madzhab Hanafi</big><br />
<big> Salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi; yaitu al-Imam Muhmammad Amin yang lebih dikenal dengan nama Ibn Abidin (w 1252 H) dalam kitab karyanya berjudul Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, j. 6, h. 354, berkata: “Bab menjelaskan seorang yang murtad. Dalam tinjauan syari’at orang yang murtad adalah orang yang memutuskan/keluar Islam. Sebab utamanya adalah karena kata-kata kufur yang diucapkan dengan lidahnya. Inilah penyebab utama yang nampak secara zahir; di mana seorang hakim harus menetapkan hukum kafir terhadap orang yang mengucapkan kata-kata kufur tersebut. Selain dengan kata-kata kufur kekufuran ini dapat terjadi karena sebab lainnya, seperti orang yang berkeyakinan rusak, atau seorang yang berniat (dalam hati) untuk menjadi kafir di masa mendatang; maka ia menjadi kafir saat itu pula (artinya saat ia meletakan niat untuk menjadi kafir)”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال البدر الرشيد الحنفي (ت 768هـ) في رسالة له في بيان الألفاظ الكفرية ص/19:" من كفر بلسانه طائعا وقلبه على الإيمان إنه كافر ولا ينفعه ما في قلبه ولا يكون عند الله مؤمنا لأن الكافر إنما يعرف من المؤمن بما ينطق به فإن نطق بالكفر كان كافرا عندنا وعند الله "اهـ .</big><br />
<big> </big><br />
<big> Al-Imam Badr ar-Rasyid al-Hanafi (w 768 H) dalam karyanya berjudul Risalah Fi Bayan al-Alfazh al-Kufriyyah, h. 19, berkata: “Barangsiapa mengucapkan kata-kata kufur dengan lidahnya dan tanpa ada yang memaksanya (artinya bukan dibawah ancaman bunuh), walaupun hatinya merasa tetap dalam iman; maka sesungguhnya orang ini adalah seorang kafir. Dan apa yang ada dalam hatinya tidak dapat memberikan manfaat apapun bagi dirinya. Orang semacam ini bagi Allah adalah seorang yang kafir, oleh karena sesungguhnya seorang mukmin itu diketahui bahwa ia seorang mukmin adalah dari apa yang diucapkannya, dengan demikian apa bila ia berkata-kata kufur maka sungguh ia telah menjadi kafir; menurut kita dan menurut Allah”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الشيخ ملا علي القاري الحنفي (ت1014 هـ) في شرح كتاب الفقه الأكبر للإمام أبي حنيفة النعمان بن ثابت الكوفي، ص/274:" ثم اعلم أنه إذا تكلم بكلمة الكفر عالما بمعناها ولا يعتقد معناها لكن صدرت عنه من غير إكراه بل مع طواعية في تأديته فإنه يحكم عليه بالكفر"اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Syekh Mulla Ali al-Qari’ al-Hanafi (w 1014 H) dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar (al-Fiqh al-Akbar adalah karya al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, w 150 H), pada h. 274, berkata: “Ketahuilah, bila seseorang berkata-kata kufur, ia mengetahui makna kata-kata kufur tersebut; --walaupun ia tidak meyakininya sebagai kekufuran--, lalu kata-kata kufur ini terjadi dari dirinya bukan karena paksaan tetapi terjadi dengan keinginannya sendiri (artinya dalam keadaan normal tanpa paksaan dengan ancaman bunuh) maka orang ini dihukumi sebagai orang kafir”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وجاء في كتاب الفتاوى الهندية في مذهب الإمام أبي حنيفة، (قام بتأليفها جماعة من علماء الهند برئاسة الشيخ نظام الدين البلخي بأمر من سلطان الهند أبي المظفر محيى الدين محمد أورنك زيب) ج2/259 و261 ما نصه:"يكفر بإثبات المكان لله تعالى"، "وكذا إذا قيل لرجل: ألا تخشى الله تعالى، فقال في حالة الغضب: لا، يصير كافرا،كذا في فتاوى قاضيخان"اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, kitab fiqih dalam madzhab Hanafi ditulis oleh kumpulan ulama India yang diketuai oleh Syekh Nizhamuddin al-Balkhi dengan intruksi langsung dari penguasa India pada masanya; yaitu Abu al-Muzhaffar Muhyiddin Muhammad Urnakzib, pada j. 2, h. 259-261, tertulis sebagai berikut: “Orang yang menetapkan tempat bagi Allah telah menjadi kafir. Demikian pula jika ada seorang yang berkata kepadanya: “Tidakkah engkau merasa takut kepada Allah? Lalu dalam keadaan marah orang ini menjawab: “Tidak”, maka ia telah menjadi kafir. Seperti inilah pula yang telah dituliskan dalam kitab Fatawa Qadlikhan”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الإمام محمد بن أحمد السرخسي الحنفي (ت 483 هـ )في كتابه المبسوط، في المجلد الثالث ج5/49، ما نصه:"باب نكاح المرتد: وإذا ارتد المسلم بانت منه امرأته مسلمة كانت أو كتابية دخل بها أو لم يدخل بها عندنا" اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Al-Imam Muhammad ibn Ahmad as-Sarakhsi al-Hanafi (w 483 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Mabsuth, vol. 3, j. 5, h. 49, menuliskan: “Bab tentang nikah seorang yang murtad. Seorang muslim apa bila ia murtad/keluar dari Islam maka menurut kami (ulama madzhab Hanafi) istrinya menjadi terpisah darinya (artinya; rusak tali pernikahannya), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau seorang kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau belum”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الإمام عبد الله بن أحمد النسفي (ت 701 هـ) في كنـز الدقائق،كتاب السير :" أَجْمَعَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّ الرِدة تُبْطِلُ عِصْمَةَ النِّكَاحِ وَتَقَعُ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُمَا بِنَفْسِ الرِّدةِ" اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Al-Imam Abdullah ibn Ahmad an-Nasafi (w 701 H) dalam kitab Kanz ad-Daqa’iq dalam pembahasan Kitab as-Siyar, berkata: “Seluruh sahabat kami (ulama madzhab Hanafi) telah sepakat bahwa ridah/kufur (keluar dari Islam) dapat merusak tali pernikahan, dan dengan hanya riddah itu sendiri maka dua orang suami istri menjadi terpisah”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الشيخ عبد الغني الغنيمي الدمشقي الميداني الحنفي (ت 1298هـ) في اللباب في شرح الكتاب، ج3/28، ما نصه: "وإذا ارتد أحد الزوجين عن الإسلام وقعت الفرقة بينهما بغير طلاقٍ "اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Syekh Abdul Ghani al-Ghunaimi ad-Damasyqi al-Maidani al-Hanafi (w 1298 H) dalam kita al-Lubab Fi Syarh al-Kitab, j. 3, h. 28, berkata: “Jika salah seorang dari suami istri menjadi murad/keluar dari Islam maka --secara otomatis terjadi perpisahan antara keduanya-- yang bukan karena talaq/cerai”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الشيخ عبد الغني النابلسي الحنفي (1143هـ) في كتاب الفتح الرباني والفيض الرحماني ص/124، ما نصه :" وأما أقسام الكفر فهي بحسب الشرع ثلاثة أقسام ترجع جميع أنواع الكفر إليها، وهي: التشبيه، والتعطيل، والتكذيب... وأما التشبيه: فهو الاعتقاد بأن الله تعالى يشبه شيئًا من خلقه، كالذين يعتقدون أن الله تعالى جسمٌ فوق العرش، أو يعتقدون أن له يدَين بمعنى الجارحتين، وأن له الصورة الفلانية أو على الكيفية الفلانية، أو أنه نور يتصوره العقل، أو أنه في السماء، أو في جهة من الجهات الست، أو أنه في مكان من الأماكن، أو في جميع الأماكن، أو أنه ملأ السموات والأرض، أو أنَّ له الحلول في شىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أنه متحد بشىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أن الأشياء منحلَّةٌ منه، أو شيئًا منها. وجميع ذلك كفر صريح والعياذ بالله تعالى، وسببه الجهل بمعرفة الأمر على ما هو عليه" اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Syekh Abdul Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Fath ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124, berkata: “Adapun pembagian kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian, di mana setiap macam dan bentuk kufur kembali kepada tiga bagian ini; yaitu Tasybih, Ta’thil dan takdzib. Tasybih (yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti berkeyakinan bahwa Allah menyerupai sesuatu dari makhluk-Nya seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam makna anggota badan, atau bahwa Allah seperti bentuk si fulan, atau memiliki sifat seperti sifat si fulan, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan oleh akal, atau berkeyakinan bahwa Allah berada di langit, atau bahwa Allah berada pada arah di antara arah yang enam (atas, bawah, depan belakang, samping kanan dan samping kiri), atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat di antara beberapa tempat, atau berada di seluruh tempat, atau berkeyakinan bahwa Allah memenuhi seluruh lapisan langit dan bumi, atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat/menetap di dalam sesuatu di antara makhluk-makhluk-Nya, atau menetap di dalam segala sesuatu, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, atau menyetu dengan seluruh makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu atau segala sesuatu dari makhluk Allah menyatu dengan-Nya; maka semua ini adalah jelas sebagai kekufuran, --semoga kita terlindung darinya--. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap perkara-perkara pokok aqidah yang sebenarnya wajib ia ketahui”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> المالكية</big><br />
<big> قال القاضي عياض اليحصبي المالكي (ت 544 هـ) في كتابه الشفا ج2/214 الباب الأول في بيان ما هو في حقه صلى الله عليه وسلم سبٌ أو نقص ٌ من تعرض أو نصٍ: من سب النبي صلى الله عليه وسلم أو عابه أو ألحق به نقصا في نفسه أو نسبه أو دينه أو خصلة من خصاله أو عرَّضَ به أو شبهه بشىء على طريق السب له أو الإزراء عليه أو التصغير لشأنه أو الغض منه والعيب له فهو ساب له... قال محمد بن سنحون أجمع العلماء أن شاتم النبي صلى الله عليه وسلم المنتقص له كافر والوعيد جار عليه بعذاب الله له ... ومن شك في كفره وعذابه كفر."اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Penjelasan Para Ulama Madzhab Maliki</big><br />
<big> Al-Imam al-Qadli Iyadl al-Maliki (w 544 H) dalam kitab karyanya berjudul asy-Sifa’ Bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, j. 2, h. 214, menuliskan: “Bab pertama; Penjelasan tentang mencaci-maki atau merendahkan Rasulullah (baik dalam bentuk kata-kata atau tulisan). Barangsiapa mencaci-maki Rasulullah, mencelanya, menyandarkan kerendahan/kekurangan/aib kepadanya; baik pada diri beliau sendiri, atau agamanya/ajarannya/akhlakn<wbr></wbr><span class="word_break"></span>ya, atau pada sifat dari sifat-sifatnya, atau merendahkan kehormatannya, atau menyerupakannnya dengan sesuatu untuk tujuan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkan keutamaannya, atau untuk tujuan berpaling darinya dan membuat aib baginya; maka orang semacam ini adalah orang yang mencaci Rasulullah, dan Ibn Syahnun berkata: Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa orang yang mencaci-maki Rasulullah dan menghinakannya maka ia telah kafir, dan orang semacam ini layak mendapatkan ancaman Allah untuk disiksa. Dan barangsiapa meragukan bahwa orang tersebut telah menjadi kafir dan berhak untuk mendapat siksa; maka orang ini juga telah menjadi kafir”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الشيخ أبو عبد الله محمد أحمد عليش المالكي مفتي الديار المصرية الأسبق (ت 1299هـ) في منح الجليل على مختصر العلامة خليل ج9/205 ما نصه: "وسواء كفر بقول صريح في الكفر كقوله كفر بالله أو برسول الله أو بالقرءان أو إلاله اثنان أو ثلاثة أو المسيح ابن الله أو العزير ابن الله أو بلفظ يقتضيه أي يستلزم اللفظ للكفر استلزاما بينا كجحد مشروعية شىء مجمع عليه معلوم من الدين بالضرورة، فإنه يستلزم تكذيب القرءان أو الرسول، وكاعتقاد جسمية الله وتحيزه..أو بفعل يتضمنه أي يستلزم الفعل الكفر استلزاما بينا كإلقاء أي رمي مصحف بشىء قذر"اهـ .</big><br />
<big> </big><br />
<big> Syekh Abu Abdillah Muhammad Ahmad Illaisy al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka mantan Mufti negara Mesir (w 1299 H) dalam kitab Minah al-Jalil ‘Ala Mukhtashar al-‘Allamah al-Khalil, j. 9, h. 205, berkata: “Sama halnya kufur tersebut terjadi dengan kata-kata yang jelas (sharih/jelas sebagai kata-kata kufur), seperti bila ia berkata “Saya kafir kafir kepada Allah”, atau “saya kafir kepada Rasulullah”, atau “saya kafir kepada al-Qur’an”, atau ia berkata: “Tuhan ada dua”, atau berkata: “al-Masih (Nabi Isa) adalah anak Allah”, atau berkata “Uzair adalah anak Allah”, atau berkata-kata dengan ucapan yang secara nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia mengingkari sesuatu yang secara syari’at telah disepakati (ijma’) yang hukumnya telah pasti diketahui oleh setiap orang Islam (Ma’lum min ad-din bi adlarurah; seperti kewajiban shalat lima waktu, haram zina, haram mencuri dan lainnya), karena dengan demikian ia telah mendustakan al-Qur’an dan mendustakan Rasulullah. Termasuk contoh kufur dalam hal ini berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, dan atau bahwa Dia memiliki tempat dan arah. Termasuk juga berbuat dengan perbuatan yang secara nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia melempar/membuang al-Qur’an (atau bagian dari al-Qur’an) di tempat yang menjijikan”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال أيضا في فتح العلي المالك في الفتوى على مذهب الإمام مالك، ج2/348: س: ما قولكم في رجل جرى على لسانه سب الدين ( أي دين الإسلام ) من غير قصد ( أي من غير قصد الخروج من الدين) هل يكفر ؟ فأجبت بما نصه : الحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا محمد رسول الله، نعم ارتد، وفي المجموع ولا يعذر بجهل.اهـ</big><br />
<big> Syekh Muhammad Illaisy dalam kitab Fath al-‘Aliy al-Malik Fi al-Fatwa ‘Ala Madzhab al-Imam Malik, j. 2, h. 348, juga berkata: “Soal: Apa pendapat tuan tentang seseorang yang dengan lidahnya mengucapkan kata-kata cacian terhadap agama (agama Islam) tanpa ia bertujuan untuk keluar dari Islam itu sendiri, apakah karenanya ia menjadi kafir? Aku Jawab; --Segala puji bagi Allah, shalawat dalam semoga selalu tercurah atas tuan kita; Muhammad Rasulullah--, Benar, orang itu tersebut telah menjadi kafir. Dan dalam kitab al-Majmu’ disebutkan bahwa seseorang tidak dimaafkan walaupun ia bodoh --dalam msalah ini--”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> الشافعية</big><br />
<big> قال الإمام يحيى بن شرف النووي الشافعي (ت 676 هـ ) في كتاب منهاج الطالبين وعمدة المفتين، ص/293، ما نصه:" كتاب الردة: هي قطع الإسلام بنية أو قول كفر أو فعل سواء قاله استهزاء أو عنادًا أو اعتقادًا " اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Penjelasan Para Ulama Madzhab Syafi'i</big><br />
<big> Al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i (w 676 H) dalam kitab Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftin, h. 293, berkata: “Kitab tentang riddah/kufur. Ridah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya ia mengatakannya untuk tujuan menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini (kata-kata kufur tersebut”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال أيضا في الروضة ج10/52 :" وقال أي الشافعي في موضع إذا أتى بالشهادتين صار مسلما"اهـ وقال في كتاب الكفارات ج8/282:" المذهب الذي قطع به الجمهور أن كلمتي الشهادتين لا بد منهما ولا يحصل الإسلام إلا بهما "اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, j. 10, h. 52, al-Imam an-Nawawi berkata: “Di suatu bagian (tulisannya); Imam Syafi’i berkata bahwa orang murtad ini bila mendatangkan/mengucapkan dua kalimat syahadat maka ia menjadi muslim”.</big><br />
<big> Dalam kitab al-Kaffarat, j. 8, h. 282, al-Imam an-Nawawi berkata: “Pandapat yang telah ditetapkan oleh para ulama bahwa dua kalimat syahadat wajib didatangkan/diucapkan oleh seorang yang murtad, dan bahwa ia tidak menjadi muslim kembali kecuali dengan dua kalimat syahadat ini”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الشيخ تقي الدين أبو بكر بن محمد الحصني الشافعي من أهل القرن التاسع الهجري في "كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار" ص/200، ما نصه: فصل في الردة: وفي الشرع الرجوع عن الإسلام إلى الكفر وقطع الإسلام، ويحصل تارة بالقول وتارة بالفعل وتارة بالاعتقاد، وكل واحد من هذه الأنواع الثلاثة فيه مسائل لا تكاد تحصر، فنذكر من كل نبذة ما يعرف بها غيره: أما القول: ولو سب نبيا من الأنبياء أو استخف به، فإنه يكفر بالإجماع. ولو قال لمسلم يا كافر بلا تأويل كفر، لأنه سمى الإسلام كفرا. وأما الكفر بالفعل فكالسجود للصنم والشمس والقمر وإلقاء المصحف في القاذورات والسحر الذي فيه عبادة الشمس. ولو فعل فعلا أجمع المسلمون على أنه لا يصدر إلا من كافر، وإن كان مصرحا بالإسلام مع فعله. وأما الكفر بالاعتقاد فكثير جدا فمن اعتقد قدم العالم أو حدوث الصانع أو اعتقد نفي ما هو ثابت لله تعالى بالإجماع أو أثبت ما هو منفى عنه بالإجماع كالألوان والاتصال والانفصال كان كافرا، أو استحل ما هو حرام بالإجماع، أو حرم حلالا بالإجماع أو اعتقد وجوب ما ليس بواجب كفر أو نفى وجوب شىء مجمع عليه علم من الدين بالضرورة كفر ..النووي جزم في صفة الصلاة من شرح المهذب بتكفير المجسمة، قلت: وهو الصواب الذي لا محيد عنه إذ فيه مخالفة صريح القرءان"اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Syekh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad al-Hushni asy-Syafi’i, salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i yang hidup di abad sembilan (9) hijriyah, dalam kitab Kifayah al-Akhyar Fi Hall Ghayah al-Ikhtishar, h. 200, berkata: “Pasal; Tentang riddah. Riddah dalam pengertian syari’at adalah kembali dari Islam kepada kufur, dan memutuskan Islam tersebut. Riddah ini kadang terjadi karena ucapan, kadang karena perbuatan, dan kadang karena kayakinan. Setiap satu bagian dari tiga macam kufur ini memiliki cabang/contoh yang sangat banyak sekali tidak terhingga, berikut ini kita sebutkan beberapa contoh supaya kita bisa mengetahui contoh-contoh lainnya yang serupa dengannya yang tidak kita sebutkan di sini. Kufur perkataan contohnya seorang yang mencaci-maki salah seorang Nabi dari para Nabi Allah (yang telah disepakati kenabiannya), dan atau merendahkannya; maka orang ini telah kafir dengan kesepakan ulama (ijma’). Contoh lainnya bila seseorang berkata kepada sesama muslim tanpa memiliki takwil (tanpa alasan yang dapat dibenarkan dalam syari’at); “Wahai orang kafir!!”, maka yang memanggil tersebut menjadi kafir, karena dengan demikian ia telah menamkan ke-Islam-an seseorang sebagai kekufuran. Kufur fi’li (kufur karena perbuatan) contohnya seperti sujud kepada berhala, matahari, bulan, atau melemparkan/membuang al-Qur’an di tempat yang menjijikan, dan praktek sihir dengan jalan menyembah matahari. Contoh lainnya bila ia berbuat suatu perbutan kufur yang nyata-nyata hanya dilakukan oleh orang-orang kafir; maka ia menjadi kafir, sekalipun saat melakukannya ia merasa bahwa diri seorang muslim”. Adapun kufur I’tiqadi (kufur karena keyakinan rusak) contohnya sangat banyak sekali, di antaranya seperti orang yang berkeyakinan bahwa alam ini (segala sesuatu selain Allah) tidak memiliki permulaan, atau menafikan/mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bagi Allah (seperti sifat wujud [Allah maha ada], qidam [tanpa permulaan], baqa’ [tanpa penghabisan], sama’ (bahwa Allah maha mendengar], dan lainnya), atau sebaliknya menetapka sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati ketiadaannya dari Allah; seperti warna, menempel, berpisah (dan berbagai sifat benda lainnya); maka orang ini telah menjadi kafir. Contoh lainnya bila ia menghalalkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati keharamannya (seperti zina, membunuh tanpa hak, mencuri, dan lainnya), atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kehalalannya (seperti nikah, jual beli, dan lainnya), atau berkeyakinan wajib terhadap sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bukan sebagai perkara wajib; maka orang ini telah menjadi kafir. Contoh lainnya bila seseorang mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kewajibannya serta telah diketahui kewajiban tersebut oleh seluruh orang Islam (seperti shalat lima waktu); maka ia telah menjadi kafir. Kemudian Imam an-Nawawi dalam kitab Syarah al-Muhadz-dzab dalam menjelasan tatacara shalat bahwa kaum Mujassimah (kaum yang mengatakan bahwa Allah adalah benda; memiliki bentuk dan ukuran) adalah orang-orang yang harus dikafirkan. Aku (Abu Bakr al-Hushni) katakan; Inilah kebenaran yang tidak dapat diganggugugat (artinya bahwa kaum Mujassimah adalah orang-orang kafir), oleh karena keyakinan demikian sama saja dengan menyalahi al-Qur’an (yang telah jelas menetapkan bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya)”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الإمام الشافعي (ت204هـ) في كتابه الأم ج6/160، في باب حال المرتد وزوجة المرتد:" وإذا ارتد الرجل عن الإسلام وله زوجة، أو أمراة عن الإسلام ولها زوج... لا تقع الفرقة بينهما حتى تمضي عدة الزوجة قبل يتوب ويرجع إلى الإسلام فإذا انقضت عدتها قبل يتوب فقد بانت منه ولا سبيل له عليها وبينونتها منه فسخ بلا طلاق"اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Al-Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H), Imam perintis madzhab Syafi’i, dalam kitab al-Umm, j. 6, h. 160, dalam menjelaskan keadaan/hukum seorang yang murtad dan istri seorang yang murtad, berkata: “Jika seseorang menjadi murtad/keluar dari Islam dan ia memiliki istri, atau jika seorang perempuan keluar dari Islam dan ia memiliki seorang suami; maka pasangan ini menjadi terpisahkan (artinya secara otomatis manjadi rusak tali pernikahannya). Dan bila yang murtad ini kembali masuk Islam sebelum habis masa iddah --istrinya-- (yaitu 3 kali suci) maka keduanya kembali menjadi pasangan suami istri (tanpa harus membuat akad nikah yang baru). Namun bila salah satunya belum masuk Islam kembali hingga habis masa iddah --si istri-- (yaitu 3 kali suci); maka terpisahlah antara pasangan suami istri ini, dan pisah di sini karena rusak (tali pernikahannya) bukan karena talaq/cerai”. (Penjelasan; Bila salah satunya masuk Islam kembali setelah habis masa iddah lalu hendak membangun rumah tangga kembali maka harus membuat akad nikah yang baru).</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال تاج الدين السبكي (ت771 هـ) في طبقاته ج1/91 ما نصه:" ولا خلاف عند الأشعري وأصحابه بل وسائر المسلمين أن من تلفظ بالكفر أو فعل أفعال الكفر أنه كافر بالله العظيم مخلد في النار وإن عرف قلبه " اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab ibn Ali as-Subki (w 771 H) dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, j. 1, h. 91, berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat antara Imam al-Asy’ari dan para ulama pengikutnya, bahkan tidak ada perbedaan pendapat di antara segenap orang Islam bahwa seorang yang berkata-kata kufur atau berbuat perbuatan kufur; maka ia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung, ia akan dikekalkan di dalam neraka, sekalipun hatinya mengingkari itu (artinya; sekali hatinya tidak berniat keluar dari Islam)”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الشيخ محمد بن عمر نووي الجاوي البنتني (ت 1316 هـ) في كتاب مراح لبيد: "{وَمَن يَكْفُرْ بِٱلإيمَـٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ} أي ومن يكفر بشرائع الله وبتكاليفه فقد بطل ثواب عمله الصالح سواء عاد إلى الإسلام أولاً "اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Syekh Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani (w 1316 H) dalam kitab tafsir yang dikenal dengan at-Tafsir al-Munir atau dikenal dengan Tafsir Marah Labid, menuliskan: “Firman Allah:</big><br />
<big> </big><br />
<big> وَمَن يَكْفُرْ بِٱلإيمَـٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ (المائدة: 5)</big><br />
<big> </big><br />
<big> “Barangsiapa kufur dengan keimanan maka menjadi sia-sialah amalannya” (QS. Al-Ma’idah: 5). Artinya, bahwa seorang yang kafir kepada syari’at-syari’at Allah dan kafir kepada ajaran-ajaran-Nya (hukum-hukum-Nya) maka manjadi sia-sia seluruh amal salehnya, sama halnya setelah itu ia kembali kepada Islam atau tidak”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> الحنابلة</big><br />
<big> قال موفق الدين عبد الله بن أحمد ابن قدامة المقدسي الحنبلي (ت 620 هـ) في كتاب المقنع، صحيفة 307، ما نصه:"باب حكم المرتد: وهو الذي يكفر بعد إسلامه . فمن أشرك بالله أو جحد ربوبيته أو وحدانيته أو صفة من صفاته او اتخذ لله صاحبة أو ولدا أو جحد نبيا أو كتابا من كتب الله تعالى أو شيئا منه أو سب الله تعالى أو رسوله كفر. ومن جحد وجوب العبادات الخمس أو شيئا منها أو أحل الزنا أو الخمر أو شيئا من المحرمات الظاهرة المجمع عليها لجهل عرّف ذلك، وإن كان ممن لا يجهل ذلك كفر .</big><br />
<big> </big><br />
<big> Penjelasan Para Ulama Madzhab Hanbali</big><br />
<big> Syekh Muwaffaquddin Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (w 620 H), dalam kitab al-Mughni, h. 307, berkata: “Bab hukum orang murtad. Orang murtad ialah orang yang menjadi kafir setelah Islam. Maka barangsiapa menyekutukan Allah, atau mengingkari ketuhanan-Nya, atau keesaan-Nya (artinya bahwa Allah tidak menyerupai segala apapun dari makhluk-Nya), atau mengingkari salah satu sifat-dari sifat-sifat-Nya, atau menjadikan bagi-Nya seorang istri, atua seorang anak, atau mengingkari seorang Nabi (yang telah disepakati kenabiannya), atau mengingkari salah satu kitab dari kitab-kitab Allah (yang diturunkan kepada sebagian Nabi-Nya), atau mengingkari sesuatu yang (nyata) sebagai bagian dari kitab-Nya tersebut, atau mencaci-maki Allah, atau mencai-maki Rasul-Nya; maka orang tersebut telah menjadi kafir. Dan barangsiapa mengingkari kewajiban shalat lima waktu, atau sesuatu yang jelas merupakan bagian dari shalat lima waktu tersebut, atau menghalalkan perbuatan zina, atau khamar, atau menghalalkan beberapa perkara yang nyata sebagai perkara-perkara haram dan telah disepakati tentang keharamannya; maka jika karena (benar-benar) bodoh maka harus diajarkan kepadanya, namun jika ia telah tahu maka ia menjadi kafir”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الفقيه الحنبلي منصور بن إدريس البهوتي (ت 1051 هـ) في كتاب شرح منتهى الإرادات، ج3/386 ، ما نصه:" باب حكم المرتد، وهو لغة الراجع ،..وشرعا من كفر ولو مميزا بنطق أو اعتقاد أو فعل أو شك طوعا ولو كان هازلا بعد إسلامه "اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Syekh Manshur ibn Idris al-Buhuti, salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanbali (w 1051 H), dalam kitab Syarh Muntaha al-Iradat, j. 3, h. 386 H, berkata: “Bab hukum seorang murtad. Murtad dalam makna bahasa adalah seorang yang kembali (dari Islam). Dan menurut syari’at adalah seorang yang menjadi kafir; walaupun ia seorang yang berumur mumayyiz, yang kekufurannya tersebut terjadi karena kata-kata, keyakinan (rusak), perbuatan, atau karena ia ragu-ragu; yang itu semua terjadi tanpa adanya paksaan, walaupun itu semua terjadi pada dirinya dan dia dalam keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال أيضا في كشاف القناع عن متن الاقناع ج6/178 ما نصه: "وتوبة المرتد إسلامه بأن يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ... وهذا يثبت به إسلام الكافر الأصلي فكذا المرتد"اهـ</big><br />
<big> </big><br />
<big> Dalam kitab Kasy-syaf al-Qina’ ‘An Matn al-Iqna’, j. 6, h. 178, Syekh al-Buhuti berkata: “Taubat seorang yang murtad adalah dengan masuk Islam kembali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (Asyhadu an La Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah). Hanya dengan jalan (mengucapkan dua syahadat ini) seorang kafir asli (yaitu seorang yang sebelumnya tidak pernah kafir) menjadi tetap (dianggap benar) keimananya, maka demikian pula hanya dengan jalan ini (mengucapkan dua kalimat syahadat) seorang murtad menjadi sah Islamnya”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال الشيخ محمد بن بدر الدين بن بلبان الدمشقي الحنبلي (ت1083هـ) في كتاب مختصر الافادات في ربع العبادات والآداب وزيادات، ص/514 ما نصه:" فصل في المرتد: وهو من كَفَرَ ولو مميزا طوعا ولو هازلاً بعد إسلامه "اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Syekh Muhammad ibn Badriddin ibn Balibban ad-Damasyqi al-Hanbali (w 1083 H) dalam kitab Mukhtashar al-Ibadat Fi Rub’i al-‘Ibadat Wa al-Adab Wa Ziyadat, h. 514, berkata: “Pasal; Tentang hukum seorang murtad. Seorang yang murtad ialah seorang yang menjadi kafir/keluar dari Islam walaupun ia seorang yang baru berumur mumayyiz; tanpa ada yang memaksanya, walaupun kejadian kufur tersebut dalam keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> وقال زين الدين أبو الفرج عبد الرحمن بن شهاب الدين بن أحمد ابن رجب الحنبلي (ت 795 هـ) في كتاب جامع العلوم والحكم، ص/148، الحديث السادس عشر: " فأما ما كان من كفر أو ردة أو قتل نفس أو أخذ مال بغير حق ونحو ذلك فهذا لا يشك مسلم أنهم لم يريدوا أن الغضبان لا يؤاخذ به " اهـ.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Imam Zainuddin Abu al-Faraj Abdurrahman ibn Syihabiddin ibn Ahmad ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H), dalam kitam Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam, h. 148, pada hadits ke 16, berkata: “...adapun perkara yang terjadi; semacam kufur, riddah/keluar dari Islam, membunuh, mencuri tanpa hak, dan semacam itu; maka perkara-perkara ini tidak ada seorang muslim-pun yang meragukan bahwa kejadian itu semua walaupun terjadi saat seseorang dalam keadaan marah maka tetap saja ia dikenakan hukuman”.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> قواعد مفيدة:</big><br />
<big> قال الفقهاء :</big><br />
<big> أ - من تلفظ بكلام كفر أو فعل فعلا كفريا أو اعتقد اعتقادا كفريا، وجهل أن ما حصل منه كفر لا يعذر بل يحكم بكفره، قاله القاضي عياض المالكي والشيخ ابن حجر الهيتمي الشافعي وكذلك عدد من فقهاء الحنفية .</big><br />
<big> </big><br />
<big> Kaedah-Kaedah Yang Sangat Berfaedah:</big><br />
<big> Para ulama berkata:</big><br />
<big> A. Barangsiapa berkata-kata kufur (sharih/jelas), atau berbuat perbuatan kufur, atau meyakini keyakinan kufur; walaupun orang ini tidak mengetahui bahwa apa yang terjadi pada dirinya tersebut sebagai kekufuran maka orang seperti ini tidak dapat dimaafkan, ia tetap dihukumi telah menjadi kafir. Demikian inilah yang telah dinyatakan oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl, Ibn Hajar al-Haitami, dan berbagai ulama lainnya dari ulama madzhab Hanafi.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> ب- اللفظ الصريح لا يؤول، قال حبيب بن ربيع أحد كبار المالكية:" ادعاء التأويل في لفظ صراح لا يقبل"اهـ. نقله عنه القاضي عياض في الشفا [ ج2/217 ]. وقال إمام الحرمين عبد الملك الجويني (ت478 هـ) كما في نهاية المحتاج [ ج7/414 ]: " اتفق الأصوليون على أن من نطق بكلمة الردة وزعم أنه أضمر تورية كفّر ظاهرا وباطنا "اهـ وأقرهم على ذلك. يعني إن كانت توريته بعيدة، لأن التورية القريبة تدفع التكفير عن صاحبها لكون اللفظ غير صريح.</big><br />
<big> </big><br />
<big> B. Ucapan kufur yang jelas (sharih) tidak dapat menerima takwil. Salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Maliki; yaitu Syekh Hubaib ibn Rabi’ berkata: “Mengaku-aku adanya takwil dalam dalam ucapan yang jelas dan nyata (sharih) maka pengakuannya tersebut tidak dapat diterima”. (Perkataan Syekh Hubaib ini dikutip oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl dalam kitab asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq al-musthafa, j. 2, h. 217).</big><br />
<big> Imam al-Haramain Abd al-Malik al-Juwaini (w 478 H), --sebagaimana dikutip dalam kitab Nihayah al-muhtaj, j. 7, h. 414--, berkata: “Para ulama ahli Ushul telah sepakat bahwa apa bila ada seorang berkata-kata kufur (yang jelas), walaupun ia mengaku bahwa kata-katanya tersebut mengandung makna lain yang jauh (Tauriyah) maka orang tersebut dikafirkan secara zahir dan batin”. Para ulama telah sepakat tentang kekufuran orang yang mengungkapkan kata-kata kufur seperti ini. Dan yang dimaksud tauriyah yang tidak dianggap dalam hal ini adalah pengakuan makna atau takwil yang sangat jauh dari makna zahirnya. Adapun tauriyah yang dianggap dekat maknanya; artinya takwil tersebut masih dalam kandungan makna zahirnya maka dalam hal ini seorang yang mengungkapkannya tidak dikafirkan; karena dengan demikian berarti ucapannya tersebut tidak dikategorikan ucapan yang sharih.</big><br />
<big> </big><br />
<big> ج- وأما إن كان اللفظ ليس صريحا وإنما له أكثر من معنى، بعض معانيه كفري وبعضها غير كفر، لا يحكم على المتلفظ به بالكفر إلا إذا علم أنه أراد بهذا اللفظ المعنى الكفري.</big><br />
<big> </big><br />
<big> C. Adapun jika kata-kata yang diucapkannya tersebut adalah kata-kata yang tidak sharih; artinya kata-kata yang mengandung banyak makna; sebagian maknanya ada yang kufur, dan sebagian lainnya bukan kufur; maka seorang yang mengucapkan kata-kata semacam ini tidak boleh dihukumi sebagai orang kafir; kecuali apa bila ia mengungkapkan kata-kata tersebut dan dia bertujuan dengan kata-katanya itu terhadap makna kufur, maka ia dihukumi kafir.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> توبة المرتد</big><br />
<big> وأما توبة المرتد فهي الإقلاع عن الكفر فورا والنطق بالشهادتين بقول أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله، ولا ينفعه قول أستغفر الله قبل الشهادتين، كما نقل الإجماع على ذلك الإمام المجتهد أبو بكر بن المنذر المتوفى سنة 318 هـ. في كتابه الإجماع ص/144.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Taubat Orang Murtad</big><br />
<big> Adapun cara taubat bagi seorang yang murtad adalah dengan melepaskan kekufuran seketika itu pula dan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat; yaitu dengan mengatakan:</big><br />
<big> </big><br />
<big> أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله</big><br />
<big> </big><br />
<big> Tidak cukup dan tidak memberikan manfaat baginya jika ia hanya mengucapkan istigfar saja sebelum ia mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Ketetapan ini merupakan ijma’ (konsensus) para ulama sebagaimana telah dikutip oleh Imam Mujtahid terkemuka; al-Imam Abu Bakr ibn al-Mundzir (w 318 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Ijma’, h. 144.</big><br />
<big> </big><br />
<big> </big><br />
<big> نصيحة</big><br />
<big> هذا وقد عد كثير من الفقهاء كالقاضي عياض المالكي المتوفى سنة 544هـ والفقيه بدر الرشيد الحنفي المتوفى سنة 768 هـ والفقيه يوسف الأردبيلي الشافعي المتوفى سنة 799 هـ وغيرهم أشياء كثيرة في بيان الألفاظ المكفرة نقلوها عن الأئمة فينبغي الإطلاع عليها فإن من لم يعرف الشر يقع فيه.</big><br />
<big> </big><br />
<big> Nasehat</big><br />
<big> Para ulama terkemuka telah mengungkapkan banyak sekali dari contoh kata-kata yang merupakan kekufuran (al-Alfazh al-kufriyyah), di antaranya al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki (w 544 H), Badr ar-Rasyid al-Hanafi; salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi (w 768 H), Yusuf al-Ardabili asy-Syafi’i; ulama terkemuka madzhab Syafi’i (w 799 H), dan para ulama terkemuka lainnya; di mana para ulama ini telah mengutip contoh kata-kata kufur tersebut dari para Imam dan Ulama terkemuka sebelumnya, dengan demikian wajib bagi kita mengenal dan mempelajari apa yang telah mereka tuliskan, karena sesungguhnya seorang yang tidak mengetahui keburukan maka mau tidak mau suatu saat ia pasti terjatuh di dalamnya.</big><br />
Dikutip dari Catatan Abou Fateh II</div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-15709552839715931842010-05-25T12:21:00.000+07:002010-05-25T12:21:47.406+07:00Orang inikah Yang Anda Agung-Agungkan : Muhammad ibn Abdul Wahhab dan Ibn Taimiyah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiz62dgGrbzOYN8elm7QrU8NIi122whO6q8DyU67XTVtb0gmajPSKG2oHKTj_rresyx_nstsOj8isX4ZlBr1Nb5ZnJx6v_CwGHDy7yVNvPSI1oBFPu94-CaWMJoPSJDrgCX-MywFsnbP7K3/s1600/skandal-wahhabi.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiz62dgGrbzOYN8elm7QrU8NIi122whO6q8DyU67XTVtb0gmajPSKG2oHKTj_rresyx_nstsOj8isX4ZlBr1Nb5ZnJx6v_CwGHDy7yVNvPSI1oBFPu94-CaWMJoPSJDrgCX-MywFsnbP7K3/s320/skandal-wahhabi.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;">Muhammad bin Abdul Wahhab adalah saudara kandung syekh Sulaimin bin Abdul Wahhab. Beliau, syekh Sulaiman ini telah menyusun sebuah kitab yang berisi bantahan terhadap Muhammad ibn Abdul Wahhab yang berjudul: Fasbi al Khithab fi ar-Radd Ala Muhammad ibn Abdil Wahhab. Demikian juga syekh Ahmad Zaini Dahlan dalam kitab Fitnatu al Wahhabiyah, Syekh Abidin al Hanafi dalam Hasyiyah Raddu al mukhtar, Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi sebagaimana dikutip oleh pengarang kitab al Futuhat lslamiyah, Syekh Ibn Humaid an Najdi mufti madzhab Hambali di Makkah al Mukarramah dalam kitabnya as-Suhubul Waabilah 'Ala Dharaih al Hanabilah dan Syekh Ridwan al 'Adi Bibars as Syafi'i dalam kitabnya Raudhatul Muhtajin Li Ma'rijati Qawa'id ad din, Syekh Taufik Suqiyah ad Dimasqi dalam kitabnya Tabyiin al Haq wa as-Shawab bi ar-Radd 'ala A tba'i Muhammad ibn Abdul Wahhab dan Syekh Mushthafa as Syatthi dalam kitabnya an Nuqul as Syar’iyah fi ar Raddi 'ala al Wahhabiyah dan Syekh Abdul Qadir bin Muhammad bin Salim al Kailani dalam kitabnya an-Nafhah az-Zakiyah fir Raddi 'Ala Syubahi al Wahhabiyah. <br />
<br />
Ulama pada masa sekarang yang juga membantahnya adalah al Muhaddits Syekh Abdullah al Harari -semoga Allah merahmatinya dalam kitab al Maqalat as Sunniyah fi Kasyfi Dhalalat Ahmad Ibn Taimiyah dan selain mereka dari para ulama ahlussunnah. <br />
<br />
Sedangkan Ibn Taimiyah maka kita cukup dengan apa yang dikatakan oleh Imam Taqiyuddin as Subki dalam kitab ar Rasail as Subkiyyah fir Raddi 'Ala Ibn Taimiyah dan muridnya Ibn Qayyim al Jauziyah: Dan dia (Ibn Taimiyyah) dipenjara dengan kesepakatan para ulama dan para penguasa, kemudian ia mengatakan: sesungguhnya dia menyalahi ijma' lebih dari 60 masalah dalam masalah ushul dan furu ', di antaranya adalah pengharamannya terhadap ziarah kubur nabi yang agung shallallahu 'alaihi wasallam, menisbatkan arah, batasan, tempat dan duduk kepada Allah ta'ala wal iyadhu billah dari kekufuran dan kesesatan. Apabila kita melihat sepintas pada perkataan -perkataan Wahhabiyah dan kesesatankesesatannya maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa mereka telah membikin agama baru akan tetapi mereka menamakannya dengan nama Islam. Di antara pendapat mereka yang menyalahi ajaran Islam, antara lain:</div>a. Mengingkari kenabian Adam, Syits dan Idris.<br />
b. Mengkafirkan Hawa.<br />
c. Mengatakan alam azali.<br />
d. Mengatakan neraka fana '.<br />
e. Menyerupakan Allah dengan makhlukNya.<br />
f. Mengarakan Allah jisim.<br />
g. Menisbatkan anggora badan bagi Allah, mempunyai batasan-batasan, tempat-tempat dan arah-arah.<br />
h. Menisbatkan duduk dan sifat-sifat makhluk kepada Allah.<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Sedangkan pandangan mereka terhadap nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mereka menganggap beliau sekarang layaknya bangkai yang tidak boleh diziarahi karena tidak dapat memberi manfaat dan madharat. Mereka juga mengharamkan pada umat Islam bergembira, hanya sekedar gembira atau merayakan maulid Nabi 'alaihiwasallam.Bahkan, mereka menganggap sembelihan yang disembelih oleh umat Islam dalam maulid nabi yang mulia adalah sembelihan orang-orang musyrik yang haram untuk dimakan.<br />
<br />
Mereka mengharamkan membaca shalawat kepada nabi dengan suara keras setelah adzan dan berpendapat bahwa hal itu lebih berat dosanya dan pada orang yang menikahi ibunya. Hal tersebut seperti dikatakan oleh juru bicara mereka dalam masjid Jami' al Daqaq di Syam. Mereka juga mcngkafirkan orang yang bertawassul kepada Allah dengan sayyidina Muhammad atau lainnya dari para nabi dan para wali dan para orang shalih.<br />
Mereka mcmandang umat Islam sebagai orang-orang kafir musyrik karena mereka (umat Islam) tidak menganut madzhab mereka, mereka menghalalkan darah dan harta umat Islam di luar paham mereka.</div><br />
Sejarah menjadi saksi kiprah mereka di jazirah Arab dan di timur Yordania. Bahkan para sahabat Nabi juga tidak luput dari cacian Ibn Taimiyah, ia mengatakan antara lain:<br />
a. Abu Bakar masuk Islam ketika sudah tua tidak mengetahui apa yang dia ucapkan.<br />
b. Ali masuk Islam di waktu masih kanak-kanak dan Islamnya anak kecil tidak sah.<br />
c. Ali berperang untuk kekuasaan bukan untuk agama dan dia keliru dalam 17 masalah yang<br />
bertentangan dengan nash al Qur'an.<br />
d. Menyalahkan Umar dalam satu masalah.<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Sedangkan pandangan picik mereka terhadap para pendiri madzhab empat terlihat dan kata-kata yang sering mereka ucapkan; mereka laki-laki dan kami juga laki-laki, Sedangkan kelancangannya terhadap imam Syafi'i, Malik<br />
dan Ahmad, sudah sangat jelas dan pembid'ahan mereka<br />
terhadap orang yang bertawasul kepada Allah dengan para nabi dan para wali dan orang yang shalih dan ziarah<br />
ke makam mereka, padahal Wahhabiyah mengetahui bahwa dalil akan diperbolehkannya tawassul terdapat dalam nash hadits. Sedangkan orang yang mengikuti salah<br />
satu madzhab empat atau bertaklid kepadanya, ini menurut Wahhabiyah adalah inti kesyirikan.(7)<br />
<br />
Tarekat sufi yang merupakan ajaran para wali dan suluk orang-orang yang bertakwa, menurut Wahhabiyah sebagai biang perpecahan umat Islam.(8) Golongan Asy'ariyah dan Maturidiyah yang dinisbatkan kepada imam Ahlussunnah wal Jama'ah imam Abul Hasan al Asy'ari dan Abu Manshur al Maturidi dipandang oleh golongan Wahhabiyah dengan pandangan penuh dengki, kebencian dan pengkafiran.(9) Karenanya, tidak heran jika mereka melecehkan para ulama Asy'ariyah seperti al Hafidz al Asqalani, al Nawawi, al Hakim dan panglima Muslim Shalahuddin al Ayyubi, dan yang lainnya. Mereka juga menganggap perbuatan Abdullah Ibnu Umar yang be rtabarruk dengan peninggalan Nabi yang mulia adalah sebuah tindakan syirik. Mereka juga mengkafirkan Bilal bin al Harits al Muzani yang berziarah ke makam Nabi 'alaihissalam.<br />
<br />
Atas dasar pengetahuan mereka yang cekak dalam masalah agama sehingga mereka mcnamakan setiap perkara baru setelah Rasulullah adalah bid'ah sesat bahkan meskipun termasuk scsuatu yang sesuai dengan syara', sehingga mereka melarang adzan yang kedua pada<br />
hari jum'at, berdzikir dengan menggunakan tasbih, halaqah-halaqah dzikir dan menghadirkan para masyayikh<br />
untuk membaca al-Qur'an. Kebodohan mereka dengan hadits Rasulullah telah menyebabkan mereka mengharamkan sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah<br />
seperti wudhu menggunakan air lebih satu mud (seukuran<br />
dua telapak tangan orang yang sedang), mandi dengan air<br />
lebih satu sha' (seukuran 4 mud), talqin mayyit, membaca <br />
al Qur' an terhadap mayyit, mengiringi jenazah dengan menggunakan mobil dan lainnya.(10)<br />
<br />
Dalam memahami nash al Qur'an mereka mengharamkan mentakwilnya nash-nashnya dan mereka lebih memilih makna dzahirnya meskipun hal itu menyebabkan pertentangan makna dalam al Qur'an. Ini mereka lakukan untuk menguatkan keyakinan mereka bahwa Allah ada kesamaan dengan MakhlukNya dan inilah penyimpangan mereka dalam memaknai al Qur'an.(11) <br />
<br />
Mereka memandang bahwa perempuan semuanya aurat bahkan suaranya juga Aurat dan jika perempuan keluar dari rumah maka ia telah melakukan salah satu macam zina . Sungguh mereka mcmahami agama ini dengan pemahaman yang ekstrim (berlebih-lebihan).<br />
<br />
Saudara muslim , sesungguhnya orang yang menipu manusia atas nama agama tidak boleh ditolerir. Bagaikan<br />
penyakit lepra yang menggerogoti tubuh jika menggerogoti bagian tubuh maka harus diamputasi karena apabila dibiarkan maka penyakit itu akan menyebar ke seluruh tubuh. Karenanya, atas dasar pembelaan terhadap agama Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kami suguhkan sebuah pembahasan yang menguak sedikit dari kesesatan Wahabiyah yang kami ambil dan kitab-kitab mereka, kutipan-kutipan mereka dan statemen-stateman mereka baik yang ditertulis ataupun tidak, bukan hanya sekedar klaim tanpa disertai bukti, akan tetapi kami sertakan bukti pada setiap poin dari kesesatan Wahhabiyah.</div><br />
SILAHKAN AJUKAN GUGATAN ANDA YANG TIDAK SEPAHAM<br />
<br />
Footnote:<br />
<div style="text-align: justify;">(7) Tentang perkataan mcrek a bahwa tawassul syirik bisa dilihat dalam kitab yang berjudul "Kaifa Nafhamu al Tauhid" karya Muhammad Ahmad Basyamil (Jeddah), hal. 16, lihat juga kitab yang mereka anggap sebagai kitab<br />
"Tauhid" karya Shalih ibn Fauzan (Riyadh), hal. 70. lihat juga Abu Bakr al Jazairi dalam kitabnya "'Aqidah al mukmin"hal. 144 . adapun larangan mereka terhadap ziarah kubur Nabi bisa dilihat dalam kitab yang berjudul "Fatawa Muhimmah" fatwa al 'Utsimin (Riyadh), hal. 149-150, juga fatwa Ibn Baz dalam kitabnya yang berjudul "al Tahqiq wa al ldhab Ii Katsirin min Masail al<br />
Hajj wa al 'Umrah" hal. 89. Adapun larangan mereka dalam bermadzhab bias dilihat dalam Muhammad Sulthan al Ma's humi al Makky, Hal al Muslim Mulzamun bit Tiba'i Madzhabin Mu'ayyanin ta'liq Salim aI Hilali h. 6 dia sebutkan bahwa orang yang bermadzhab harus disuruh bertaubat kalau tidak mau bertaubat maka dibu nuh, dan hal. 11 dia mengatakan: Apabila ditelusuri dengan seksama tentang permasalahan madzhab maka sesungguhnya madzhab tersebut berkembang dan menyebar karena bantuan musuh Islam.<br />
<br />
(8) Menurut mereka tariqat shufi harus diperangi sebelum kira memerangi Yahudi dan Majusi, lihat kitab mereka "al Majmu’ al Mufid mim ‘Aqidah al Tauhid” karya Ali ibn Muhammad ibn Sinan (Riyadh: Maktab Dar al Fikr) hal. 102<br />
<br />
(9) Lihat kitab mereka "Min Masyahiri al Mujaddidin fi al Islam: Ibn Taimiyah wa Muhammad ibn Abd al Wahhab " karangan Shalih ibn Fauzan, (Riyadh: al Riasah al 'Ammah lil Ifta'), hal. 32, lihat juga kitab mereka yang berjudul "Fath al Majid" karya Abd al Rahman Hasan ibn Muhammad ibn Abdullah, (Riyadh: Maktabah Dar al Salam), hal. 353<br />
<br />
(10) Permasalahan-permasalahan di atas bisa dilihat dalam kitab mereka yang berjudul 'Taujihat Islamiyah" karya Muhammad Jamil Zainu yang diterbitkan oleh Kementrian Agama Saudi Arabia.<br />
<br />
(11) Menta'wil ayat mutasyabihat dalam al Qur'an menurut mereka sama dengan mengingkari sifat Allah, karenanya mereka menuduh ahlussunnah yang menta 'wil dengan sebutan "al Mu'aththilah", lihat kitab mereka "al<br />
Qawaid al Mutsla“ karya al 'Utsaimin (Riyadh), hal. 45</div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-68556072086795691572010-05-06T20:25:00.001+07:002010-05-06T22:09:56.302+07:00AQIDAH MUKMIN (2) Ta’aluq<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGpN10vBeWazUgagqpgxicr_b2lEmfSfrG7eMl1-_msjY0dPu03JC7vJO39F8PVyzG1n_NaKX2sgJ8PpGbhIvw_3QXvo-0pG6GmrOMSKtGl29e5sJtqbYSRsPLC1SKX7Mh5soj9xTidjVW/s1600/Aqidah+Mukmin.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGpN10vBeWazUgagqpgxicr_b2lEmfSfrG7eMl1-_msjY0dPu03JC7vJO39F8PVyzG1n_NaKX2sgJ8PpGbhIvw_3QXvo-0pG6GmrOMSKtGl29e5sJtqbYSRsPLC1SKX7Mh5soj9xTidjVW/s200/Aqidah+Mukmin.jpg" width="150" /></a></div><div style="text-align: justify;">Ta’aluq<br />
Ta’aluq artinya tuntutan sifat pada sesuatu diluar dari berdirinya (melekatnya) sifat pada dzat. Bila diibaratkan atau dimisalkan dengan sifat dari yang baharu seperti pendengaran ta’aluqnya adalah suara, penglihatan baharu ta’aluq pada warna.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Adapun sifat Allah yang mempunyai ta’alauq ada enam sifat, yaitu :<br />
1. Sifat Qudrat dan Irodat yang mempunyai ta’aluq ta’sir (mengubahkan) yaitu terhadap sekalian mumkin (baharu) karena yang menerima perubahan adalah yang baharu. Adapun pada yang wajib dan yang mustahil bukan merupakan ta’aluq keduanya karena yang wajib dan mustahil tidak menerima berubah. Yang wajib selamanya akan ada bila dapat berubah menjadi tidak ada maka bukan wajib tetapi baharu. Yang mustahil selamanya tidak akan ada bila dapat berubah menjadi ada berarti bukan mustahil tetapi baharu. Oleh karena itulah maka dikatakan kedua sifat ini ta’aluq pada sekalian yang baharu. Adapun yang baharu disebut pula mumkin yang artinya sesuatu yang mungkin dalam hukum akal ada atau tidaknya dimana peluang salah satu diantara keduanya sama.</div><div style="text-align: justify;">Mumkin ini dapat digolongkan atas 4 macam, yaitu :<br />
a. Mumkin maujud haalan <span style="background-color: orange; font-size: large;"><span style="color: black;">(ممُـْكِنٌ مَوْجُوْدٌ حَالاً )</span> </span>yaitu mumkin yang sedang ada saat ini misalnya apa yang kita lihat disekeliling kita seperti langit, bumi, pohon, air dan lainnya.<br />
b. Mumkin ma’duum <span style="background-color: orange; font-size: large;">(ممُـْكِنٌ مَعْدُوْمٌ )</span> yaitu mumkin yang sudah tidak ada yang dahulunya ada seperti orang yang sudah mati, kejadian kemarin atau yang sebelumnya dan lainnya.<br />
c. Mumkin sayuujad (ممُـْكِنٌ سَيُوْجَدٌ ) yaitu mumkin yang akan diadakan yang sekarang belum ada seperti apa yang akan terjadi besok hari, lahirnya anak bagi orang yang sedang hamil, peristiwa kiamat dengan huru-haranya atau lainnya.<br />
d. Mumkin ‘alimallahu annahu lam yuujad <span style="background-color: orange; font-size: large;">(ممُـْكِنٌ عَلِمَ اللّهُ اَنَّهُ لَمْ يُوْجَدْ)</span> yaitu mumkin yang pada ilmu Allah tidak akan diadakan seperti iman di hati Abu Jahal atau orang kafir dan yang lainnya.<br />
Keempat jenis mumkin itu menjadi ta’aluq sifat qudrat dan iradat Allah walaupun untuk mumkin yang terakhir Allah tidak akan menjadikannya tetapi ditinjau dari sifatnya yang baharu maka tetap dikatakan menjadi ta’aluq keduanya. Mumkin yang terakhir ini dapat juga dikatakan mustahil ‘aridi (mustahil disebabkan yang lain yaitu kehendak Allah yang tidak akan menjadikannya). Disamping mustahil ‘aridi ada juga yang disebut dengan wajib ‘aridi yaitu mumkin yang dalam iradat Allah yang azali sudah ditentukan akan diadakan-Nya. <br />
2. Sifat Sama’ dan Bashor yang mempunyai ta’alauq inkisaf (menyatakan) yaitu terhadap sekalian yang wujud (maujud). Adapun yang maujud ada dua yaitu yang qodim (Dzat Allah Ta'ala) dan mumkin maujud. Keduanya ta’aluq kedua sifat ini. Adapun yang mustahil dan mumkin yang lain maka bukan merupakan ta’aluq keduanya karena keduanya tidak ada dan yang tidak ada tidak dapat dilihat dan didengar.<br />
3. Sifat Ilmu yang mempunyai ta’aluq inkisaf (menyatakan) yaitu terhadap segala yang wajib, mustahil dan jaiz. Adapun sifat ta’aluq inkisaf Ilmu berbeda dengan sifat ta’aluq inkisaf sama’ dan bashor karena ta’aluq ilmu bersifat umum karena bisa pula diketahui yang tidak ada yaitu bahwa yang tidak ada itu memang tidak ada, seperti Allah mengetahui bahwa tidak ada sekutu-Nya, sebagaimana sabda Nabi SAW :<br />
<span style="background-color: orange; font-size: large;">لاَإِلهَ اِلاَّاللّهُ وَحْدَه لاَشَرِيْكَ لَهُ</span><br />
Artinya : “Tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya…”<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<span style="background-color: orange; font-size: large;">اَللّهُ لاَاِلهَ اِلاَّهُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ</span>Artinya : “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Hidup dan Berdiri Sendiri…”.<br />
4. Sifat Kalam yang mempunyai ta’aluq dilalat (menjelaskan) yaitu terhadap yang wajib, mustahil dan jaiz. Misalnya untuk yang ta’aluq pada yang wajib, firman Allah Ta'ala :<br />
<span style="background-color: orange; font-size: large;">إِنَّنِيْ أَنَااللّهُ لاَ اِلهَ إِلاَّ أَنَاْ فَاعْبُدْنِىْ وَأَقِمِ الصَّلَوةَ لِذِكْرِىْ</span><br />
Artinya : “Aku Allah, tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Aku”. (Thoohaa 20:14)<br />
Untuk yang ta’aluq dengan yang harus, firman Allah Ta'ala :<br />
<span style="background-color: orange; font-size: large;">وَاللّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ</span><br />
Artinya : “Allah-lah yang menjadikanmu dan yang menjadikan apa-apa yang kalian perbuat”. (Ash-Shoffaat 37:96)<br />
Untuk yang ta’aluq dengan yang mustahil, firman Allah Ta'ala :<br />
<span style="background-color: orange; font-size: large;">لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ</span><br />
Artinya : “Bahwasanya Allah itu salah satu dari yang tiga”.<br />
Keduapuluh sifat ini dapat dikelompokkan atas 4 bagian, yaitu :<br />
1. Sifat Nafsiah, yaitu hal yang wajib pada dzat selama dzat bersifat wujud bukan disebabkan oleh yang lain. Yang masuk sifat Nafsiah adalah sifat wujud. Sifat wujud ini merupakan sifat dari setiap yang ada jadi berlaku pula untuk mumkin yang ada.<br />
2. Sifat Salbiah, yaitu ibarat untuk menafikan apa yang tidak pantas pada Tuhan kita Jalla wa Azza. Yang masuk pada sifat ini Qidam, Baqo’, Mukholafatuhu lil hawadits, Qiyamuhu ta'ala binafsihi dan Wahdaniat. Jadi sifat ini tidak kelihatan tetapi hanya untuk membedakan antara yang Qodim (Allah) dan Baharu dimana setiap sifat Allah yang lain bersifat pula dengannya, misalnya Qudrat Allah adalah Qudrat yang Qodim dan Baqo’.<br />
3. Sifat Ma’ani yaitu sifat yang wujud atau nyata yang melekat pada dzat yang wujud mewajibkan dzat bersifat dengan sifat maknawiyah. Yang termasuk sifat ini Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashor dan Kalam. Dikatakan sifat ini sifat yang wujud maka nanti saat dibukakan hijab kita saat di syurga untuk melihat Allah sifat-sifat ini akan nyata bagi kita melekat pada Dzat-Nya yang mulia.<br />
4. Sifat Maknawiyah yaitu hal yang tetap pada dzat bersifat maknawiyah dikarenakan dengan sifat ma’ani. Sifat maknawiyah dan sifat ma’ani keduanya saling berkaitan atau berlaziman. Ada sifat Qudrat maka ada pula sifat Kaunuhu Qoodiron, ada sifat Iradat maka ada pula sifat Kaunuhu Muridan demikian seterusnya. Sifat Ma’ani merupakan sifat yang melekat pada Dzat yang nyata bila dilihat sedangkan sifat maknawiyah merupakan hal (keadaan). Meniadakan salah satunya maka secara otomatis akan meniadakan yang satu lagi. Sifat inilah yang sering disebutkan dalam Al-Qur’an dalam penyebutan sifat-sifat Allah yang mana berarti menetapkan sifat ma’ani pula ada pada-Nya. Apabila ada orang mengingkari sifat ini telah sepakat ulama bahwa orang itu kafir.<br />
Adapun sifat yang jaiz (harus) pada Allah Ta'ala adalah satu sifat saja, yaitu :<br />
<span style="background-color: orange; font-size: large;">فِعْلُ كُلِّ ممـْكِنٍ اَوْتَرْكُهُ</span><br />
(Membuat sekalian yang mumkin atau meninggalkannya yaitu tidak membuatnya). <br />
Adapun dalil dari harusnya sifat ini, yaitu :<br />
فَلاَنَّهُ لَوْكَانَ وَجَبَ عَلَيْهِ تَعَالى شَيْءٌ مِنْهَا عَقْلاً اَوْ اِسْتِحَالَ عَقْلاً لانْقَلَبُ المْـُمْكِنٌ وَاجِبًا اَوْمُسْتَحِيْلاً وَذلِكَ لاَيُعْقَلْ<br />
Artinya : “Bahwasanya jika Allah wajib melakukannya atau mustahil melakukannya secara akal maka akan bertukar hakikat yang mumkin menjadi wajib atau menjadi mustahil. Hal itu adalah tidak masuk akal”.<br />
Termasuk mumkin adalah memberi pahala orang yang berbuat taat lalu memasukkannya ke syurga, menyiksa orang maksiat dan memasukkannya ke neraka. Adapun wajib memberi pahala pada orang yang taat secara syara' adalah memandangkan pada janji Allah Ta'ala dan mengingkari janji pada sisi Allah Ta'ala adalah sifat kekurangan dan kekurangan pada sisi-Nya adalah mustahil. Adapun menyiksa orang yang berbuat maksiatpun harus pada hukum akal dan mengingkarinya dengan mengampuni merupakan tanda kemurahan yang merupakan sifat kesempurnaan pula, maka mengampuni orang yang maksiat bukan hal yang tercela.<br />
Kesimpulannya jumlah aqo'idul iman pada Haq Allah ada 41 yaitu 20 yang wajib, 20 yang mustahil dan satu yang harus. Selain ke-41 sifat diatas, maka wajib pula tiap-tiap mukkalaf mengi’tiqadkan 9 aqaid berikut yang menunjukkan bahwa Allah Ta'ala sebenar-benar Tuhan karena arti Tuhan adalah :<br />
<span style="background-color: orange; font-size: large;">مُسْتَغْنيٌ عَنْ كُلِّ مَاسِوَاهُ وَمُفْتَقِرٌاِلَيْهِ كُلِّ مَاعَدَاهُ</span><br />
(Maha Kaya [tidak butuh/berhajat] atas tiap-tiap yang selain-Nya dan faqir [berhajat/butuh] pada-Nya tiap-tiap yang selain-Nya ), yaitu :<br />
1. Mustahil pada Allah Ta'ala wajib membuat atau meninggalkan sekalian mumkin. Ini merupakan lawan dari sifat jaiz pada Allah. Jika wajib bagi Allah padanya secara akal misalnya memberi pahala orang yang berbuat taat dan memasukkan ke syurga berarti Allah ta’ala berhajat kepadanya untuk menyempurnakan kekurangannya yang mana tanpa taat Allah tidak bisa mema-sukkan ke syurga. Telah nyata semua itu adalah kemurahan Allah, bukan kewajibannya. Allah adalah Zat yang Maha Kaya tidak diterima akal jika ia berhajat pada selain-Nya, bahkan yang selain-Nya berhajat kepad-Nya.<br />
2. <span style="background-color: orange; font-size: large;">تَنَزُّهُهُ تَعَالى عَنِ الأَغْرَضِ في اَفْعَالِهِ وَاَحْكَامِهِ</span> (Maha suci Allah Ta'ala mengambil manfaat pada perbuatan atau hukum-Nya), karena jika Dia menghendaki untuk mengambil manfaat dalam perbuatan atau hukum yang ditetapkan-Nya berarti Qudrat dan Iradat-Nya tidak sempurna karena ada yang dikehendaki-Nya tidak dapat diwujudkan-Nya kecuali dengan cara membuat atau menetapkan hukum yang mana dengannya apa yang dikehendaki-Nya dapat terwujud. Allah Maha Kaya yang tidak berhajat pada selain-Nya, bahkan yang selain-Nya berhajat kepada-Nya.<br />
3. Mustahil Allah Ta'ala mengambil manfaat pada perbuatan atau hukum-Nya yaitu lawan dari sebelumnya untuk menguatkan apa yang disebutkan sebelumnya untuk menghindari kesamaran di-samping tersuci darinya juga mustahil.<br />
4. <span style="background-color: orange; font-size: large;">اَنْ لاَتَأْثِيرُ لِشَيْءٍ مِنَ الْكَائِنَاتِ بِقُوَّتِهِ</span> (Setiap sesuatu dari mumkin tidak memberi bekas/akibat dengan kekuatannya.), yaitu dengan sifatnya. Hal ini dikarenakan jika kekuatan mumkin memberi bekas atau akibat pada sesuatu maka sesuatu yang timbul itu berarti tidak berhajat pada Allah Ta'ala tetapi hanya butuh pada kekuatan itu karena ada yang selain Allah Ta'ala dapat menjadikannya. Bila hal itu terjadi maka tidak dikatakan tiap-tiap yang selain-Nya berhajat pada-Nya, sedangkan Allah adalah Zat diman setiap yang selain-Nya berhajat kepada-Nya.<br />
5. Mustahil tiap mumkin memberi bekas dengan kekuatannya, yaitu lawan dari sebelumnya untuk menguatkan perkara yang disebutkan itu bahwa secara akal hal itu juga mustahil. Kedua perkara ini juga untuk menafikan apa yang dii'tiqadkan kaum Mu'tazilah bahwa Allah Ta'ala menjadikan pada manusia kuat dan dengan kuat itu manusia memperbuat apa yang dikehendaki-Nya, jadi bukan Allah yang menjadikan apa yang dilakukan hamba-Nya.<br />
6. Wajib beri’tiqad <span style="background-color: orange; font-size: large;">حُدُوْثُ الْعَالَمْ</span> (alam ini baharu) karena jika tidak baharu berarti alam ini qadim. Setiap yang qadim tidak membutuhkan pada yang menjadikannya, berarti jika alam qadim maka tidak butuh pada Allah Ta'ala. Jika ada yang tidak membutuhkan Allah maka tidak dikatakan bahwa Allah Ta'ala Dzat yang tiap-tiap yang selain-Nya butuh atau berhajat pada-Nya sedangkan Allah adalah Zat yang setiap yang selain-Nya berhajat kepada-Nya.<br />
7. Mustahil alam ini qadim, yaitu lawan dari yang sebelumnya untuk menguatkan pernyataan itu supaya menghindarkan kesamaran bahwa disamping dikatakan alam ini baharu, mustahil pula ia qadim.<br />
8. <span style="background-color: orange; font-size: large;">لاَتَأْثِيرَ لِشَيْءٍ مِنَ الْكَائِنَاتِ بِطَبِعِهِ</span> (Sekalian mumkin tidak memberi bekas dengan tabiatnya) yaitu dengan zatnya, karena Allah tidak membutuhkan perantara untuk menghasilkan apa yang dikehendaki-Nya yang mana tanpa adanya perantara itu maka Dia tidak akan bisa mendapatkan keinginan-Nya misalnya gerak cincin di jari, bergerak cincin dengan bergeraknya jari. Allah yang menggerakkan jari dan Allah pula yang menggerakkan cincin. Sama juga seperti penumpang kenderaan di mobil, bergerak penumpang dengan bergeraknya mobil, maka keduanya adalah dari sisi Allah. Bagaimana mungkin Allah membutuhkan perantara dalam kehendak-Nya sedangkan Allah Maha Kaya yang mana Dia tidak membutuhkan yang selain-Nya.<br />
9. Mustahil sekalian mumkin memberi bekas dengan tabiatnya, yaitu lawan dari yang sebelumnya untuk menguatkan pernya-taan sebelumnya bahwa hal itu secara akal juga mustahil.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Dengan tambahan 9 aqaid diatas maka seluruh aqaidul iman sudah ada 50. Keseluruhan aqoidul iman yang 50 masuk pada makna kalimat <span style="background-color: orange; font-size: large;">لاَاِلهَ اِلاَّاللّهُ</span> sebab arti <span style="background-color: orange; font-size: large;">لاَاِلهَ</span> adalah <span style="background-color: orange; font-size: large;">لاَمَعْبُوْدَ بحَقٍّ</span> (tidak ada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya). Lazimnya <span style="background-color: orange; font-size: large;">لاَمَعْبُوْدَ بحَقٍّ</span> bahwa Dia <span style="background-color: orange; font-size: large;">مُسْتَغْنيٌ عَنْ كُلِّ مَاسِوَاهُ وَمُفْتَقِرٌ اِلَيْهِ كُلِّ مَاعَدَاهُ</span> (Dia kaya dari tiap-tiap yang selain-Nya dan berkehendak tiap-tiap yang selain-Nya kepada-Nya). Keadaan ini nyata pada 50 aqaid diatas. Ke-50 aqaid ini dapat dikelompokkan atas 2 bagian dimana 28 aqaid yaitu 14 aqaid dan lawannya masuk pada <span style="background-color: orange; font-size: large;">اِسْتِغْنَائِهِ تَعَالى عَنْ كُلِّ مَاسِوَاهُ</span> dan 22 aqaid yaitu 11 aqaid dengan lawannya masuk pada <span style="font-size: large;"><span style="background-color: orange;">اِفْتِقَارُ كُلِّ مَاعَدَاهُ اِلَيْهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالى</span></span> seperti akan disebutkan di belakang dengan 25 aqaid bersama lawannya, maka seluruhnya menjadi 50 aqaidul iman yang seluruhnya terdapat di dalam makna :<br />
<span style="background-color: orange; font-size: large;">لاَمُسْتَغْنِيًا عَنْ كُلِّ مَاسِوَاهُ – وَمُفْتَقِرٌاِلَيْهِ كُلِّ مَاعَدَاهُ اِلاَّاللّهُ</span><br />
Dengan wajibnya sebelas sifat yaitu Wujud, Qidam, Baqo, Mukholafatu lilhawadits, Qiyamuhu binafasihi, Sama’, Bashor, Kalam, Kaunuhu samii’an, Kaunuhu bashiron dan Kaunuhu mutakalliman seperti akan disebutkan di bawah ini beserta lawannya yang mustahil, wajibnya <span style="background-color: orange; font-size: large;">تَنَزُّهُهُ تَعَالى عَنِ اْلأَغْرَضِ في اَفْعَالِهِ وَاَحْكَامِهِ </span>serta mustahil lawannya, kemudian harusnya membuat sekalian mumkin atau meninggalkan membuatnya dan mustahil wajib atasnya, kemudian wajib bahwa mumkin tidak memberi akibat (bekas) dengan kuatnya dan mustahil memberi bekas dengannya, maka dengan ke-28 aqaid ini nyata bahwa Allah Ta'ala kaya (tidak membutuhkan) dari yang selain-Nya, karena jika seluruh sifat-sifat itu tidak wajib pada-Nya atau bahkan salah satunya maka Dia berkehendak pada dzat yang mengadakan sifat-sifat itu pada-Nya atau yang dapat menolakkan-Nya dari kekurangan, bagaimana mungkin sedangkan Dia adalah Dzat yang Maha Kaya dari yang selain-Nya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Kemudian dengan wajibnya sembilan sifat yaitu Wahdaniat, Qudrat, Irodat, Ilmu, Hayat, Kaunuhu qodiron, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ilman dan Kaunuhu Hayyan seperti tersebut di bawah beserta mustahil lawannya, kemudian wajib baharu alam, mustahil qodim, wajib setiap mumkin tidak memberi bekas dengan tabiatnya dan mustahil memberi bekas dengannya, maka nyata dengan ke-22 aqaid ini bahwa yang selain-Nya iftiqar (membutuhkan/berkehendak) pada Allah Ta'ala, karena jika salah satu diantaranya saja ada yang tidak ada pada-Nya maka tidak akan berkehendak tiap-tiap yang baharu pada-Nya bagaimana mungkin sedangkan Dia adalah Dzat yang berkehendak pada-Nya tiap-tiap sesuatu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">INSYA ALLAH BERSAMBUNG KE SIFAT - SIFAT RASUL</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> MULYADI ASY-SYAFI’I AMD<br />
(Konsultasi pemahaman/Langsung Lewat Hp/SmS)<br />
<span style="font-size: large;"> Hp. 081361 032 033</span></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-77493856077216506342010-04-30T22:14:00.009+07:002010-04-30T22:58:08.615+07:00AQIDAH MUKMIN (1)<div style="text-align: center;"><span style="font-size: x-large;">بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ </span></div><br />
<div style="text-align: justify;">Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam dengan puji-pujian yang melengkapi segala nikmat-Nya dan menarik kelebihan pemberian-Nya. Sholawat yang sempurna dan kesejahteraan yang sempurna atas penghulu kita Nabi SAW dan atas seluruh keluarga dan sahabatnya.<br />
Sesungguhnya Allah telah mengkaruniakan nikmat yang sangat besar, yaitu nikmat Islam dan Iman karena dengan keduanya maka dimasukkan Allah Jalla wa Azza ke dalam syurga kekal selama-lamanya serta selamat dari siksa neraka dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu maka wajib atas tiap-tiap mukallaf yaitu orang yang akil baligh bahwa ia mengetahui sekalian rukun Islam seperti tersebut di bawah ini. Demikian juga dengan rukun Iman supaya ia dapat bersyukur pada Allah Ta’ala dengan mengamalkan amal-amal keduanya yang terhenti makbulnya dengan pengetahuan.</div><div style="text-align: justify;">A. Rukun Islam<br />
Rukun Islam ada lima perkara, yaitu :<br />
1. Mengucap dua kalimat syahadat<br />
2. Sembahyang lima waktu.<br />
3. Puasa Ramadhan.<br />
4. Membayar zakat.<br />
5. Pergi haji.<br />
<br />
Disebutkan pada hadits dari Nabi SAW :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَاِلهَ اِلاَّاللّهُ وَأَنَّ محَمَّدًا رَّسُوْلُ اللّهِ , وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ , وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ , وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ ,وَتحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبيْلاً.</span></div>Artinya : “Islam adalah engkau bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau haji ke Baitullah jika engkau telah mampu melaksanakannya”.<br />
Adapun ilmu pengetahuan tentang rukun Islam yang pertama yaitu mengetahui makna dua kalimat syahadat disebut ilmu Ushuluddin atau ilmu Tauhid seperti kitab ini. Ilmu Ushuluddin artinya ilmu tentang pokok-pokok agama (diin). Arti agama menurut istilah ada dua yaitu : <br />
<span style="font-size: large;">مَا شَرَعَهُ اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبيه مِنَ الاَحْكَامِ</span><br />
Artinya : “Hukum yang disyariatkan (diperintahkan) Allah melalui lisan Nabi Allah”.<br />
<br />
Atau :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَضْعٌ اِلهِىٌّ يَدْعُوْلِذَوِى العُقُوْلِى السَّالِمَةِ اِلى قَبُوْلِ مَا هُوَعِنْدَ الرَّسُوْلِ لِسَعَادَتِهِم في مَعَاشِهِم وَمَعَادِهِمْ</span></div>Artinya : “Peraturan dari Tuhan untuk mengajak setiap yang berakal sehat untuk menerima apa-apa yang dibawa Rasul untuk mencapai kebahagiaan ketika di dunia dan di akhirat.<br />
Sedangkan arti ilmu Tauhid menurut istilah syara’ adalah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">عِلْمٌ يَقْتَدِرُ بهِ عَلَى اِثْبَاتِ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ مُكْتَسَبٌ مِنْ اَدِلَّتِهَا الْيَقِيْنِيَّةِ</span></div>Artinya : “Ilmu untuk menetapkan akidah (keyakinan) keagamaan seseorang berdasarkan atas dalil-dalilnya didasari keyakinan” <br />
Dimaksud dengan dalil adalah dalil naqli (diambil/dinukil dari Al-Qur’an dan Hadits) dan dalil aqli (berdasarkan akal).<br />
Wajib hukumnya atas tiap-tiap mukallaf bahwa ia mengenal Tuhannya Azza wa Jalla dengan seluruh sifat-sifat Allah yang wajib, mustahil dan jaiz (harus). Demikian juga yang wajib atas diri sekalian Rasul alaihimush sholatu wassalam, yang mustahil dan yang harus seperti akan dijelaskan nantinya. Semua itu masuk dalam makna dua kalimat syahadat.<br />
Ilmu pengetahuan tentang rukun Islam yang selainnya disebut dengan ilmu fikih. Wajib atas tiap-tiap mukallaf bahwa ia mengetahui ilmu yang wajib atasnya seperti sembahyang, puasa dan lainnya. Demikian juga dengan amalan-amalan sunat atau amalan yang hendak dikerjakannya karena tidak sah beramal dengan jahil pada hukumnya sebagaimana hal itu disebutkan dalam kitab Zubad :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">فَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلْ ، أَعْمَالُهُ مَرْدُودَةٌ لاَتُقْبَلُ</span></div>Artinya : “Tiap-tiap orang yang beramal dengan tanpa ilmu maka amalnya dikembalikan padanya (tidak dikabulkan)”<br />
Adapun dalil wajibnya ilmu yang tersebut itu hadits Nabi SAW :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ</span></div>Artinya : “Menuntut ilmu wajib atas tiap-tiap muslim”.<br />
Sedangkan makrifat Allah Jalla wa Azza lebih dahulu dari ilmu yang lain sebagaimana disebut dalam kitab Zubad :<br />
<span style="background-color: orange; font-size: large;">وَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الاِْنْسَانِ مَعْرِفَةُ الهِئ بِاسْتِيْقَانِ</span><br />
Artinya : “Yang permulaan wajib atas manusia yaitu makrifatullah dengan yakin”.<br />
<br />
Demikian juga dari kitab Khutbatu lil habibi Thohir bin Husain :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">فَاعْلَمُوْا ايُّهَا الاِْخْوَانُ اَنَّ الأَصْلَ وَاْلأَسَاسَ هُوَ مَعْرِفَةُ الْمَعْبُوْدِ قَبْلَ الْعِبَادَةِ وَذلِكَ حَقِيْقَةُ مَعْنَى الشَّهَادَةِ </span></div>Artinya : “Ketahuilah olehmu bahwa asal agama yaitu mengetahui Tuhan yang disembah sebelum melakukan ibadah pada Allah dan pengetahuan itu adalah hakikat makna kalimat syahadat”. <br />
Apabila telah diketahui wajibnya makrifatullah Allah atas tiap-tiap mukallaf maka ketahui olehmu arti makrifat yaitu I’tiqad yang jazam, mufakat (sesuai) dengan yang haq (benar) dan dengan mempunyai dalil. Arti jazam adalah mantap tanpa ada keraguan lagi. Keluar dari perkataan jazam itu zhon (dugaan kuat), waham (ragu) dan syak (dugaan lemah).<br />
<br />
I’tiqad jazam dapat dibedakan atas empat bagian yaitu :<br />
1. Jazam mufakat dengan yang haq dan dengan mempunyai dalil. Hal ini yang disebut makrifat.<br />
2. Jazam mufakat dengan yang haq dan tanpa mempunyai dalil. Hal ini yang disebut taklid shohih.<br />
3. Jazam tidak mufakat dengan yang haq dan dengan mempunyai dalil. Hal ini disebut jahil murokkab.<br />
4. Jazam tidak mufakat dengan yang haq dan tanpa mempunyai dalil. Hal ini disebut taklid batil.<br />
Adapun arti dalil adalah perkara yang menunjukkan kebenaran sesuatu perkara. Dalil dalam masalah tauhid dapat secara ijmali (garis besar) atau secara tahshili (terperinci). Dalil wujudnya Allah dengan sekalian sifat Allah dengan dalil ijmali yaitu adanya langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya. Inilah yang wajib untuk setiap orang Islam menuntutnya supaya lepas ia dari dosa. Adapun mengetahui dalil tafshili maka hukumnya fardhu kifayah untuk setiap daerah dalam batasan ukuran perjalanan yang dibolehkan untuk menjama' dan mengqoshor sembahyang. Mengetahui dalil tafshili diperlukan untuk menolakkan syubhat-syubhat yang didatangkan oleh ahli bid'ah dan orang-orang yang akan merusak keyakinan umat Islam.<br />
<br />
Hikayat :<br />
Kata Syeikh Ashmu'i, "Aku keluar pada satu hari dari mesjid jami' di Negeri Bashroh. Ketika aku sedang berjalan maka di tengah perjalanan aku bertemu dengan seorang A'robi yang menaiki unta sedang diba-hunya tergantung pedangnya dan pada tangannya anak panah. Ia memberi salam kepadaku dan bertanya, ”Siapa engkau ?" Jawabku, "Aku dari Bani Ashma`". Katanya lagi, "Darimana kamu datang ?" Jawabku, "Dari tempat dibacakannya Kalamurrohman". Katanya, "Adakah bagi Rohman itu kalam yang dibaca orang akannya ?" Jawabku, "Benar !" Katanya, "Bacakanlah atasku sesuatu darinya !" Jawabku, "Beradab engkau, hentikan untamu, turun engkau dari atas unta itu dan duduk !" Maka dihentikannya untanya lalu iapun turun dan duduk, maka kubacakan surat Adz-Dzarriyat hingga sampai pada firman-Nya :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَفي اْلأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوْقِنِينَ وَفي أَنْفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ</span></div>Artinya : "Dan di bumi itu beberapa tanda Allah yang menunjukkan ke-Esaan-Nya yang memberi keyakinan pada orang yang mentauhidkan Allah dan pada diri kamu sendiri apakah kamu tidak melihat ?"<br />
Kata A'robi itu, "Telah benar Rohman pada firman-Nya. Tahi unta menunjukkan ada unta, bekas telapak kaki menunjukkan ada orang yang berjalan, dilangit ada buruj tempat jalan bulan, bintang dan matahari. Bumi mempunyai jalan, laut mempunyai ombak. Bukankah semua itu menunjukkan adanya Tuhan yang Lathif (Maha Lemah lembut) dan Khobir (Mengetahui)". Ketika kubaca :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَفي السَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوْعَدُوْنَ</span></div>Artinya : " Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu".<br />
Katanya, "Hai Ashmu'i ! Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, ini juga kalam Rohman ?" Kataku, "Benar !" Katanya, "Berhentilah engkau !" Kemudian ia berdiri dan menuju untanya, lalu unta itu disembelihnya dan dagingnya dibagikannya pada orang yang lewat. Kemudian ia mematahkan pedang dan anak panahnya dan dikuburkannya. Dia berkata, "Wahai celakalah aku ! Rezekiku ada di langit dan aku mencarinya di bumi. Ini jelas bukan perkara yang benar". Lalu iapun pergi ke hutan. Ketika aku sampai ke kota Baghdad maka kuceritakanlah hal itu pada Harun al-Rasyid dan iapun heran. Pada tahun berikutnya ia membawaku untuk besertanya pergi ke Mekkah untuk naik haji. Saat aku sedang Thawaf maka menarik tepi kainku seorang laki-laki muda, kulihat maka ternyata ia adalah sahabat A'robi itu. Katanya, "Wahai Ashmu'i ! Bacakanlah olehmu untukku Kalam Rohman !" Maka akupun membacakannya baginya pula Surat adz-Dzariyat. Tatkala bacaanku sampai pada firman Allah ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَفي السَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوْعَدُوْنَ</span></div>iapun berkata, "Benarlah Rohman ! Kami dapatkan apa yang dijanjikan-Nya kepada kami". Tatkala sampai bacaanku pada ayat :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">فَوَرَبِّ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ اِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُوْنَ</span></div>Artinya : " Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan".<br />
Katanya, "Demi Tuhan tujuh lapis langit dan bumi ! Bahwasanya benar seperti yang engkau kata". Katanya lagi, "Siapa yang telah dimurkai oleh Allah al-Jalil hingga Ia bersumpah karena mereka tidak percaya kepada-Nya lalu Dia bersumpah. Demi Allah ! Tidaklah kami menghendaki sesuatu kecuali kami dapati ia hadir". Kemudian iapun terisak-isak dan jatuh pingsan. Ketika kami gerak-gerakkan untuk memeriksanya maka kami dapati ia telah mati. Lalu Amirul mukminin Harun al-Rasyid menyelenggarakan jenazahnya mulai dari memandi-kan, menyembahyangkan, mengkafani hingga menguburkannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Dikisahkan :<br />
Ada seorang Dahri (Atheis) pada masa Hamad guru dari Imam Abu Hanifah yang menantang seluruh ulama untuk berhujjah (berdebat) dengannya. Ia berkata, "Kamu mengatakan bahwa Allah itu ada lalu kalau ada bagaimana mungkin bahwa Dia tidak ada tempat-Nya. Sedangkan setiap yang wujud maka pasti memiliki tempat". Setelah mengalahkan dia akan hujjah kebanyakan ulama, ia berkata, "Apakah masih ada pada kalian ulama ?" Jawab orang banyak, "Ada ! Dia adalah Hamad". Dahri itu berkata, "Wahai Khalifah ! Hadirkan ia ke hadapanku agar dapat aku berkata-kata dengannya". Oleh Khalifah Hamad dipanggil dia berkata, "Baiklah tetapi aku meminta tangguh malam ini". Pagi harinya datanglah Abu Hanifah yang ketika itu masih kecil. Dilihatnya gurunya dalam keadaan sangat berduka, maka tanyanya, "Apa yang menyebabkan engkau begini ?" Jawabnya, "Bagaimana aku tidak berduka, telah memanggil khalifah akan daku untuk berhujjah dengan Dahri dan telah dikumpulkannya banyak ulama. Tadi malam aku bermimpi dan kulihat hal yang sangat menakutkan". Tanya Abu Hanifah, "Apa mimpimu itu ?" Jawabnya, "Kulihat suatu kampung yang sangat luas dan indah. Ada didalamnya sebuah pohon kayu yang berbuah. Tiba-tiba dari sudut kampung muncul seekor babi yang memakan buah kayu itu serta daun dan ranting-rantingnya sampai tinggal batangnya. Kemudian muncul dari pohon kayu itu seekor harimau yang kemudian babi itu ditangkapnya dan dibunuhnya". Berkata Abu Hanifah, "Bahwasanya Allah ta'ala mengajarkan kepadaku ta'bir mimpi. Sesungguhnya mimpi ini baik bagi kita dan buruk bagi musuh kita. Jika engkau izinkan padaku untuk menta'birkannya maka akan kuta'birkan". Kata Hamad, "Ta'birkan ya Nu'man !" Katanya, "Adapun kampung yang luas dan indah itu adalah agama Islam dan pohon kayu yang berbuah itu adalah ulama dan ushul yang tinggal itu adalah engkau, babi itu Dahri dan harimau yang membunuh babi itu adalah aku. Berjalanlah engkau memenuhi undangan Khalifah dan aku bersamamu, maka berkat dari himmah dan hadhirat engkau, aku yang akan menjawab soal Dahri dan berhujjah dengannya". Mendengar itu maka senanglah hati Hamad dan keduanya ketika itu juga berdiri ke tempat perhimpunan orang-orang dan disana ada Khalifah dan masyarakat yang ingin menyaksikan majlis Hamad sedangkan Abu Hanifah berdiri di hadapan gurunya di bawah tempat duduknya sambil memegang kain gurunya. Datanglah Dahri dan segera naik ke mimbar lalu bertanya, "Siapa yang akan menjawab pertanyaanku ?" Sahut Abu Hanifah, "Apa yang akan kau katakan, tanyakan saja maka siapa yang tahu dialah yang akan menjawabnya". Kata Dahri, "Siapa engkau, hai anak kecil ! Engkau berkata-kata denganku sedangkan banyak orang yang lebih tua darimu dengan kain kebesarannya dan lengan baju yang lebar telah lemah mereka melawan hujjahku. Bagaimana pula engkau berkata-kata denganku seorang anak kecil dan hina pula dirimu ?" Berkata Abu Hanifah, "Allah tidak meletakkan kemuliaan itu pada orang yang memiliki serban yang besar, pakaian yang megah serta lengan baju yang lebar, tetapi Dia meletakkan kemuliaan itu pada ulama seperti firman-Nya :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَالَّذِيْنَ أُوْتُو الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ</span></div>Artinya : "Mereka yang diberi Allah ilmu mempunyai beberapa derajat".<br />
Kata Dahri, "Engkau yang akan menjawab soalku ?" Jawab Abu Hanifah, "Benar ! Aku akan menjawab soalmu dengan taufik dari Allah". Kata Dahri, "Apakah Allah itu maujud (ada) ?" Jawabnya, "Benar !" Kata Dahri, "Dimana Dia ?" Jawabnya, "Tidak ada tempat bagi-Nya". Katanya, "Bagaimana ada maujud tapi tiada bertempat baginya ?" Jawabnya, "Pada dirimu itu ada buktinya". Tanyanya, "Mana buktinya ?" Jawabnya, "Tidakkah ada pada dirimu nyawa ?" Katanya, "Benar !" Kata Abu Hanifah, "Dimana tempat ruhmu itu, dikepala kamukah, diperut kamukah atau dikaki kamukah ?" Tercenganglah Dahri itu, lalu Abu Hanifah meminta didatangkan padanya susu. Katanya, "Tidakkah pada susu ini ada minyaknya ?" Kata Dahri, "Benar !" Kata Abu Hanifah, "Dimanakah tempatnya, diatasnyakah atau dibawahnyakah ?" Maka Dahri itupun tercengang pula, lalu Abu Hanifah berkata, "Seperti tiada pada ruh itu tempat tertentu di tubuh dan tidak pula minyak pada susu, demikianlah tidak pula bagi Allah didalam yang ada ini tempat-Nya". Kata Dahri, "Apa yang mendahului Allah dan apa pula yang sesudahnya ?" Kata Abu Hanifah, "Tidak ada sesuatu yang mendahului-Nya dan tidak pula ada sesuatu yang sesudah-Nya". Kata Dahri, "Bagaimana dapat tergambar ada yang maujud tanpa di dahului sesuatu dan tidak ada yang kemudiannya". Kata abu Hanifah, "Pada perkara itu ada buktinya pada dirimu". Kata Dahri, "Apa pula itu ?" Kata Abu Hanifah, "Apa yang sebelum ibu jarimu dan apa yang kemudian dari jari kelingkingmu. Demikian pula Allah tidak ada yang sebelum-Nya dan tidak ada yang kemudian dari-Nya". Kata Dahri, "Masih ada satu pertanyaan lagi pada diriku". Kata Abu Hanifah, "Tanyakan olehmu, insya Allah aku jawab". Katanya, "Apa yang sedang dilakukan Allah sekarang ini ?" Kata Abu Hanifah, "Engkau itu orang yang berbuat terbalik. Seharusnya orang yang menjawab itu diatas mimbar dan orang yang bertanya itu di bawah mimbar. Bila engkau turun dan aku naik maka akan kujawab pertanyaanmu itu". Maka turun ia dan naiklah Abu Hanifah ke mimbar. Ketika ia sudah duduk di mimbar bertanyalah Dahri dan Abu Hanifah menjawab pertanyaannya dengan mengatakan, "Perbuatan Allah saat ini adalah Dia menjatuhkan yang batil seperti dirimu dari atas ke bawah dan menaikkan Dia yang benar seperti naiknya aku dari bawah ke atas". Pergilah Dahri itu pada akhirnya dengan putus sekalian hujjahnya.<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="color: orange;"><span style="font-size: large;">اِنَّ في خَلْقِ السَّموَاتِ وَالاَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لايَاتٍ لأُولى الاَلْبَابِ</span></div>Artinya : “Di dalam kejadian langit dan bumi serta pergantian malam dengan siang, sesungguhnya sekaliannya itu menjadi petunjuk atas adanya Allah yang menjadikan sekalian yang demikian itu untuk orang yang mempunyai akal pikiran”.<br />
Dinukil dari ibarat Suhaimi dengan artinya : “Adapun makrifatullah dan makrifaturrasul terhenti atas pengetahuan tentang tiga perkara yang tersimpan di dalam hukum akli yaitu wajib, mustahil dan jaiz “. Oleh karena itu wajib diketahui tiga perkara ini didahulukan atas sebutan 20 sifat dan ditambahkan pula keterangan tentang hukum syar’i dan hukum ‘adi supaya dapat dibedakan satu dengan yang lain.</div><div style="text-align: justify;"><br />
B. HUKUM<br />
Pengertian hukum adalah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اِثْبَاتُ اَمْرٍ اِلى اخَرَ اِيْجَابًا اَوْسَلَبًا</span></div>Artinya : “Menetapkan suatu perkara kepada perkara yang lain ada ataupun tidak ada”.<br />
Contoh dari hukum ini adalah menetapkan apakah sembahyang itu wajib atau tidak, makanan itu halal atau haram, urusan itu benar atau salah dan lain sebagainya.<br />
Hukum yang wajib diketahui oleh mukallaf supaya dapat memahami ilmu tauhid dengan benar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu hukum aqli, hukum syar’i dan hukum ‘adi.<br />
<br />
1. Hukum Aqli (Hukum Akal)<br />
Hukum akal yang sempurna merupakan cahaya yang diletakkan di hati orang mukmin yang dengan cahaya itu dapat diketahui ilmu dhoruri (yang tidak membutuhkan banyak berpikir) seperti dikatakan sebuah benda selalu berada dalam salah satu keadaan antara bergerak dan diam, dan ilmu nazhori (yang membutuhkan pemikiran lebih dalam) seperti harus bagi Allah memasukkan orang yang berbuat taat kedalam neraka.<br />
Arti hukum akal adalah menetapkan suatu perkara atas suatu perkara atau menafikannya yang mana penetapan itu tidak disebabkan karena berulang-ulang atau karena ada yang menetapkannya tetapi disandarkan penerimaan akal atau pemikiran manusia.<br />
<br />
Hukum akal terdiri atas tiga perkara, yaitu :<br />
a. Wajib artinya perkara yang tidak diterima akal kalau tidak ada (mesti ada) atau tidak diterima akal kalau tidak seperti itu. Misalnya setiap benda wajib dalam salah satu keadaan bergerak atau diam.<br />
b. Mustahil artinya perkara yang tidak diterima akal kalau ada (mesti tidak ada) atau tidak diterima akal kalau seperti itu. Misalnya dikatakan ada benda yang tidak bergerak dan tidak diam.<br />
c. Jaiz (harus) artinya perkara yang dapat diterima akal baik ada atau tidak ada. Misalnya saya sekarang sedang menulis atau sedang membaca.<br />
2. Hukum Syar’i (Hukum Syara’)<br />
Hukum Syara’ adalah ketetapan Allah atas perbuatan mukallaf. <br />
Karena penetapan pembebanan perintah ini untuk mukallaf maka dikatakan juga khitob taklif. Karena dalam penetapan perintah ini ditentukan syarat, sebab dan mani’ maka disebut juga khitob wadh’i. <br />
Hukum syar’i ditetapkan oleh Allah dan terbagi atas dua makna ini dan tujuh perkara, yaitu : <br />
a. Wajib artinya setiap perkara yang diperintahkan Allah mengerjakannya yang mendapat pahala jika dikerjakan dan mendapat dosa jika ditinggalkan, misalnya sembahyang lima waktu, puasa Ramadhan dan lainnya.<br />
b. Sunat artinya setiap perkara yang baik dikerjakan dimana bila dikerjakan akan mendapatkan pahala tetapi tidak mendapat dosa jika ditinggalkan, misalnya mengucapkan salam, memakai wangi-wangian, senantiasa dalam keadaan wudhu dan lainnya.<br />
c. Haram artinya setiap perkara yang dilarang Allah mengerjakannya dimana bila dikerjakan akan mendapat dosa dan mendapatkan pahala jika ditinggalkan, misalnya berzina, mencuri, durhaka pada kedua orangtua, mengumpat dan lainnya.<br />
d. Makruh artinya perkara yang baik ditinggalkan dimana jika dikerjakan tidak mendapat dosa akan tetapi mendapat pahala jika ditinggalkan, seperti bernyanyi sambil buang air, merokok, memakan makanan yang berbau dan lainnya.<br />
e. Mubah atau harus atau boleh artinya perkara boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan tanpa mendapat pahala ataupun mendapat dosa, misalnya makan, minum, berjalan-jalan, olahraga dan lainnya.<br />
f. Shohih (sah) artinya perkara yang lengkap seluruh syarat dan rukunnya, misalnya sembahyangnya sah karena syarat dan rukunnya telah ditunaikan secara sempurna.<br />
g. Batal artinya perkara yang kurang syarat atau rukunnya, misalnya sembahyangnya batal karena datangnya sebab-sebab hadats.<br />
<br />
3. Hukum ’Adi (Adat)<br />
Hukum adat adalah menetapkan keterkaitan suatu perkara atas suatu perkara lainnya atau menafikannya karena disebabkan kejadiannya berulang-ulang (sudah biasa) seperti itu dengan sah berbeda dan tidak ada hubungan salah satu dengan yang lainnya. <br />
Hukum ini didasarkan atas kejadian yang sering terjadi seolah-olah salah satu menjadi sebab untuk yang lainnya sehingga karena sudah menjadi kebiasaan maka ditetapkan sebagai hukum misalnya api membakar, makanan mengenyangkan, pisau memotong, anak lahir dengan adanya orangtua atau lainnya. Sebahagian orang ada yang mengistilahkannya dengan sunatullah. Akan tetapi ketetapan ini bisa saja berubah atau disalahi atau diselisihi yaitu adanya peristiwa atau kejadian yang tidak mengikuti ketentuan yang sudah biasa itu. Perkara yang menyalahi adat itu ada yang terpuji misalnya mukjizat, karamah, irhas dan ma'unah. Ada pula yang tercela seperti sihir dan istidraj.<br />
<br />
Hukum adat terbagi atas empat perkara, yaitu :<br />
a. Keterkaitan adanya suatu perkara dengan adanya suatu perkara seperti adanya kenyang dengan adanya makan.<br />
b. Keterkaitan tidak adanya suatu perkara dengan tidak adanya suatu perkara seperti tidak adanya kenyang dengan tidak adanya makan.<br />
c. Keterkaitan adanya suatu perkara dengan tidak adanya sutu perkara seperti adanya dingin dengan tidak adanya baju.<br />
d. Keterkaitan tidak adanya suatu perkara dengan adanya suatu perkara seperti tidak hangus dengan adanya air yang menyiram.<br />
<br />
Dari uraian diatas maka dapat dibedakan antara wajib syara’ dengan wajib akal bahwa arti keduanya berbeda. Bila dikatakan wajib atas tiap-tiap mukallaf maka maksudnya adalah wajib syara’ dan bila dikatakan wajib bagi Allah atau bagi rasul Allah maksudnya wajib akal. Demikian juga bila dikatakan jaiz bagi Allah Ta'ala atau harus bagi Allah maka maksudnya adalah jaiz akal dan bila dikatakan jaiz bagi mukallaf maksudnya adalah jaiz syara’.<br />
Diceritakan bahwa pada suatu hari Imam Syafi’i sedang melakukan perjalanan dengan mengendarai unta. Ditengah perjalanan beliau berpapasan dengan seorang anak muda. Anak muda itu lalu berkata, “Assalaamu ’alaikum ya Syeikh !” Imam Syafi’i menjawab, “Wa ’alaikum salam ya fattah !” Anak muda itu bertanya, “Wahai Syeikh, berapa kaki untamu ?” Imam Syafi’i lalu turun dari untanya, melihat ke bawah dan menghitung kaki untanya lalu menjawab, “Empat”. Demikianlah kaki unta ada empat adalah ’adat yang dapat saja berubah bila Allah menghendaki.<br />
</div><div style="text-align: justify;">C. SIFAT-SIFAT ALLAH<br />
Adapun perkara yang wajib yaitu sifat-sifat yang wajib bagi Allah Jalla wa Azza dengan tafshil (terperinci ) adalah 20 sifat yang telah ada dalil akli dan dalil naqli padanya. Tersebut tiap-tiap satu sifat arti dan dalilnya kemudian apa yang seharusnya dilakukan seorang mukmin yang mengi’tiqadkan bahwa Tuhan bersifat seperti itu. Yaitu merupakan sikap seorang mukmin yang sempurna imannya. <br />
Adapun sebab maka wajib mengenal sifat-sifat ini karena dzat hanya dapat dikenali dengan adanya sifat yang berdiri atau melekat padanya jadi dengan mengenal sifat-sifat ini diharapkan seorang mukmin akan dapat mengenal Dzat Tuhan kita Azza wa Jalla. Seperti juga yang baharu ini dikenal juga dengan adanya sifat yang melekat padanya, misalnya seseorang dikenali dengan sifatnya seperti kulitnya hitam, ramah, tingginya 170 cm atau lainnya. Semakin banyak sifat yang kita ketahui maka akan semakin kita mengenalnya. Tanpa adanya sifat maka dzat tidak akan bisa dikenali. Apabila ada yang bertanya mengapa dibatasi sifat Allah Ta'ala yang wajib dipelajari hanya 20 sifat sedangkan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah tidak pernah menyebutkan hal itu maka katakan bahwa peringkasan atas 20 sifat saja merupakan ijtihad dari para ulama dengan memahamkan apa yang ada dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW kemudian tidak dibatasi sifat Allah hanya 20 akan tetapi mengenal yang 20 ini dengan sekalian dalil naqli dan aqli mencukupi untuk mengenali Dzat Tuhan kita dengan pengenalan yang paling ringkas tetapi sempurna sedangkan sifat yang lain dikenali secara ringkas seperti akan disebutkan nantinya.<br />
Seperti itu pula ijtihad ulama dalam menyatakan bahwa rukun sembahyang ada 13 perkara walaupun Nabi SAW tidak pernah menyebutkan seperti itu, tetapi dipahamkan dari perbuatan dan penjelasan Nabi lalu disimpulkanlah dalam ijtihad ulama tentang hal itu. Perkara ini sedikit penulis uraikan karena pada masa ini banyak orang yang kurang akalnya dan kurang takutnya pada Allah lalu ia mulai menggugat ijtihad para ulama-ulama Islam yang dahulu-dahulu seolah-olah mereka menjelaskan hukum hanya berdasarkan hawa nafsu bukan berdasarkan pemahaman Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW. Akibatnya banyak orang awam terkena fitnah mereka dan mulai meninggalkan ijtihad para ulama dan memahamkan sendiri Al-Qur'an dan Hadits menurut hawa nafsunya. Ketahuilah para ulama-ulama pendahulu kita lebih memahami dan lebih takut pada Allah Ta'ala. Wallahu muwafiq.<br />
<br />
Diceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hambal rhm. bila pulang kerumahnya selalu menceritakan pada anak-anaknya tentang bagaimana beliau mengagumi kecerdasan dan ke’aliman gurunya Imam Syafi’i, diantara anaknya ada seorang anak perempuannya yang begitu penasaran dengan setiap penuturan ayahnya tentang pujiannya pada gurunya itu dan ia sangat ingin melihat sendiri bagaimana hal dari Imam Syafi’i itu. Pada suatu hari Imam Ahmad mengajak Imam Syafi’i untuk menginap di rumahnya selama satu malam. Oleh anak perempuan Imam Ahmad hal ini merupakan kesempatan untuk memperhatikan secara langsung tentang Imam Syafi’i yang diceritakan oleh ayahnya itu sehingga setiap apa yang dikerjakan oleh Imam Syafi’i di rumahnya pada malam itu tidak luput dari perhatiannya. Demikianlah Imam Syafi’i malam itu menginap di rumah Imam Ahmad dan keesokan harinya beliau pulang. Setelah Imam Syafi’i pulang, anak Imam Ahmad ini bercerita kepada ayahnya, “Wahai ayah, engkau selalu bercerita tentang kekaguman engkau akan gurumu tetapi tadi malam aku memperhatikan ada tiga hal yang menurut ananda tidak cocok untuk seorang ’alim”. Mendengar itu Imam Ahmad terkejut dan bertanya, “Apa itu hai anakku ?” Jawab anaknya, “Pertama aku melihat saat makan malam beliau makan cukup banyak yang tidak layak kiranya untuk orang ‘alim; kedua, setelah masuk kamar aku memperhatikan bahwa beliau tidak keluar pada malam hari untuk sembahyang tahajud padahal itu adalah kebiasaan untuk orang ‘alim; dan ketiga, saat sembahyang shubuh aku tidak melihatnya berwudhu, tetapi langsung menjadi Imam Shubuh”. Mendengar perkataan anaknya Imam Ahmad menjadi sedih dan ingin segera bertemu dengan gurunya dan menanyakan hal itu secara langsung agar bisa menjelaskan hal itu pada anaknya. Pergilah Imam Ahmad menemui gurunya dan menanyakan hal itu. Mendengar perkataan Imam Ahmad, Imam Syafi’I tersenyum dan berkata, “Wahai Ahmad, benar perkataan anakmu itu. Adapun aku malam itu makan dirumahmu cukup banyak yang tidak selayaknya untuk orang ‘alim adalah karena untuk menyenangkan engkau karena aku tahu engkau sangat senang kalau hidanganmu kumakan dan aku yakin bahwa apa yang engkau berikan adalah dari jalan yang halal sedangkan makanan yang halal akan menjadi obat dari penyakit dan dapat membukakan hati. Setelah aku ke kamar untuk tidur kudapati mataku tidak mau terpejam dan tidak merasa mengantuk dan terbuka hatiku sehingga pada malam itu terbuka bagiku tujuh puluh masalah fikih yang mana hal itu menyibukkanku sepanjang malam tanpa tidur sama sekali sehingga aku tidak keluar untuk sembahyang tahajud karena sembahyang tahajud syaratnya adalah tidur sehabis Isya. Adapun Shubuh itu aku tidak berwudhu karena sepanjang malam itu wudhu’ku tetap terjaga akibat tidak kedatangan hadats dan tidak tidur. Demikianlah Ahmad, katakanlah pada anakmu itu”. Mendengar hal itu senanglah hati Imam Ahmad dan iapun segera pulang untuk menceritakan hal itu pada anaknya.<br />
Selain sifat yang 20 maka sifat-sifat Allah Jalla wa Azza tidak dibatasi banyaknya maka wajib atas tiap-tiap mukallaf mengetahuinya secara ijmali saja di dalam perkataan مُتَّصِفٌ بكُلِّ كَمَالٍ (bersifat Allah dengan sifat-sifat yang sempurna). Dengan kalimat ini nyata bahwa sifat Allah tidak hanya 20 sifat karena setiap namaAllah yang ada pada Asmaul Husna menunjukkan pula sifat dari Dzat Tuhan kita Azza wa Jalla. Sifat yang mustahil pada Tuhan Jalla wa Azza dengan tafshil adalah 20 sifat lawan dari 20 sifat yang wajib. Sifat yang mustahil pada Allah Jalla wa Azza dengan ijmali yaitu di dalam perkataan :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">مُنَزَّهٌ عَنْ كُلِّ نَقْصٍ وَمَا خَطَرَ بالبَالِ </span></div>Artinya : "Maha suci Tuhan dari sifat-sifat kekurangan dan Maha suci dari perkara yang terlintas di dalam hati".<br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun 20 sifat yang wajib bagi Allah adalah :<br />
1. Wujud (وُجُوْدُ ) artinya ada mustahil tiada. <br />
Dalilnya firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَللّهُُ الَّذِى خَلَقَ السَّموَاتِ والاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا</span></div>Artinya : “Allah yang menjadikan langit, bumi dan yang ada diantara keduanya”. (As-Sajdah 32:4)<br />
Dalil aqlinya :<br />
<div style="color: orange;"><span style="font-size: large;">وُجُوْدُ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ</span></div>Artinya : “Adanya sekalian makhluk”<br />
Makhluk (yang dijadikan) ini disebut juga dengan alam yang berasal dari alamat artinya tanda yaitu tanda adanya Allah. Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat wujud hendaklah selalu mengingat Allah Ta'ala pada setiap yang wujud di alam karena Allah yang menjadikan sekaliannya. Hal ini dapat diibaratkan dengan seseorang yang memberi kita sesuatu hadiah, maka tiap-tiap kita melihat hadiah itu maka kita akan selalu ingat pula pada orang yang telah memberi hadiah itu. Oleh karena itu dengan melihat setiap sesuatu di alam maka seorang mukmin yang yakin adanya Allah tentu akan ingat pula pada Allah yang menjadikannya. <br />
Diceritakan saat Uni Soviet dahulu ingin memasukkan paham atheisnya pada anak-anak Islam hal ini dilakukan melalui guru-guru yang mengajar disekolah. Diantara guru itu berkata pada muridnya, "Anak-anak ! Apakah kalian melihat papan tulis ?" Murid menjawab, "Melihat !" Kata guru, "Berarti papan tulis itu ada karena dapat dilihat. Apakah kalian melihat saya ?" Jawab murid, "Melihat !" Kata guru, "Berarti saya ada karena dapat dilihat". Katanya lagi, "Apakah kalian melihat Tuhan ?" Jawab murid, "Tidak !" Kata guru, "Berarti Tuhan tidak ada karena tidak dapat dilihat". Lalu ada seorang muridnya yang cerdas berkata, "Wahai kawan-kawan! Apakah kalian melihat akal pak guru ?" Jawab yang lain, "Tidak !" Lalu kata murid tadi, "Berarti guru kita tidak punya akal karena akalnya tidak dapat dilihat". Wallahu muwaffiq.</div><div style="text-align: justify;"><br />
2. Qidam ( قِدَمٌ ) artinya sedia mustahil baharu.<br />
Maksudnya wujud Allah Ta'ala atau ada Allah itu tanpa didahului atau diawali dengan tiada atau memang dari awalnya sudah ada mustahil baharu yaitu ada Allah didahului oleh tiada atau mengalami tidak ada sebelum ada Allah. <br />
Dalilnya Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">هُوَالاَوَّلُ وَالاخِرُ</span></div>Artinya : “Allah Ta'ala yang Awal dan Dia juga yang Akhir”. (Al-Hadiid 57:3)<br />
Dalil aqlinya yaitu :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّهُ لَوْكَانَ حَادِثً لاحْتَاجَ الى مُحْدِثٍ وَهُوَ مُحَالٌ</span></div>Artinya : “Apabila Allah baharu maka berarti Ia akan butuh yang membaharukan-Nya maka hal itu mus-tahil”<br />
Apabila pencipta butuh pada yang menciptakannya maka akan ada dua kemungkinan, yaitu pencipta I dijadikan pencipta II, pencipta II dijadikan pula oleh pencipta III demikian terus (disebut tasalsul), maka hal itu mustahil karena tidak akan ada habisnya ataupun pencipta I dijadikan pencipta II dan pencipta II pula dijadikan pencipta I (disebut daur) maka akan berkumpul dua sifat yang berlawanan yaitu qidam dan baharu pada setiap Tuhan maka hal itu mustahil pula.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat qidam hendaklah banyak bersyukur pada Allah Ta'ala yang menjadikannya mukmin dan muslim dengan taufik-Nya karena Iman dan Islam yang ada di hati kita itu sifatnya baharu seperti diri kita. Allah SWT banyak menjadikan makhluk-Nya yang bernama manusia, tetapi seperti yang kita lihat hanya sebagian kecil diantaranya yang beriman dan beragama Islam, maka kita harus mensyukuri hal itu karena untuk menetapkan nikmat itu tidak ada jalan selain mensyukurinya. <br />
Dikisahkan bahwa saat seorang ulama menceritakan tentang orang terakhir masuk kesyurga dan apa yang didapatkannya serta namanya adalah maka banyak yang mendengar cerita itu tertawa karena merasa bahwa kisah itu menggelikan akan tetapi Syeikh Hasan Bashri menangis tersedu-sedu. Lalu teman-teman-nya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau menangis padahal yang lain tertawa ?” Jawabnya, “Alangkah beruntungnya orang itu seandainya akulah dirinya !” Tanya mereka, “Mengapa begitu bukankah ia masuk syurga paling akhir ?” Jawabnya, “Karena ia masih masuk ke syurga sedangkan diriku aku tidak tahu apakah akan bisa masuk kesyurga”.<br />
</div><div style="text-align: justify;">3. Baqo’ ( بَقَاءُ ) artinya kekal mustahil fana (binasa).<br />
Allah bersifat kekal artinya adanya Allah tidak akan diakhiri dengan mati ataupun lenyap (hilang), tidak mengalami perubahan seperti muda, lalu tua karena Allah yang dahulu, sekarang ataupun nanti tetap tidak berubah.<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَيَبْقَى وَجْهُ رَبّكَ ذُوالجَلاَلِ وَالإِ كْرَامِ</span></div>Artinya : “Kekal dzat Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan”. (Ar-Rahman 55:27)<br />
Dalil aqlinya, yaitu :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّهُ لَوْكَانَ فَانِيًالَكَانَ حَادِثًا وَهُوَمُحََالٌ</span></div>Artinya : “Kalau Allah fana maka berarti Dia baharu, maka hal itu mustahil”.<br />
Jika Allah dapat fana, maka keberadaan Allah saat ini adalah harus bukan wajib, maka tentu Dia butuh pada Dzat yang dapat menetapkan keberadaan Allah maka hal itu mustahil.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat baqo’ sementara dirinya bersifat fana hendaklah menyadari bahwa suatu saat ia akan mati sehingga banyak beristighfar dan bertaubat pada Allah karena kematian itu dapat datang pada dirinya tanpa diketahui waktunya. Firman Allah ta’ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُوْنَ</span></div>Artinya : “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengun-durkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.<br />
Hingga bila waktu itu tiba maka kita mati dalam keadaan tidak membawa dosa.<br />
<br />
Dikisahkan dua orang Bani Israil yang bersaudara dimana salah seorang dari mereka ahli ibadah yang sudah 40 tahun berkhalwat untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Adapun saudaranya selama 40 tahun menghabiskan waktunya dalam berbuat maksiat menurutkan hawa nafsu. Pada suatu hari ahli maksiat itu terbangun dari tidurnya dan didapatinya dirinya berada di dalam parit dan celana bau kencing dimana tanpa disadarinya dirinya tadi malam dalam keadaan mabuk maka semua itu terjadi. Dalam dirinya timbul rasa malu dan ia berpikir bagaimana keadaannya nanti bila dia mati dalam keadaan itu tentu amat sangat memalukan dan masuk keneraka tidak seperti saudaranya yang ahli ibadah yang akan menjadi ahli surga. Akhirnya dia menyesal dan bertaubat kepada Allah dan iapun naik ketempat saudara berkhalwat diatas bukit untuk ikut bersamanya beribadah. Adapun saudaranya yang ahli ibadah maka bertemu dengan setan dan berkata setan itu, “Alangkah bodohnya, engkau lelah beribadah selama 40 tahun dan masih tinggal lagi umurmu 40 tahun kenapa tidak engkau ikut akan saudaramu”. Mendengar perkataan setan itu berkata ahli ibadah itu dalam hatinya, “Masih tinggal umurku 40 tahun kalaulah aku ikut saudaraku selama 20 tahun dan nanti disisa umurku yang 20 tahun dapat aku kembali bertaubat dan beribadah kepada Allah”. Turunlah ia dari atas bukit sementara saudaranya naik ketempatnya. Saat sedang turun ia tergelincir dan jatuh menimpa saudaranya, lalu keduanya mati maka masuklah ahli maksiat tadi kesurga karena diterima Allah taubatnya sedang ahli ibadah tadi dimasukkan keneraka karena niatnya untuk bermaksiat kepada Allah. Wallahu muwafiq.<br />
Dikisahkan ada seorang pemuda datang kepada Ibrahim bin Adham rhm. Ia berkata, ”Ya Aba Ishaq ! Aku adalah seorang yang suka bertaubat tetapi tidak sanggup menahan diriku untuk kembali kepada dosa. Berilah aku pengajaran semoga dapat menjadi jalan untukku menjaga diriku !” Kata Ibrahim, “Kalau engkau tetap ingin terus berbuat maksiat maka kerjakan saja olehmu tetapi engkau harus memenuhi syaratnya”. Kata pemuda itu dengan heran, “Wahai syeikh, bagaimana bisa begitu dan apa syarat yang harus kupenuhi ?” Kata Ibrahim, “Adapun syaratnya itu ada lima. Pertama kalau engkau ingin bermaksiat pada Allah, maka jangan engkau makan dari rezeki-Nya”. Kata pemuda itu, “Ya Syeikh, bagaimana dapat aku makan tidak dari rezeki-Nya sedangkan setiap yang ada diatas bumi dan dibawah langit makan dari rezeki-Nya”. Kata Ibrahim, “Seburuk-buruk hamba itu engkau. Engkau makan rezeki-Nya tapi bermaksiat kepada-Nya”. Kata pemuda itu, “Wahai Syeikh, apa syarat ke-dua ?” Kata Ibrahim, “Yang ke-dua, kalau engkau bermaksiat maka bermaksiatlah tapi jangan diatas bumi-Nya dan dibawah langit-Nya”. Kata pemuda itu, “Wahai Syeikh, bagaimana dapat kulakukan hal itu, sedangkan selain diatas bumi-Nya dan dibawah langit-Nya tidak ada tempat untuk didatangi”. Kata Ibrahim, “Seburuk-buruk hamba itu engkau, engkau bermaksiat dengan memakan rezeki-Nya dan ditempat milik-Nya”. Tanya pemuda itu, “Apa syarat ke-tiga, ya Syeikh ?” Jawab Ibrahim, “Kalau engkau bermaksiat, carilah tempat dimana Ia tidak dapat melihatnya !” Kata pemuda itu lagi, “Wahai Syeikh, bagaimana dapat kulakukan hal itu, sedangkan Dia Maha Melihat. Tidak ada suatu kejadian diatas bumi dan dibawah langit ini kecuali Dia melihatnya”. Kata Ibrahim, “Seburuk-buruk hamba itu engkau. Engkau makan rezeki-Nya, tinggal ditempat-Nya dan durhaka di hadapan-Nya”. Pemuda itu bertanya lagi sambil menangis, “Wahai Syeikh, apa pula syarat ke-empat ?” Kata Ibrahim, “Nanti saat Malaikat maut datang padamu untuk mencabut nyawa, katakan padanya, “Wahai Malaikat maut, tunggulah sebentar agar aku bertaubat dahulu dari segala maksiatku lalu engkau cabut nyawaku !” Kata pemuda itu, “Wahai Syeikh, bagaimana hal itu dapat kulakukan sedangkan ajal itu bila telah sampai maka tidak dapat dimajukan dan dimundurkan walaupun sesaat. Wahai Syeikh apa syarat ke-lima”. Kata Ibrahim, “Syarat kelima adalah engkau sudah mengetahui dimana tempatmu nanti di syurga ataukah di neraka. Kalau engkau sudah tercatat sebagai penghuni syurga maka bermaksiatlah sesukamu karena tidak akan memberi bekas maksiatmu akan ketentuan Allah. Jika tempatmu nanti di neraka, maka bermaksiatlah sesukamu, karena ketaatanmu tidak akan mampu mengeluarkan engkau dari neraka”. Kata pemuda itu, “Wahai Syeikh, bagaimana dapat kuketahui hal itu sedangkan itu adalah hal yang ghaib bagiku. Wahai Syeikh, cukuplah sudah pengajaranmu ini, sungguh akan kuingat selalu dalam hidupku sebagai pengajaran yang sangat berharga, berharap aku taufik Allah atasku hingga dapat kuatasi nafsuku”.<br />
</div><div style="text-align: justify;">4. Mukholafatuhu lil hawadits ( مُخَالَفَةُ لِلْحَوَادِثِ ) artinya berbeda dengan yang baharu mustahil sama atau seumpama dengan yang baharu. <br />
Firman Allah Ta'ala : <br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْءٌ وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ</span></div>Artinya : “Dia tidak seumpama dengan sesuatu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat”. (Asy-Syuuro 42:11)<br />
<br />
Dalil aqlinya yaitu :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّهُ لَوْكَانَ مُمَاثَلاًلِلْحَوَادِثِ لَكَانَ حَادِثًا وَهُوَمُحَالٌ</span></div>Artinya : “Apabila Dia sama seperti yang baharu berarti Dia baharu, maka hal itu mustahil”.<br />
Allah adalah Dzat yang Qodim seperti telah disebutkan sebelumnya, bila Dia sama seperti yang baharu maka Dia akan bersifat dengan sifat yang baharu berarti ternafi sifat Qodim, maka perkara itu mustahil karena dua yang berlawanan tidak akan mungkin (mustahil) berkumpul pada Dzat yang satu. Oleh karena itu Dzat Allah berbeda dengan dzat yang baharu, sifat-sifat yang ada pada Allah juga berbeda dengan sifat-sifat yang ada pada yang baharu seperti Ada-Nya, Hidup-Nya, Mendengar-Nya, Melihat-Nya, Perbuatan-Nya, Perkataan-Nya dan semua sifat yang lain berbeda dengan yang baharu walaupun nantinya ada kesamaan nama dengan yang baharu.<br />
<br />
Kesimpulannya dengan dikatakan Allah berbeda dengan yang baharu :<br />
a. Mustahil Allah Ta'ala benda atau berjirim (berjasad) seperti batu, kayu atau lainnya. Arti berjirim adalah Dzat Allah mengambil ruang (memiliki volume).<br />
b. Mustahil Allah Ta'ala a’radh (sifat) yang melekat pada jirim. A’radh artinya tiap-tiap sifat yang baharu seperti warna, rasa, gerak atau diam, berkumpul atau berpisah dan lainnya. Setiap yang dapat di indera dengan indera yang lima adalah a'rodh. A’radh merupakan bagian dari alam karena alam terdiri atas jirim dan a’rodh sedangkan alam ini baharu.<br />
c. Mustahil Allah Ta'ala bertempat jirim seperti diatas, dibawah, dikanan, dikiri, didepan ataupun dibelakang seperti diatas Arasy, dibawahnya, dikanannya dan lainnya.<br />
d. Mustahil Allah Ta'ala memiliki arah karena arah merupakan sifat anggota yang baharu, seperti atas sifat anggota kepala, bawah sifat anggota kaki atau lainnya, maka tidak ada pada sisi Allah naik atau turun ke langit, berjalan atau berlari. Adapun apa yang ada pada hadits maka perlu dipahami dengan menyerahkan hakikat maknanya pada Allah Ta'ala atau mentakwilkan dengan apa yang pantas untuk Allah.<br />
e. Mustahil Allah Ta'ala dibatasi oleh tempat atau waktu seperti pada Arasy atau lainnya atau berlaku pada Allah siang dan malam karena tempat dan waktu adalah makhluk yang dijadikan Allah.<br />
f. Mustahil sifat-sifat Allah sama seperti sifat yang ada pada yang baharu seperti bersifat dengan Kudrat seperti Kudrat yang baharu, bersifat dengan Iradat yang sama dengan Iradat yang baharu dan lainnya. Kalaupun ada kesamaan nama hal itu tidak mengapa tetapi pada hakikatnya tidaklah sama.<br />
g. Mustahil Allah Ta'ala bersifat dengan besar atau kecil adapun yang dimaksud pada Qur’an seperti اَللَّهُ الْكَبيْرُالْمُتَعَالُ (artinya : “Allah Ta'ala yang Maha Besar serta Maha Tinggi”) maksud dari besar adalah pada ketuhanan dan derajat sebagaimana seorang yang mempunyai kedudukan dan kemuliaan dapat dikatakan juga sebagai orang besar walau secara fisik tubuhnya mungkin kecil dibanding orang lain.<br />
h. Mustahil Allah Ta'ala berkeinginan untuk mengambil manfaat/faedah dalam perbuatan dan hukum Allah, karena hal itu menunjukkan kelemahan dan kekurangan seperti menyuruh beribadah karena berkeinginan supaya sempurna atau melarang sesuatu karena takut ada yang mudharat akan terjadi pada Allah. Semua itu mustahil karena Allah Maha Kaya atas sekalian makhluk.<br />
i. Mustahil Allah dekat atau jauh dengan jirim. Adapun apa yang dikatakan pada firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ </span></div>Artinya : “Sesungguhnya Kamilah yang menjadikan manusia dan Kami mengetahui sekalian yang dibisikkannya dalam hatinya dan Kami dekat padanya lebih dekat urat dari lehernya”. (Qoof 50:16)<br />
Maksudnya Sama', Bashor dan Ilmu Allah meliputi dirimu dan kejadianmu itu menurut ketentuan Allah ta'ala tanpa ada selisih sedikitpun dari ketentuan-Nya jadi Allah Ta'ala itu lebih mengetahui tentang dirimu lebih dari pengetahuanmu tentang dirimu sendiri dan Allah Ta'ala mengawasimu dimanapun engkau berada jadi jauhkanlah dirimu dari maksiat.<br />
j. Mustahil Allah Ta'ala seperti apa yang dipikirkan seseorang atau yang terlintas didalam hati karena yang didalam hati itu semula tidak ada, lalu ada dan kemudian tidak ada lagi yang mana merupakan sifat yang baharu berarti yang dihati itupun baharu. <br />
Bila ditanyakan kalau seperti itu maka bagaimana cara kita beriman kepada Allah? Jawabnya : “I’tikadkan dan renungkan dalam hati bahwa Dzat Allah itu ada dengan sifat-sifat Allah seperti apa yang diterangkan dalam ilmu ‘Aqoid bahwa semua itu tidak sama dengan sesuatu disertai banyak berzikir (Laa ilaaha illallaah) dan berdoa pada Allah memohon dimudahkan memahami dan dijauhkan dari was-was syetan. Insya Allah nanti akan timbul perasaan dan keyakinan yang teguh dalam diri kita bahwa Allah ada lengkap dengan sifat-sifat Allah yang wajib bagi Allah. Itulah iman yang sebenarnya (hakikat iman). Untuk mengenal ataupun mengetahui Dzat Allah bukan dengan panca indra kita tetapi dengan hati atau akal kita yang ditunjuki oleh Allah. <br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat mukholafatuhu lil hawadits hendaklah banyak bertasbih memaha-sucikan Allah dari yang selain Allah, bila timbul khatir (suara hati) yang membisik-bisikkan tentang Allah apa yang tidak sesuai dengan sifat ini maka mahasucikan Dia dari hal itu karena bisikan-bisikan itu dari setan yang ingin menjerumuskan manusia dalam kesesatan. <br />
Firman Allah ta’ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">إِنمَّـَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُوْنَ</span></div>Artinya : “Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.<br />
</div><div style="text-align: justify;">5. Qiyamuhu ta'ala binafsihi ( قِيَامُهُ تَعَالى بنَفْسِهِ ) artinya berdiri Allah Ta'ala dengan sendirinya, mustahil tidak berdiri dengan sendirinya.<br />
Maksudnya Allah Ta'ala tidak membutuhkan tempat bersandar/berdiri seperti sifat karena Allah Ta'ala bukan sifat dan tidak membutuhkan pada yang membuat atau menjadikan Allah karena Allah Ta'ala Qodiim.<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ</span></div>Artinya : “Allah Ta'ala yang kaya dari sekalian alam”.<br />
Demikian juga firman Allah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَللَّهُ لااِلهَ اِلاَّهُوَالْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَتَأْخُذُه سِنَةٌ وَّلاَ نَوْمٌ</span></div>Artinya : “Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Hidup, yang Berdiri Sendiri, tidak menimpa Allah mengantuk dan tidak pula tidur”. (Al-Baqarah 2:255)<br />
Dalil aqlinya yaitu :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّه لَوِحْتَاجَ اِلى مَحَلٍّ لَكَانَ صِفَةً وَكَوْنُه صِفَةً مُحَالٌ وَلَوِاحْتَاجَ اِلى مُخَصِّصٍ لَكَانَ حَادِثًا وَكَوْنُه حَادِثًا مُحَالٌ</span></div>Artinya : “Apabila Allah Ta'ala membutuhkan tempat berdiri maka berarti Dia adalah sifat (bukan Dzat) dan Dia merupakan sifat mustahil dan bila Dia membutuhkan pada yang menjadikan maka berarti Dia baharu maka hal itupun mustahil”.<br />
<br />
Dikatakan tidak membutuhkan tempat berdiri karena Allah bukan sifat karena yang membutuhkan tempat berdiri adalah sifat, seperti hitam yang terdapat pada peci, manis yang ada pada gula, asin pada air laut. Setiap sifat melekat pada dzat, karena sifat itu merupakan ciri dari dzat yang mana dzat dikenal dan diketahui adanya adalah dengan adanya sifat itu sedang dzat tidak membutuhkan tempat berdiri. Allah Ta'ala adalah Dzat maka Allah tidak membutuhkan tempat berdiri. Demikian pula bila Allah Ta'ala membutuhkan pada yang menjadikan maka Allah Ta'ala akan sama seperti kita yang baharu, maka seperti yang terdahulu hal itu mustahil.<br />
<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat qiyamuhu Allah binafsihi hendaklah selalu menyampaikan hajat atau keinginannya dan kebutuhannya hanya pada Allah Ta'ala saja karena Dia yang Kaya pada hakikatnya jadi kalau kita meminta maka mintalah kepada Allah, sedangkan makhluk itu semuanya hakikatnya adalah faqir atau masih membutuhkan maka bila kita minta kebutuhan kita pada yang faqir bagaimana hajat dan keinginan kita dapat terpenuhi dengan sempurna. Kalaupun kita meminta sesuatu pada seseorang, maka mohonlah terlebih dahulu kepada Allah Ta'ala karena jalan Allah Ta'ala memberi itu terkadang dengan sebab orang lain itu dan terkadang dengan sebab yang tidak kita sangka ataupun tanpa melalui suatu sebab atau perantara. Firman Allah ta’ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">إِنَّ الله لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَشْكُرُوْنَ</span></div>Artinya : “Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”.<br />
</div><div style="text-align: justify;">6. Wahdaniat ( وَحْدَانِيَةِ ) artinya Esa yaitu esa dzat, sifat dan perbuatan Allah mustahil Allah Ta'ala berbilang pada dzat, sifat atau perbuatan Allah.<br />
Maksud Allah Ta'ala Esa pada Dzat Allah adalah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّهُ لَيْسَتْ مُرَكَّبَهً مِنْ اَجْزَآءٍ مُتَعَدِّدَةٍ</span></div>Artinya : “Bahwasanya Dzat Allah itu tidak ganda dan tidak tersusun atas bagian-bagian”. <br />
Maksud Allah Ta'ala Esa pada Sifat Allah adalah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّه لَيْسَ لَه صِفَتَانِ فَاَكْثَرُمِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ كَقُدْرَتَيْنِ وَهكَذَاوَلَيْسَ لِغَيْرِه صِفَةٌ تُشَابهُ صِفَتَه تَعَالى</span></div>Artinya : “Sifat Allah tidak ganda yang sejenis seperti memiliki dua Kudrat dan tidak ada yang selain Allah yang memiliki sifat yang sama seperti sifat Allah Ta'ala”.<br />
Maksud Allah Ta'ala Esa pada perbuatan Allah adalah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّه لَيْسَ لِغَيْرِه فِعْلٌ مِنَ الاَفْعَالِ</span></div>Artinya : “Tidak ada selain Allah yang berbuat seperti perbuatan Allah.<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">قُلْ هُوَاللَّهُ اَحَدٌ</span></div>Artinya : “Katakanlah ya Muhammad ! Allah itu Esa”.<br />
Dalil aqlinya yaitu :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّه لَوْكَانَ مُتَعَدِّدًالَمْ يُوْجَدْشَيْءٌ مِنْ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ</span></div>Artinya : “Bahwasanya apabila Dia berbilang maka tidak akan wujud sesuatu dari sekalian makhluk ini”.<br />
Hal ini disebabkan bahwa bila ada beberapa orang ingin membuat satu benda yang sama maka tidak akan terjadi benda itu, bila salah satu dapat didahului oleh yang lain maka menunjukkan lemah dan membuat sesuatu yang sudah dibuat yang lain menunjukkan melakukan perbuatan yang sia-sia berarti jahil. Bila ada yang mengatakan bahwa sepakat keduanya bila ingin membuat perkara yang satu, maka menunjukkan terpaksa dalam berbuat karena harus mufakat dengan apa yang diinginkan taulannya maka hal itu menunjukkan lemah, karena kehendaknya tergantung pada kehendak taulannya. Kalau salah satu memiliki kehendak yang berbeda maka tidak akan wujud alam semesta. Wujudnya alam semesta dengan segala keteraturannya menunjukkan adanya kehendak yang satu dalam penciptaan yang berasal dari Dzat yang satu pula yaitu Allah Ta'ala.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat wahdaniat hendaklah selalu merasa melihat Allah di dalam tiap-tiap kejadian yang dilihatnya karena setiap yang terjadi semuanya berasal dari Allah seperti apa yang difirmankan Allah dalan Al-Qur’an :<br />
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللّهِ<br />
Artinya : “Katakanlah (ya Muhammad) : Tiap-tiap sesuatu (berasal) dari sisi Allah”. (An-Nisa' 4:78)<br />
Dan juga firman Allah :<br />
وَاللّهُ خَلَقَ كُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ<br />
Artinya : “Allah-lah yang menjadikanmu dan apa-apa yang kamu perbuat”. (Ash-Shoffaat 37:96)<br />
Jadi setiap perbuatan kitapun pada hakikatnya adalah perbuatan Allah. Adapun yang dibebankan kepada kita berupa syara’, maka semua itu disandarkan pada niat. Bila kita ingin bergerak maka kita digerakkan, bila ingin memegang maka tangan kita digerakkan untuk memegang demikianlah maka pahala dan dosa disandarkan pada hati yang ruhani sebagaimana pahala dan dosa juga bersifat ruhani. Adapun perbuatan kita merupakan tanda lahiriah dari yang ada didalam hati. Sering terjadi sesuatu pada diri kita yang tidak kehendaki seperti sakit, jatuh, tua, lupa dan lainnya. <br />
Kemudian lawan dari Wahdaniat adalah ta’addud (berbilang) seperti apa yang telah disebut Syeikh Sanusi yaitu :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَكَذَا يَسْتَهِيْلُ عَلَيْهِ تَعَالى أَنْ لايَكُونَ وَحِدًا باَنْ يَكُوْنَ مُرَكَّبًافي ذَاتِهِ أَوْ صِفَاتِهِ أَوْ يَكُوْنَ مَعَهُ في الْوُجُوْدِ مُؤَثِّرٌ في فِعْلٍ مِنَ اْلأَفْعَالِ</span></div>Artinya : “Dan seperti itu pula mustahil atas Allah ta'ala bahwasanya Dia tidak Esa dengan adalah Dia bersusun pada Dzat-Nya atau sifat-Nya atau ada bersama-Nya pada mewujudkan yang memberi bekas perbuatannya dari yang selain Allah”.<br />
Dimaksud dengan bersusun adalah dapat dibagi-bagi seperti tubuh kita ini sebenarnya satu tetapi tersusun atas anggota-anggota atau dapat diuraikan menjadi bagian-bagian yang sangat kecil. Sedangkan Dzat Allah adalah tunggal yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak terdiri atas anggota-anggota seperti wajah, tangan, kaki, jari, betis, mata dan lainnya sungguh telah terdahulu bahwa Allah ta’ala bersifat Mukholafatuhu lilhawadits sedangkan itu semua merupakan sifat dari yang baharu. Adapun yang warid dari Al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan bahwa Allah memiliki hal itu maka untuk memahaminya ditempuh oleh para ulama Ahlu sunnah dengan dua jalan. Jalan pertama yang ditempuh oleh ulama salaf dengan tidak membicarakan hal itu cukup mengimankan apa yang disebutkan pada Qur'an dan Sunnah tanpa membahasnya lebih jauh tentang maksudnya dan mempermasalahkan hal itu digolongkan perbuatan bid'ah cukuplah hal itu diserahkan pada Allah dan Rasul-Nya. Jalan kedua yang ditempuh ulama-ulama khalaf adalah dengan mentakwilkannya pada arti yang pantas dengan menyerahkan hakikatnya pada Allah seperti firman Allah ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَيَبْقَى وَجْهُ رَبّكَ ذُوالْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ</span></div>Artinya : "Dan kekallah wajah yaitu Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan".<br />
Wajah pada ayat ini dimaknai dengan Dzat. Lalu firman-Nya lagi :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلاَتخُـَاطِبْنِيْ في الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا إِنَّهُمْ مُغْرَقُوْنَ </span></div>Artinya : "Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan". (Huud : 37)<br />
Mata pada ayat ini ditakwil menjadi pengawasan. Firman-Nya :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنمَّـَا يُبَايِعُوْنَ اللّهَ يَدُ اللّهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ </span></div>Artinya : "Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka …".<br />
Tangan pada ayat ini dimaknai dengan Qudrat atau kekuasaan. Demikannlah dengan yang lainnya. Adapun segolongan orang yang mengatakan bahwa Allah bertangan, berkaki, memiliki wajah dan lainnya tapi mengatakan bahwa tangan, kaki atau wajah Allah tidak sama dengan makhluk-Nya sungguh telah tersesat dan tidak mengerti hakikat dari bahasa atau kata-kata yang mereka ucapkan. Mereka ini digolongkan sebagai golongan Mujassimah.<br />
</div><div style="text-align: justify;">7. Qudrat ( قُدْرَةُ ) artinya Kuasa mustahil lemah.<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِ يْرٌ</span></div>Artinya : “Sesungguhnya Allah Ta'ala atas tiap-tiap sesuatu Maha Kuasa”.<br />
Adapun dalil aqlinya :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّهُ لَوْكَانَ عَاجِزًا لَمْ يُوْجَدْ شَيْءٌ مِنْ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ</span></div>Artinya : “Bahwasanya Dia jika lemah, maka tidak akan wujud sesuatu dari sekalian makhluk (alam semesta) ini”.<br />
Qudrat Allah adalah kekuasaan yang mutlak pada segala sesuatu didalam alam semesta artinya setiap apa yang kita lihat ini merupakan hasil qudrat Allah Ta'ala. Adapun qudrat yang kita miliki hanyalah nama saja sedangkan apa yang kita perbuat pada hakikatnya adalah perbuatan Allah Ta'ala seperti apa telah disebutkan sebelumnya pada Esa dalam perbuatan Allah. <br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah bersifat qudrat hendaklah selalu tawadhu’, tidak takabur terhadap apa yang dihasilkan dari perbuatannya karena apa yang didapatkannya itu walau pada lahirnya tampak dari dirinya, tetapi sebenarnya dari Allah jadi harus kita syukuri karena berapa banyak orang yang memiliki keahlian dan ilmu yang cukup telah berusaha dengan sungguh-sungguh tetapi tidak mendapatkan hasil. Seorang mukmin juga harus banyak merasa takut pada Allah Ta'ala karena setiap saat bila Dia menghendaki maka dapat saja ditimpakan-Nya pada kita apa yang tidak kita inginkan dan mengambil kembali apa yang telah diberikan-Nya karena kurangnya rasa syukur atau adanya kesombongan dan rasa ujub dalam diri kita karena Dia kuasa mewujudkan apa yang diinginkan Allah. Allah berfirman tentang Iblis :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ</span></div>Artinya : “ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.<br />
Demikian pula nyata mustahil Allah Ta'ala lemah karena seorang manusia yang lemah saja untuk mengangkat beban seberat tubuhnya tidak akan mampu apabila untuk mengatur alam semesta yang demikian luas dan teratur tidak diterima akal dapat dilakukan bila Allah Ta'ala lemah.<br />
</div><div style="text-align: justify;">8. Iradat ( اِرَدَ ةٌ ) artinya berkehendak mustahil terpaksa.<br />
Dimaksud dengan iradat artinya bahwa apa yang terjadi semuanya di alam semesta ini memang sudah merupakan kehendak Allah Ta'ala dan mustahil ada yang terjadi dialam semesta sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya atau karena Dia terpaksa melakukannya.<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">فَعَّالٌ لِّمَايُرِيْدُ</span></div>Artinya : “Melakukan Allah Ta'ala apa-apa yang dikehendaki-Nya”. (Al-Buruj 85:16)<br />
Dalil aqlinya :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّهُ لَوْكَانَ كَارِهًا لَكَنَ عَاجِزًا وَكَوْنُه عَاجِزًا مُحَالٌ</span></div>Artinya : “Bahwasanya jika Dia terpaksa membuat sesuatu atau mentiadakannya maka tentu Dia lemah dan Dia lemah mustahil”.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Iradat bahwa ia bersyukur pada Allah Ta'ala atas tiap-tiap nikmat karena nikmat yang kita terima merupakan anugerah Allah yang kalau tidak karena kehendak-Nya tidak akan dapat terjadi. Rasa syukur itu wajib kita haturkan pada-Nya karena bila kita tidak bersyukur berarti kufur yaitu kufur nikmat yang akan mendatang-kan azab yang pedih seperti firman-Nya :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَلَئِنْ كَفَرْتمْ اِنَّا عَذَابِيْ لَشَدِيْدُ</span></div>Artinya : “… dan bila kalian kufur (yaitu atas nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”<br />
Kemudian kita wajib sabar atas tiap-tiap bala dunia karena apa yang datang baik hal baik ataupun yang buruk semuanya dari Allah yaitu apa yang sudah ditentukan-Nya. Kesabaran akan mendatangkan pahala yang besar dan merupakan jalan menuju syurga. Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ</span></div>Artinya : “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. <br />
Perlu kita ketahui pula perbedaan antara perintah Allah dan iradat Allah supaya tidak terjadi kesalahan dalam memahami Al-Qur’an, yaitu :<br />
- Ada sesuatu yang diperintahkan Allah dan Dia-pun menghendakinya seperti iman yang ada pada hati setiap orang beriman, Nabi-nabi dan Rasul-rasul demikian pula ketaatan para Rasul atas setiap perintah Allah.<br />
- Ada sesuatu yang diperintahkan Allah tetapi Dia tidak menghendakinya, seperti iman pada hati Fir’aun, Namrud dan orang yang kafir. Allah memerintahkan mereka beriman dengan diutusnya Rasul-Nya pada mereka tetapi telah tersurat pada ketentuan Allah bahwa mereka tidak beriman maka dakwah para Rasul dengan mu’jizatnya tidak membekas di hati mereka.<br />
- Ada sesuatu yang tidak diperintahkan Allah tetapi Dia menghendakinya, seperti perbuatan maksiat diantaranya berzina, mencuri, membunuh dan lainnya tetapi kita lihat banyak terjadi maksiat disekitar kita terutama pada masa sekarang. Hal ini karena dalam ketentuan Allah demikianlah adanya seperti hadits Nabi yang menceritakan fitnah yang akan terjadi selepas beliau wafat sampai hari kiamat.<br />
- Ada sesuatu yang tidak diperintahkan Allah dan Dia-pun tidak menghendakinya seperti kafir dan maksiat pada para rasul dan anbiya’-Nya.<br />
Jadi kalau kita dapat beriman sedangkan kita hanya mendengar kabar tentang Nabi kita tanpa menyaksikan beliau ataupun mukjizatnya maka hal itu merupakan karunia yang tidak ternilai yang wajib kita syukuri dengan berbuat taat. Firman Allah ta’ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَلَوْ شَآءَ الله مَا اقْتَتَلَ الَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتِ وَلَـكِنَّ اخْتَلَفُوْا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ ﺝ وَلَوْ شَآءَ الله مَا اقْتَتَلُوْا وَلَـكِنَّ الله يَِفْعَلُ مَا يُرِيْدُ</span></div>Artinya : “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.<br />
Firman Allah ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ</span></div>Artinya : “… maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya” (Fathir 35:8)<br />
Firman Allah ta’ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَلاَتَهِنُوْا وَلاَتحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ الأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ</span></div>Artinya : “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.(Ali Imroon 3:139)</div><div style="text-align: justify;"><br />
9. Ilmu ( عِلْمٌ ) artinya Mengetahui mustahil jahil.<br />
Ilmu Allah adalah mutlak dan yakin yaitu ilmu yang tidak dida-hului oleh jahil, bukan karena belajar, tanpa diselipi keraguan, tanpa adanya lupa dan hasil dari coba-coba berbeda dengan ilmu kita dimana sebelumnya tidak tahu lalu belajar dan terkadang masih diragukan, suka terlupa dan banyak merupakan kesimpulan setelah melakukan percobaan yang berulang-ulang. Allah mengetahui yang nyata dan yang ghoib. Semua itu jelas bagi Allah tanpa adanya kesamaran atau keraguan.<br />
<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ</span></div>Artinya : “ … dan Allah Ta'ala atas tiap-tiap sesuatu Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah 2:282)<br />
Demikian juga firman Allah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">هُوَاللّهُ الَّذِيْ لاَاِلهَ اِلاَّهُوَ، علِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ، هُوَ الرَّحمنُ الرَّحِيْمِ</span></div>Artinya : “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan kecuali hanya Dia, yang Mengetahui sekalian yang ghoib dan yang nyata. Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyar 59:22)<br />
Adapun dalil aqlinya yaitu :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّهُ لَوْكَانَ جَاهِلاًلَمْ يَكُنْ مُرِيْدًاوَهُوَ محـَالٌ</span></div>Artinya : “Bahwasanya Dia apabila Jahil tentu Dia tidak memiliki kehendak dan hal itu mustahil”.<br />
Hal ini dikarenakan kehendak itu didasarkan dengan adanya ilmu. Kemudian lagi untuk membuat sesuatu teratur tentunya harus berilmu sebagaimana kita lihat dalam kehidupan orang yang merencanakan atau berkehendak untuk membuat sebuah bangunan yang kokoh maka perencanaannya didasari dengan ilmu yaitu ilmu arsitektur. Untuk menjadikan alam semesta dengan keteraturan dan ukuran-ukuran yang tertentu seperti kadar udara yang kita hirup, susunan anatomi tubuh yang demikian sempurna tidak mungkin yang merencanakannya seorang yang jahil. Bila kita memandang diri kita sendiri maka akan kita lihat bahwa ketiga sifat Allah itu pasti wujud yaitu ilmu, iradat dan qudrat. Allah berfirman :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ</span></div>Artinya : “Pada diri kalian sendiri apakah kalian tidak memper-hatikan”. (Adz-Dzaariyat 51:21)<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Alim hendaknya sangat takut melakukan maksiat walaupun masih dalam bentuk keinginan atau niat sekalipun karena Tuhannya sangat mengetahui seluruh keadaan hatinya dan perbuatannya seperti firman Allah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ</span></div>Artinya : “Sesungguhnya Allah sangat Mengetahui dengan apa yang ada di dalam hatimu”. (Ali-Imran 3:119)<br />
Demikian pula seperti disebutkan sebelumnya, sebenarnya yang ada didalam diri kita sebenarnya hanya niat atau keinginan yang mana yang terlahir dalam perbuatan kita adalah wajud dari keinginan hati kita yang diketahui Allah lalu dijadikan-Nya apa yang kita perbuat seperti yang kita inginkan. Jadi bila kita mengaku beriman dan mengakui bahwa Allah-lah yang Alim hendaknya menjaga hati selalu dimanapun dan bagaimanapun keadaan kita. Kita harus malu apabila ada keinginan untuk berbuat maksiat karena Dia mengetahuinya dengan sangat jelas tanpa ada keraguan sedikitpun karena ilmu Allah sempurna. Demikian juga dalam beribadah hendaklah kita menjaga keikhlasan hati karena dalam beribadah Allah tidak hanya melihat zhohir kita tetapi juga hati kita. Firman Allah ta’ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْ لاَتُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَاْلأَذَى كَالَّذِى يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَآءَ النَّاسِ وَلاَيُؤْمِنُ بِاللهِ وَالءيَوْمِ اْلآخِرِ </span></div>Artinya : “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu meng-hilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian”.<br />
Sabda Nabi SAW :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اِنَّ اللّهَ تَعَالَى لاَيَنْظُرُ اِلَى صُوَرِكُمْ وَاَبْشَارِكُمْ وَاِنمَّـَا يَنْظُرُ اِلَى قُلُوْبكُمْ</span></div>Artinya : “Sesungguhnya Allah ta'ala tidak memandang kepada rupa kamu dan badan kamu hanyasanya Dia memandang kepada hati kamu”.<br />
Adapun lawan dari ilmu adalah jahil dan apa yang semakna dengannya yaitu syak (ragu-ragu), waham (dugaan), zhon (kira-kira) demikian pula tidak ada pada ilmu Allah Ta'ala lupa, lalai, mudah dan sukar karena didalamnya ada unsur jahil.<br />
</div><div style="text-align: justify;">10. Hayat ( حَيَاةٌ ) artinya Hidup mustahil mati.<br />
Dimaksud dengan hayat yaitu hidup yang bukan dengan nyawa atau ditandai dengan nafas berbeda dengan hidup kita yang mempunyai nyawa dan ditandai dengan adanya nafas yang mana bila nafas terputus maka nyawa kitapun tercabut lalu mati. Hidup Allah adalah Baqo' yaitu kekal tanpa diakhiri dengan mati karena bukan dengan nyawa karena setiap yang bernyawa akan mati.<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَتَوَكَّلْ عَلَى الحَيِّ الَّذِيْ لاَ يمُوْتُ</span></div>Artinya : “Bertawakkallah engkau pada Tuhan Yang Hidup yang tidak akan mati”.<br />
Adapun dalil aqlinya, yaitu :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اَنَّه لَوْكَانَ مَيّتًالَمْ يَكُنْ قَادِرًاوَلاَمُرِيْدًاوَلاَعَالِمًاوَهُوَمحـَالٌ</span></div>Artinya : “Bahwasanya jika Dia mati maka Dia tidak akan memiliki qudrat, iradat dan ilmu sedangkan hal Allah tidak memiliki qudrat, iradat dan ilmu mustahil”.<br />
Hal ini dapat dipastikan karena seperti kita lihat orang yang mati diperlakukan apa saja oleh yang hidup tidak akan dapat berbuat apa-apa karena sifat-sifat yang seperti diatas sudah tidak ada padanya. Demikian pula Allah tidak mungkin mati karena jika Dia mati tentu tidak akan ada alam ini karena akan hancur.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat hayat hendaknya banyak bertawakkal atau menyerahkan dirinya kepada Allah Ta'ala karena hanya pada yang hidup kekal kita dapat menyandarkan diri kita sedangkan pada yang mungkin mati maka kita tidak dapat menyerahkan urusan kita karena bila suatu saat ia mati tentu urusan kita akan terbengkalai sedangkan karena sakit saja dapat membuat urusan tidak lancar apalagi mati.<br />
<br />
Diceritakan bahwa Nabi Sulaiman AS telah memasukkan seekor semut kedalam sebuah wadah tertutup dan sebutir gandum sebagaimana perkataan semut bahwa dalam setahun ia dapat menghabiskan sebutur gandum. Setelah setahun maka Nabi Sulaiman AS membuka wadah dan didapatinya gandum itu masih bersisa separuh, lalu beliau menghardik semut itu dengan katanya, “Engkau telah berbohong padaku !” Jawab semut, “Sesungguhnya aku tidak berbohong hanya saja aku bertawakkal pada Allah sehingga dalam keadaan bebas aku memakan tanpa rasa khawatir bahwa Tuhanku lalai dalam membagi rezeki, akan tetapi aku terhadapmu khawatir karena engkau dapat lupa dan mati, bagaimana bila hal itu terjadi atasmu. Itulah sebabnya tidak kuhabiskan gandum itu karena ada rasa khawatir dalam diriku”. Demikianlah semut itu yang menyerahkan urusan rezekinya pada Allah ta’ala karena Allah telah berfirman :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَمَا مِنْ دَآبَّةٍ فِى اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَابٍ مُبِيْنٍ</span></div>Artinya : “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.<br />
Diceritakan bahwa seorang sahabat dari Ibrahim bin Adham rhm. berencana untuk pergi musafir karena urusan perdagangannya. Sebelum pergi ia sudah berpamitan dan meminta maaf pada seluruh kerabat dan tetangganya sebagaimana lazimnya orang masa itu yang akan pergi musafir. Kemudian sahabatnya itupun pergi tetapi tidak berapa lama kemudian Ibrahim bin Adham mendengar bahwa sahabatnya itu telah kembali dan mengurung dirinya di rumah saja. Iapun pergi mendatangi sahabatnya itu untuk menanyakan halnya tentang segeranya ia kembali. Ia bertanya, “Hai sahabatku, kudengar engkau pergi musafir untuk berdagang tetapi sekarang engkau sudah kembali dengan segera tanpa memberitahu dan berdiam diri di rumah saja”. Jawab sahabatnya, “Engkau benar, aku telah pergi tapi segera kembali karena aku telah melihat perkara yang begitu mengagumkan dan kujadikan pengajaran yang sangat berharga”. Tanya Ibrahim, “Ceritakan padaku kisahmu”. Kata sahabatnya, “Saat aku dalam perjalanan, aku berhenti di sebuah Mesjid untuk sholat dan beristirahat sebentar. Saat aku beristirahat tampak olehku seekor burung kecil yang sayapnya patah dan tidak dapat terbang. Saat itu aku berpikir bagaimana cara burung itu mencari makan. Tiba-tiba aku melihat seekor burung yang lain terbang menghampiri burung itu dengan membawa makanan sehingga burung yang cacat itupun makan dari bawaan temannya. Akupun berpikir bahwa seandainya aku bertawakkal saja pada Allah dengan sepenuh hatiku maka rezekiku tidak perlu aku khawatirkan karena apa yang sudah menjadi bagianku pasti akan datang padaku baik aku usahakan atau tidak. Untuk apa lagi aku berusaha melelahkan diri lebih baik aku sibuk dengan ibadahku saja. Karena itulah maka akhirnya aku pulang dan tidak kuteruskan niatku untuk pergi bedagang”. Mendengar perkataan sahabatnya itu Ibrahim bin Adham berkata, “Engkau benar tentang tawakkal, tetapi engkau salah mengambil pelajaran dari apa yang engkau lihat. Adapun dirimu seharusnya yang engkau lihat bukanlah burung yang cacat karena dirimu bukan orang yang cacat. Seharusnya engkau melihat pada burung yang datang membawakan makanan untuk temannya itu, karena ia bermanfaat bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk yang lain. Kalau engkau berusaha tidak menghilangkan sebutanmu sebagai orang yang tawakkal selagi hatimu tetap bergantung pada Allah. Kemudian engkau bisa menjadi jalan untuk rezeki saudaramu dan engkau menjadi mulia karena tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Sementara kalau engkau hanya menunggu rezekimu yang memang pasti akan datang maka engkau bisa menjadi hina karena menjadi orang dengan tangan dibawah sementara engkau mempunyai tubuh yang sehat tetapi tidak mau berusaha”. Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham maka sahabatnya berkata, “Engkau benar, kalau begitu aku segera pergi untuk meneruskan perdaganganku dan beruntunglah orang yang mempunyai guru dan sahabat sepertimu”.<br />
Kalau ditanyakan bagaimana hidup yang tidak dengan nyawa dapat hidup, maka katakan bahwa demikianlah adanya seperti juga kita ketahui bahwa pohon-pohonan hidup, kuman hidup tetapi lihatlah bahwa pohon dapat hidup dan berkembang tanpa nyawa lalu kuman berkembang-biak dengan membelah diri dimana setiap belahan hidup. Demikian pula hidup Allah berbeda dengan hidup kita tidak bisa kita ketahui hakekatnya karena ilmu kita terbatas. Firman Allah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَمَا اُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ اِلاَّ قَلِيْلاً</span></div>Artinya : “Tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit sekali”.</div><div style="text-align: justify;"><br />
11. Sam’un ( سمْعٌ ) artinya Mendengar mustahil tuli.<br />
Maksudnya adalah Mendengar yang sempurna tidak dengan telinga yang tidak dapat terhalang, tidak tergantung jarak tertentu dan tidak tergantung dengan kekuatan suara. Mustahil pula tuli dan apa yang semakna dengannya.<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="color: orange;"><span style="font-size: large;">وَاللّهُ سمِيْعٌ عَلِيْمٌ</span></div>Artinya : “Allah Ta'ala yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Sama’ hendaknya takut untuk berkata-kata yang haram seperti memaki, ghibah, dusta, janji palsu dan lainnya ataupun yang sia-sia seperti bergurau bukan dengan isteri, menceritakan film dan yang tidak bermanfaat walaupun tidak berdosa karena Allah Ta'ala sangat mendengar semua yang dikatakannya. Hal ini karena Allah Ta'ala memberi kita anggota tubuh untuk membantu kita dalam mentaati-Nya maka lidah seharusnya digunakan untuk membaca Al-Qur’an, berzikir dan saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan takwa. Mensia-siakan nikmat yang diberikan tentu akan membuat pemberi nikmat murka sebagaimana bila kita memberi seseorang hadiah lalu orang yang diberi mengabaikan dan membuangnya tentu hal itu akan menyakiti hati kita. Berbicara yang sia-sia juga termasuk mensia-siakan umur yang sudah diberikan karena waktu yang tidak digunakan untuk meraih kebajikan akhirat sungguh akan sangat disesali oleh setiap orang pada hari dimana kita sangat membutuhkan amal dan pahala yang banyak yaitu hari kiamat yang disebut juga yaumun nadamah (hari penyesalan). <br />
Disamping takut seorang mukmin juga seharusnya memiliki rasa malu karena setiap yang kita ucapkan dicatat dan dibawa kesisi Allah dan nantinya akan diajukan dalam sidang hari pembalasan. Alangkah malunya bila dalam catatan itu tertera setiap kata-kata makian yang kita ucapkan. Beruntunglah orang yang mampu menjaga lidahnya. <br />
Kalau ditanyakan bagaimana pula Allah dapat mendengar tidak dengan telinga maka katakanlah demikianlah Mendengarnya Allah karena sesungguhnya makhluk Allah banyak dengan sifat pendengaran dan alat pendengaran yang berbeda-beda Allah yang menjadikan semua itu tentu berbeda dengan yang dijadikan-Nya. Wallahu muwafiq.<br />
</div><div style="text-align: justify;">12. Bashor ( بَصَرٌ ) artinya Melihat mustahil buta. <br />
Maksudnya Melihat yang sempurna yang tidak dengan mata, tidak terhalang dengan sesuatu, tidak pula tergantung jarak, warna dan lainnya. Mustahil pada-Nya buta atau apa-apa yang semakna dengannya.<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَاللّهُ بَصِيرٌ بمَا تَعْمَلُوْنَ</span></div>Artinya : “Allah Ta'ala Maha Melihat tiap-tiap apa yang kamu lakukan”.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Bashor hendaknya takut untuk melakukan perbuatan maksiat karena Tuhannya melihat apa yang dilakukannya walaupun ditempat yang tersembunyi menurut pandangan orang sekalipun karena Melihat Allah tidak sama dengan kita yang dapat dihalangi, membutuhkan cahaya ataupun bila jauh menjadi tidak jelas. Pada Penglihatan Allah semua itu nyata karena disisi Allah tidak ada istilah jauh ataupun dekat. <br />
Disamping takut seorang mukmin juga seharusnya malu sebagaimana bila kita akan bermaksiat sementara disamping ada orang tua atau orang yang kita hormati tentu akan timbul rasa malu apalagi setiap kita dalam pengawasan Allah dan pengawasan malaikat-Nya dan setiap yang ada disekeliling kita akan menjadi saksi setiap maksiat yang kita kerjakan kelak dihari kiamat dihadapan setiap makhluk-Nya. <br />
Diceritakan bahwa ada seorang perampuan pezina yang sangat jahat di Mekah, ia berkata, “Aku tidak akan senang hingga kujatuhkan fitnah pada Thawus al-Yamani (yaitu ulama tabi’in yang merupakan seorang laki-laki yang sangat tampan)”. Beberapa kali perempuan itu menggodanya tetapi selalu tidak berhasil hingga ia sangat heran. Karena berulangkali ditolak tetapi perempuan itu tetap merayunya maka berkatalah laki-laki itu padanya, “Persiapkanlah dirimu untukku pada malam ini. Datanglah engkau pada waktu sahur maka keinginanmu nanti akan kupenuhi”. Datanglah perempuan itu pada waktu yang telah ditentukan lalu berjalan keduanya hingga sampai pada Maqam Ibrahim, berkatalah laki-laki itu, “Berbaringlah engkau disini dan lepaskanlah pakaianmu!” Kata perempuan itu, “Subhanallah! Apakah kita tidak dilihat oleh manusia”. Kata laki-laki itu, “Apakah Allah tidak melihat kita pada setiap tempat ?” Kata perempuan itu, "Bahwasanya aku memuliakan tempat itu dari melakukannya disitu”. Katanya, “Wahai perempuan ! Tempat ini lebih engkau muliakan dari kemuliaan Allah dan kebesaran-Nya. Sesungguhnya Allah Ta'ala itu lebih utama dan lebih agung untuk engkau takuti”. Akhirnya perempuan itupun bertaubat dan ditinggalkannya seluruh kejahatannya.<br />
Kalau ditanyakan bagaimana melihat tidak dengan mata maka katakan makhluk Allah yang melata dimuka bumi banyak yang hidup dan mencari rezekinya tanpa menggunakan matanya. Kelelawar mengetahui di malam hari tanpa melihat dengan sistem pendengarannya, banyak orang yang buta matanya tetapi bisa mengetahui dengan hati dan tongkatnya.<br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;">13. Kalam ( كَلاَمٌ ) artinya berkata-kata mustahil bisu.<br />
Maksudnya Kalam yang sempurna yang tidak berhuruf dan bersuara, tidak terdahulu dan terkemudian, tidak ada I’rob dan mabni.<br />
Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">وَكَلَّمَ اللّهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا</span></div>Artinya : “Berkata-kata Allah dengan Musa dengan perkataan yang sempurna”.<br />
Demikan pula firman Allah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اِنِّيْ اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاَتِيْ وَبِكَلاَمِيْ</span></div>Artinya : “Sesungguhnya Aku memilihmu hai Musa diantara selu-ruh manusia dengan risalah-Ku dan Kalam-Ku”.<br />
Dalam masalah ini perlu dipahami beberapa perkara, yaitu :<br />
a. Perkataan manusia merupakan ungkapan dari isi hati atau merupakan gambaran isi hati. Jadi perkataan yang sebenarnya (hakiki) adalah perkataan hati. Perkataan hati tidak berhuruf dan tidak pula bersuara kecuali sesudah diucapkan dengan lidah barulah berhuruf dan bersuara dan dapat didengar orang lain. Isi hati yang sama dapat diungkapkan dengan cara yang berbeda bila bahasa lidahnya berbeda seperti perkataan orang Indonesia dengan perkataan orang Arab. Demikian pula Kalam Allah tidak berhuruf dan tidak bersuara jadi pahamilah.<br />
b. Perkataan Allah berbeda dengan perkataan makhluk. Perkataan Allah dapat dibedakan atas dua macam, yaitu :<br />
1) Perkataan nafsi atau hakiki, yaitu yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, sebagaimana firman Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kedalam hati para Nabi.<br />
2) Perkataan majazi atau lafdzi, yaitu perkataan Allah yang setelah diterima oleh para Rasul disampaikan pada sahabatnya, jadi dengan berhuruf dan bersuara sehingga dapat ditulis. <br />
Demikianlah Kalam Allah ada yang hakiki dan ada yang majazi. Adapun tulisan mushaf yang kita baca maksudnya sama dengan Kalam Allah yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW yang merupakan sebagian dari Kalam Qodim Allah Ta'ala. Tulisan Qur’an memang baharu tetapi makna yang terkandung didalamnya adalah sebagian dari Kalam Qodim Allah.<br />
Perlu dijelaskan bahwa Kalam itu Esa dan tidak berbilang hanya ada baginya aqsamun I’tibariyyah artinya bagian-bagiannya ditinjau dari beberapa sisi. Dipandang dari sisi Kalam itu meme-rintahkan disebut Amrun, ditinjau dari melarang disebut Nahyun, ditinjau dari sisi menceritakan disebut Khobarun, ditinjau dari sisi Kalam itu memberitahukan balasan surga untuk orang taat disebut Wa’dun dan ditinjau dari sisi menakuti orang maksiat dengan neraka disebut Wa’idun dan lainnya.<br />
Sesungguhnya telah mufakat Ahlu sunnah bahwa Al-Qur’an adalah Kalamulloh yang Qodim bukan makhluk sebab dikhawa-tirkan memberi prasangka jika dikatakan Qur’an itu baharu maka jadi baharu pula Kalam Allah yang ada pada Zat-Nya dan siapa yang berkeyakinan demikian telah sepakat mereka akan kafirnya.<br />
Dikisahkan : Adapun yang mula-mula mengatakan Al-Qur’an itu makhluk adalah Ahmad bin Abu Daud lalu dikatakannya hal itu pada Ma’mun khalifah Baghdad dan dibaguskannya perkataan itu dan dibenarkannya, lalu diikutnya dan disuruhnya kepada sekalian negeri bawahannya untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk dan tiap-tiap orang yang tidak mengikut per-kataannya maka dibunuhnya atau dipukulnya atau dipenjara-kannya. Mengambil dalil mereka akan hal itu dengan firman Allah ta’ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">اِنَّا جَعَلْنَا قُرْآنًا عَرَبِيًّا</span></div>Artinya : “Dan Kami Jadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab”.<br />
Mengambil dalil mereka bahwa tiap-tiap yang dijadikan oleh Allah ta’ala bahwa ia itu baharu. Karena itu sebagian ulama mengikut sebab takut dan sebahagian lagi tidak mengikut. Untuk yang mengikut maka diberinya berbagai hadiah dan untuk yang tidak mengikut maka disakitinya dengan berbagai jenis siksaan. Sebagin dari mereka dibunuh dan sebagian lagi dipenjarakan. Diantara mereka yang tidak mengikut adalah Imam Ahmad bin Hambal maka iapun hendak dibunuh. Ketika sampai berita itu padanya diapun berdoa kepada Allah memohon pertolongan maka tidak sampai pagi hari terdengar teriakan dirumah Ma’mun. Datang khadamnya dan berkata, “Benar Ahmad Al-Qur’an itu Kalamulloh bukan makhluk sanya telah mati Amirul Mu’minin”. Digantikan Ma’mun oleh Mu’tashim billah Muhammad saudara ma’mun dimana telah dipesankan oleh Ma’mun untuk mengatakan Qur’an itu makhluk. Dipanggillah Imam Ahmad untuk munazhoroh, maka munazhorohlah Imam Ahmad bin Hambal dengan Ahmad bin Abu Daud maka kalah Ahmad bin Abu Daud. Dikerasilah Imam Ahmad bin Hambal untuk mengatakan Qur’an itu makhluk tetapi ia tidak mau maka dipukullah ia kira-kira lima belas kali pukulan putuslah tali celananya dan turunlah celananya dari pinggangnya. Lalu Imam Ahmad memandang ke langit dan tidak sempurna bacaannya melainkan keluar tangan emas mengangkatkan celananya. Tatkala melihat orang-orang akan yang demikian maka mereka berkeinginan untuk membunuh Mu’tashim, maka dihentikanlah pukulan itu dan ditahan ia dipenjara sekitar dua puluh delapan bulan. Matilah Mu’tashim dan digantikan oleh Watsiq billah Harun anak Mu’tashim, menyatakan pula dia bahwa Qur’an itu makhluk maka Imam Ahmad menyembunyikan dirinya. Lalu didatangkan-lah Ahmad bin Nazhar al-Khuza’i dan disuruh mengatakan Qur’an itu makhluk maka ia berkata Qur’an itu Kalamulloh. Dikatakan kepadanya, “Halallah darahnya”. Disuruhlah untuk membunuhnya, lalu ia dibunuh dan kepalanya dipotong lalu digantungkan diarah matahari terbit kota Baghdad selama beberapa hari dan diarah matahari terbenam beberapa hari. Didengar oleh orang-orang bahwa pada malam hari kepala itu membaca Laa ilaaha illallaah dan surat Yaasiin (dalam satu riwayat membaca :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">الم . أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوْا اَنْ يَقُوْلُوْا آمَنَّا وَهُمْ لاَيُفْتَنُوْنَ</span></div>maka oleh Harun disuruh menulis surat dan digantungkan pada telinganya dengan tulisan :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">بسم الله الرحمن الرحيم . هذا رأس أحمد بن نضر الخزاعى دعاه عبدالله الامام هارون الواثق بالله أمير المؤمنين الى القول بخلق القرآن وتفى الشبه فأبى الاالمعاندة فعجله الله الى النار</span></div>Artinya : “Inilah kepala Ahmad bin Nazhor al-Khuza’i telah memanggilnya Abdullah al-Imam Harun al-Watsiq billah Amirul mukminin untuk berkata Qur’an itu makhluk untuk menepikan syubhat tapi ia enggan bahkan ingkar maka Allah menyegerakan neraka padanya”.<br />
Matilah Watsiq dan digantikan saudaranya Mutawakil ’alalloh Ja’far. Masuk menemuinya Abdul Aziz bin Yahya kepadanya dan ia berkata, “Adalah suatu perkara yang sangat mengherankan dalam perkara Watsiq bahwa ia membunuh Ahmad bin Nadhir al-Khuza’i padahal lidahnya tetap membaca Qur’an”. Maka akhirnya Mutawakil-pun inshaf dan dicelanya perbuatan saudaranya dan ia memerintahkan pada sekalian negeri bawahannya untuk mengatakan bahwa Qur’an itu bukan makhluk. Ia meminta untuk menghadirkan Imam Ahmad bin Hambal dan ia berkata, “Telah terang dunia dengan laki-laki ini”. Lalu ia memberi hadiah pakaian yang indah-indah dan seorang sahaya tetapi oleh Imam Ahmad hal itu tidak diterimanya dan ia menangis, lalu berkata, “Selamatlah aku dari sekalian mereka pada seluruh umurku hingga hampir umurku dibala’kan dengan mereka dan dengan dunia mereka”. Lalu ia meninggalkan pakaian-pakaian itu dan dikembalikannya. Kata Basyir al-Khofi, “Tiada seorang yang paling kuat berkata seumpama perkataan Imam Ahmad bin Hambal dalam cobaan ketika disuruh mengatakan Qur’an itu makhluk, maka pada saat itu diberi ia maqom para nabi”. Karena itu pulalah maka mengirim utusan Imam Syafi’i ke Baghdad untuk meminta baju yang dipakai ketika ia dipukul. Dikirimkanlah baju itu kepadanya lalu diambil oleh Imam Syafi’i dan dibasuhnya lalu diminumnya airnya. Lalu sisa air itu diletakkannya di dalam kaca yang bila sakit sahabatnya diberinya sedikit dari padanya yang bila disapukan pada tubuh maka hilanglah sakitnya. Kata Qiil, “Dilihat oleh seseorang didalam tidurnya akan Ahmad bin Hambal, lalu ia berkata, “Apa yang diperbuat Allah untukmu ?” Katanya, “Diampunkan bagiku kemudian Dia berkata, “Hai Ahmad, dipukul engkau karena-Ku ?” Kataku, “Benar !” Maka firman Allah, “Ini Muka-Ku, perhatikan olehmu pada-Nya, sungguh telah Kubolehkan bagimu !”<br />
Demikian lagi, telah melihat oleh Imam Syafi’i akan Nabi saw pada tidurnya, sabdanya, “Kirimkan surat olehmu pada Abi Abdullah (yakni Ahmad bin Hambal). Sampaikan salamku kepadanya dan katakan olehmu bahwa akan dicoba ia dan disuruh mengatakan Qur’an itu makhluk maka jangan ia perkenankan karena sangat berkatnya serta akan diangkatkan ilmunya oleh Allah hingga hari kiamat”. Maka ditulis oleh Imam Syafi’i surat itu dan dimintanya Rabi’ untuk membawanya. Ketika surat itu sampai kepadanya berkata Rabi’, “Beri olehmu kepadaku hak bisyaroh !” Oleh Imam Ahmad dilepaskannya bajunya dan diberikannya pada Rabi’. <br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat kalam hendaknya banyak berdzikir menyebut nama-Nya mudah-mudahan namanya akan disebut-sebut Tuhan diantara hamba-Nya. Firman Allah Ta'ala :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ</span></div>Artinya : “Ingatlah Aku niscaya Aku-pun akan mengingatmu”<br />
Sabda Nabi SAW :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">ذِكْرُاللّهُ علم الإِ يمَان وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ وَحَصَن مِنَ الشَّيْطَانِ وَحرز مِنَ النِّيرَانِ</span></div>Artinya : “Mengingat Allah (Zikrullah) itu tanda iman, kelepasan dari nifaq, benteng dari setan dan pemelihara dari neraka”.<br />
Adapun dalil akli ketiga sifat ini yaitu Mendengar, Melihat dan Berkata-kata adalah :<br />
<div style="background-color: orange;"><span style="font-size: large;">لَوْلَمْ يَـتَّصِفُ بهَالَزِمَ اَنْ يَـتَّصِفَ باضدَادِهَاوَهِيَ نَقَائِصْ ، وَالنَّقْصٍ عَلَيْهِ تَعَالى محَالٌ</span></div>Artinya : “Apabila Dia tidak bersifat dengan ketiganya berarti Dia bersifat kekurangan karena bersifat kebalikannya sedang-kan bersifat kekurangan pada sisi Allah mustahil”.<br />
Allah Ta'ala merupakan Dzat yang sempurna dengan sekalian sifat-sifatnya yang sempurna pula. Apabila ketiga sifat itu ada pada Allah hal itu merupakan kekurangan yang berarti Dia akan membutuhkan pada yang dapat menyempurnakan-Nya. Hal itu adalah mustahil seperti telah nyata sebelumnya Allah Ta'ala bersifat Qiyamuhu binafsihi.<br />
</div><div style="text-align: justify;">14. Kaunuhu Qoodiron ( كَوْنُهُ قَادِرٌ ) artinya Keadaan-Nya Yang Kuasa mustahil Keadaan-Nya yang lemah.<br />
Dalilnya sama seperti dalil sifat qudrat. Sifat ini saling berhubungan dengan sifat Qudrat. Ada sifat Qudrat maka ada pula sifat Qodirun.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat qodirun hendaknya sangat membanyakkan takut pada Tuhannya yang sangat Kuasa dan besar pengharapannya padaAllah dengan memberikan nikmat kebaikan.<br />
</div><div style="text-align: justify;">15. Kaunuhu Muridan ( كَوْنُهُ مُرِيدً ) artinya Keadaan-Nya yang Berkehendak mustahil Keadaan-Nya yang terpaksa.<br />
Dalilnya seperti dalil sifat Iradat.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Muridun hendaknya banyak memanjatkan do’a pada Allah Ta'ala dengan seluruh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat sertya menolakkan bala.<br />
</div><div style="text-align: justify;">16. Kaunuhu Aliman ( كَوْنُهُ عَالِمٌ ) artinya Keadaan-Nya Yang Mengetahui mustahil Keadaan-Nya yang jahil.<br />
Dalilnya seperti dalil sifat Ilmu.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Alimun hendaknya selalu minta pertolongan pada Allah Ta'ala di dalam tiap-tiap keadaan dan minta peliharakan dari keburukan dunia dan akhirat.<br />
</div><div style="text-align: justify;">17. Kaunuhu Hayyan ( كَوْنُهُ حَيًّ ) artinya Keadaan-Nya Yang Hidup mustahil Keadaan-Nya yang mati.<br />
Dalilnya seperti dalil sifat Hayat.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Hayat hendaknya selalu bertawakkal pada Allah Ta'ala pada setiap keadaan.<br />
</div><div style="text-align: justify;">18. Kaunuhu Sami’an ( كَوْنُهُ سمِـيْعً ) artinya Keadaan-Nya Yang Mendengar mustahil Keadaan-Nya yang tuli.<br />
Dalilnya seperti dalil sifat Sam’un.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Sami’un hendaknya selalu memuji Allah Ta'ala, banyak bersyukur dan banyak berdo’a padaAllah.<br />
</div><div style="text-align: justify;">19. Kaunuhu Bashiron ( كَوْنُهُ بَصِيْـرً ) artinya Keadaan-Nya Yang Melihat mustahil Keadaan-Nya yang buta.<br />
Dalilnya seperti dalil sifat Bashor.<br />
Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Bashirun hendaknya senantiasa malu pada Allah Ta'ala yang melihatnya melakukan dosa dan meninggalkan yang wajib.<br />
</div><div style="text-align: justify;">20. Kaunuhu Mutakalliman ( كَوْنُهُ مُتَـكَلِّمًا) artinya Keadaan-Nya Yang Berkata-kata mustahil Keadaan-Nya Yang bisu.<br />
Dalilnya seperti dalil sifat Kalam.<br />
</div><div style="text-align: justify;">Seorang mukmin yang beri’tiqad bahwa Allah Ta'ala bersifat Mutakallimun hendaknya banyak membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ dan hormat atau ta’zhim, bertajwid bukan asal dibaca.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Bersambung ...yang dimaksud Ta’aluq</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Century Gothic","sans-serif"; font-size: 9pt;"></span></b></div><div style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Century Gothic","sans-serif"; font-size: 9pt;"></span></b></div><div style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Century Gothic","sans-serif"; font-size: 9pt;"></span></b></div><div style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Century Gothic","sans-serif"; font-size: 9pt;"></span></b></div><div style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Century Gothic","sans-serif"; font-size: 9pt;"><o:p></o:p></span></b> </div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghvYMPeIddFdhjr84jXgOPApWfVIpAuhldmoku4T476QWGeq9-bE1VrVqQc3nnelACdOJ7JsgVTugq35X9up3wWuwzHx1GTaatB0RS5Lu5XNXvbxxUSGkQdk-IcNa1SNZwdqzNSyD_em9B/s1600/Aqidah+Mukmin.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghvYMPeIddFdhjr84jXgOPApWfVIpAuhldmoku4T476QWGeq9-bE1VrVqQc3nnelACdOJ7JsgVTugq35X9up3wWuwzHx1GTaatB0RS5Lu5XNXvbxxUSGkQdk-IcNa1SNZwdqzNSyD_em9B/s320/Aqidah+Mukmin.jpg" /></a></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-2331168264850824972010-04-30T21:56:00.001+07:002010-04-30T23:00:56.592+07:00KATA PENGANTAR (AQIDAH MUKMIN)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBR47UUsR2hVFzTSwufiPjGUCCdwJIU-ytdzgWSHmyAvDe2_42qeo595BxliQ4m_xsp0nYOQVUsmHcbglo2fAaDZNt7uZHYEvxtZdg78ao2ajFNrbCWPQ39m-sVBt7xhtHIxb4AReWLJwB/s1600/Aqidah+Mukmin.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBR47UUsR2hVFzTSwufiPjGUCCdwJIU-ytdzgWSHmyAvDe2_42qeo595BxliQ4m_xsp0nYOQVUsmHcbglo2fAaDZNt7uZHYEvxtZdg78ao2ajFNrbCWPQ39m-sVBt7xhtHIxb4AReWLJwB/s320/Aqidah+Mukmin.jpg" /></a></div><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Alhamdulillah, puji-pujian bagi Allah SWT sebagai pujian yang layak bagi Zat-Nya yang mulia atas selesainya kitab ini saya tulis. Sholawat dan salam atas Rasullah SAW, penghulu segala Nabi dan Rasul, penutup para Nabi yang mana syafaatnya begitu diharapkan pada hari Akhirat kelak.</div><div style="text-align: justify;"> Adapun kitab ini telah lama saya mulai tulis tetapi karena kurangnya ilmu dan himmah maka selesainya dalam waktu yang cukup lama, itupun atas desakan beberapa sahabat yang begitu ingin agar saya segera menyelesaikan kitab ini. Kitab ini saya namakan dengan AQIDAH MUKMIN karena isinya berkaitan dengan masalah-masalah aqidah (keyakinan) ataupun masalah ushul, yang saya kumpulkan dari berbagai kitab karangan-karangan ulama terdahulu tetapi dengan sistematika kitab pada saat ini. Kitab ini diinspirasikan susunannya dan isinya dari kitab sifat duapuluh karangan Syeikh Utsman Betawi yang begitu ringkas, tetapi memuat simpul-simpul aqidah yang mendasar yang mana harus diyakini oleh orang yang mengaku beriman.</div><div style="text-align: justify;"> Kitab ini juga saya tulis karena untuk memudahkan orang awam untuk memahami agamanya, karena pada masa ini banyak kitab tauhid yang ditulis oleh orang-orang yang berpaham MUJASSIMAH, dimana bentuk kemasan dan susunannya dibuat menarik sehingga banyak orang awam terperangkap dalam paham-paham yang tidak sesuai dengan paham Ahlu Sunnah wal Jama’ah seperti yang dipahami oleh umat islam selama ribuan tahun. Sementara itu kitab-kitab tauhid yang ditulis oleh para ulama islam kebanyakan dalam bahasa Arab dan adapula dalam bahasa melayu dengan tulisan yang orang masa sekarang sulit membacanya apalagi untuk memahaminya.</div><div style="text-align: justify;"> Kemudian lagi perlu diketahui bahwa ilmu ini bukanlah hal yang baru tetapi sudah berumur ribuan tahun diawali oleh imam Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai yang mula-mula mengkonsepnya. Ilmu ini sendiri muncul karena situasi zaman pada masa itu dimana paham Mu’tazilah yang mengandalkan rasio (akal) sudah meluas sehingga banyak orang yang meninggalkan dalil-dalil Syara’. Imam Abu Hasan Asy’ari merupakan murid dari ayah tirinya yang merupakan ulama besar Mu’tazilah dan telah pula mengajarkan mahzab itu selama bertahun-tahun. Diceritakan bahwa Imam Abu Hasan Al-Asy’ari bermimpi selama tiga malam bertemu dengan Nabi SAW. Yang memintanya untuk memperbaiki keadaan aqidah umat karena sudah melenceng jauh dari ajaran yang dibawa oleh beliau. Imam Abu Hasan Al-Asy’ari menjawab, “Ya Rasullah, bagaimana aku dapat melakukan hal itu sedangkan aku telah menghabiskan sebagian besar umurku dengan mempelajari mahzab ini dan membahas permasalahan-permasalahannya”. Jawab Nabi SAW, “Sungguh aku tidak menyuruh engkau kecuali karena Aku telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala akan menolongmu”. Terbangunlah beliau dari tidurnya dan dibukanya kitab-kitab yang selama ini sudah tidak dipelajarinya dan didapatinya dalil-dalil yang menjelaskan tentang hal-hal yang selama ini mereka ingkari seperti adanya Syafa’at dan melihat Allah Ta’ala ketika orang beriman sudah masuk syurga. Terbukalah hatinya dan beliau tidak keluar dari rumahnya selama lebih kurang 15 hari. Setelah itu beliau keluar dan naik ke mimbar dihadapan masyarakat muslim. Beliau berkata “ Sesungguhnya aku tidak keluar selama beberapa waktu karena mengarang kitab ini dan mulai sekarang melepaskan dari apa yang selama ini kuyakini sebagaimana aku melepas kainku ini”. Maka dilepaskannya kainnya dan dibuangnya. Dari saat itu maka lahirlah ilmu aqidah sebagaimana yang kita kenal dan disebut dengan mahzab Asy’ari yang sebagaimana dikatakan Imam Al-Ghozali apabila dikatakan Mahzab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah maka itu adalah Mahzab Asy’ari dan Maturidi. Adapun Imam Maturidi juga mengkonsep mahzabnya beberapa tahun berikutnya mengikut Imam Asy’ari dengan sedikit perbedaan dalam memahami beberapa permasalahan yang bisa mempunyayi maksud yang berbeda.</div><div style="text-align: justify;"> Pada masa sekarang ini terutama di Indonesia ada sebagaian orang yang mengaku mempelajari sifat duapuluh tetapi sebenarnya hanya nama saja bukan ilmu aqidah tetapi merupakan ilmu kebatinan.Banyak orang awam yang sudah tertipu sehingga tersesat dari jalan sebenarnya. Untuk itulah buku ini saya tulis supaya orang awam dapat membedakan antara hal itu sehingga tidak timbul keraguan dalam mempelajari ilmu ini karena tidak mempelajari ilmu aqidah membuat orang mudah tergelincir dalam pemahaman yang keliru bahkan tersesat jauh mengira dirinya dapat petunjuk.</div><div style="text-align: justify;"> Demikianlah semoga usaha kecil ini dapat bermanfaat disisi para pecinta ilmu dan mendapatkan pahala disisi Allah SWT sebagai simpanan bagi hamba semoga dengannya nanti dapat jadi jalan untuk mendapatkan keridhoan dan ampunan dari Tuhanku Semesta Alam, menjadi tebusan untuk kebebasan dari murka-NYA. Ya Allah, Hanya Engkaulah yang dapat mengabulkan permohonan para hamba dan yang dapat menghindarkan para hamba dari yang ditakutinya</div><br />
<br />
MULYADI ASY-SYAFI’I AMD<br />
(Konsultasi Langsung Lewat Hp/SmS)<br />
Hp. 081361 032 033<br />
<br />
Sudah diminta Izin Penyebaran <br />
ke Jaringan Internet oleh : Aulia P. Lubis<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCWbvv1h4uhQyCdAqrG4ORQXfp6Pn-ZRfRV5kP_TX5c5FlyE9EnLd2jEYBiB0hG-RQeCb1aCQv887RwG0H6IRztMnURRu6gwJf3orkZ844XMGQ0VN9LcAI0HQrLSJSqOMsEW96BoNYTbc3/s1600/ustadz+mul+dan+para+Ustadz.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCWbvv1h4uhQyCdAqrG4ORQXfp6Pn-ZRfRV5kP_TX5c5FlyE9EnLd2jEYBiB0hG-RQeCb1aCQv887RwG0H6IRztMnURRu6gwJf3orkZ844XMGQ0VN9LcAI0HQrLSJSqOMsEW96BoNYTbc3/s320/ustadz+mul+dan+para+Ustadz.jpg" /></a></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-79327361840717115212010-04-30T14:44:00.001+07:002010-04-30T15:44:40.845+07:00MEMBONGKAR SYUBHAT WAHABISME TERHADAP NUSHUSH TAKWIL<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwDXa5mzG3bqiL2joOsq0KEgiwsjnnbQJHRjYFuJ7JVcCS5PwDDLlxoqKwB2QBBt6018u_8XBz9ws5AEe6SyFqJVi495GCAo-XozFe-GAwUt7jE6EIO4J1D0KQqnorZUgvMs1uAfg6k9ys/s1600/alquran.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwDXa5mzG3bqiL2joOsq0KEgiwsjnnbQJHRjYFuJ7JVcCS5PwDDLlxoqKwB2QBBt6018u_8XBz9ws5AEe6SyFqJVi495GCAo-XozFe-GAwUt7jE6EIO4J1D0KQqnorZUgvMs1uAfg6k9ys/s200/alquran.jpg" width="200" /></a></div><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Generasi terbaik umat ini adalah generasi pertama yaitu generasi para sahabat dan tabi’in mereka generasi yang adil generasi yang selamat semua umat muslimin yang berada dalam kesatuan ahlu sunnah wal-jama’ah tentu mereka berada dalam pemahaman ini . yang di timur maupun di barat di utara maupun di selatan . intinya dari ujung ke ujung dari tepi ke tepi sampai dari kutup ke kutup pun pasti mereka berada dalam manhaj dan pemahaman para sahabat dan tabi’in. hal ini sudah sangat jelas dan terang di sabdakan oleh baginda nabi yang tak dapat di ragukan dari depan maupun dari belakang , rasul al-amin bersabda:</span></div><div></div><div style="background-color: #993366; text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"> <span style="color: white;">(( </span><b style="color: white;">خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم )) اخرجه البخاري</b></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">(sebaik-baiknya generasi adalah generasi di masaku setelah itu adalah generasi sesudahku ( genersi sahabat ) lalu generasi susudahnya ( tabi’in ) H.R. bukhori</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Namun apa boleh di kata , belakangan ini muncul kelompok yang melebelkan dirinya sebagai salafy dan derivat-derivatnya kelompok yang mengaku berada dalam pemahaman sahabat dan tabi’in ini menganggap ahlu syubhat dan ahlu bida’h yang tersesat terhadap orang-orang yang berada di luar kelompok mereka </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Katakan kepada mereka di luar sana … juta’an dan bahkan milyaran umat muslimin berada dalam pemahaman para sahabat dan tabi’in tapi mereka tidak melebelkan diri sebagai salafy dan tidak pula masuk pada kelompok salafy apakah mereka di anggap sebagai ahlu bid’ah dan tersesat … ??? ma’adzallah khasya wa kalla</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Di syiria mesir sudan maroko dan yaman bahkan di Negara-negara besar islam manapun tidak mengenal istilah islam salafy katakan lagi pada mereka penama’an islam salafy tidak pernah ada dan tidak pernah di kenal di masa para sahabat dan tabi’in , kalau boleh di kata penama’an islam salafy adalah perbuatan bid’ah , salafy bukan manhaj akan tetapi nisbat yang manhaj itu adalah salafussoleh bukan salafy yang kita kenal di komunitas masyarakat sekarang .</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Apa jadinya kalau kelompok yang melebelkan dirinya sebagai salafy dan mengaku mengikuti ulama salaf ini pada kenyata’anya tidak sesuai dan jauh berbeda dari manhaj salafussoleh yang di gembar gemborkan terutama masalah penetapan ta’wil dalam nushush mutasyabihat dalam al-qur’an</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Dalam tulisan ini Saya membongkar doktrin mereka yang mengatakan AHLU TA’WIL adalah ahlu syubhat dan ahlu bid’ah , islam itu bukan berdasarkan Qola ustadz atau Qola syaikh… akan tetapi berdasarkan Qolallahu wa Qolar-rasul<br />
Ajukan dalil pada mereka bahwa Alqur’an menetapkan takwil majaz dan isti’arah . Alquran adalah wahyu yang penuh dengan sastera , tidak lepas dari ilmu balaghah sebagai ilmu retorika kesusastera’an bahasa arab<br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">ALLAH berfirman :</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">إنا نسيناكم ) السجدة</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">( sesungguhnya kami ( ALLAH ) telah melupakan kamu )</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">نسوا الله فنسيهم الله )) التوبة :</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">( mereka telah lupa kepada ALLAH maka ALLAH melupakan mereka )</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Perhatikan dua kalimat “LUPA” yang di nisbatkan kepada ALLAH SWT dalam ayat di atas apakah mereka menetapkan sifat LUPA terhadap ALLAH ?? lalu mereka mengatakan lupanya ALLAH tidak sama dengan sifat lupa kita .. ??? dhzohir teks ayat di atas jika mereka menafikan TAKWIL yang sesuai dan yang pantas terhadap ALLAH serta yang sesuai dengan apa yang di maksud oleh Al-qur’an maka mereka telah menetapkan sifat “LUPA” terhadap ALLAH swt (subhanaka wata’ala amma tasyifuun hadza amrun bathil ) ” maha suci engkau dan maha tinggi dari apa yang mereka sifatkan ini adalah perkara bathil ” sungguh penetapan sifat lupa terhadap ALLAH adalah perkara yang mungkar dan bathil tidak dapat di terima olah akal sehat maupun nash dan penuh dengan perkara syubhat . ALLAH SUBHANAHU WATA’ALA dengan jelas berfirman :</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">( <b>وما كان ربك نسيا )</b></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">( dan tidaklah rabbmu lupa ) maryam :64 </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Dalam sebuah hadist qudtsi yang di keluar oleh imam bukhori dan muslim rodiallahu anhu Rosulullah bersabda :</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">عن سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى قال : ياابن اّدم مرضت فلم تعدني, قال يا رب كيف اّعودك وأنت رب العالمين , قال : أما علمت أن عبدي فلانا مرض فلم تعده , أما علمت أنك لو عدته لوجدتني عنده …. إلى اّخر الحديث</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">( dari sayyidina rosulillah saw sesungguhnya ALLAH berfirman : wahai anak cucu adam saya sakit kenapa engkau tidak mengunjungiku ? ia berkata : wahai rabb bagaimana hamba mengunjungimu sementara engkau adalah rabb semesta alam ALLAH berfirman : apakah engkau tidak tau bahwa hambaku fulan sedang sakit ? akan tetapi engkau tidak mengunjunginya tahukah engkau apabila engkau mengunjungi nya niscaya engkau menjumpaiku di sisinya )<br />
( HR. bukhori fil adab 517 . HR . muslim 2596 . HR. ibnu hibban 269 )</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Jelas dan terang dalam teks hadist qudsi di atas menyatakan ALLAH sakit , lalu apakah orang-orang wahabi/salafy menetapkan sifat SAKIT terhadap ALLAH … ? tanpa adanya takwil …? Jika benar demikian maka aqidah anda adalah aqidah bathil penuh dengan kerancuan yang tidak jelas …! lalu atas dasar inikah mereka membangun sebuah aqidah ?? lantas dengan se enaknya memvonis ahlu syubhat dan ahlu sesat terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan keyakinan mereka..?? dan memvonis ahlu bid’ah dan sesat terhadap ulama-ulama dan para sahabat yang menakwilkanya …. ? sunguh dunia sudah terbalik aqidah ahlul haq mereka anggap sebagai aqidah ahlu syubhat dan sesat , sedang aqidah mereka ..? yang menetapkan sifat lupa dan sakit terhadap ALLAH mereka anggap sebagai aqidah yang benar …!!! NA’UDZUBILLAH TSUMMA NA’UDZUBILLAH ..</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Jelaskan kepada mereka…!! ” terlalu mengandalkan dalil tekstual tanpa di fahami secara akal sehat adalah ciri khas dari faham ahlu bid’ah khasyawiah mujassimah , dan terlalu mengandalkan akal dengan metode hermeneutika tanpa di dasari dalil adalah ciri khas dari faham mu’tazilah yang jauh dari kebenaran dan yang memadukan antara keduanya yaitu dalil dengan di pahami secara akal sehat adalah cara yang di anjurkan oleh rasul alaihis-sholatu wassalam, dan jalan yang benar ” dan jalan inilah yang di tempuh oleh para ulama’ yang beraqidah ahlus sunnah wal jama’ah mereka di antara nya adalah imam abu hasan al-asy’ari , imam al-maturidi dan murid-muridnya , imam al-qhodhi abi bakar al-baqilani , imam abi ali addaqqaq , imam abi tha’ib bin abi sahal assa’luki , imam al-hakim annaisaburi , imam abu bakar bin faurak , imam al-hafidz abi nu’iem al-ashbihani , imam nawawi , imam al-hafidz ibnu hajar al-astqolani , syeikhul islam imam zakaria al-anshory imam ibnu hajar al-haitami dan masih banyak ratusan ulama-ulama ahlu sunnah tak terbilang yang berada dalam manhaj ini.. dan pada ujungnya adalah salafussoleh mufassir Al-qur’an sahabat ibnu abbas rodiyallahu anhu . apakah pakar ulama’ nashirussnnah di atas yang kalian anggap sebagai ahlul syubhat dan sesat…. ??<br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Sungguh tak ada kalimat yang pantas kami ucapkan kepada mereka selain sebuah kalimat :</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">قوم أصابته الفتنة فعموا وصموا</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">( kaum yang tertimpa fitnah lalu mereka buta dan tuli )<br />
Dan kami akhiri dengan sebuah firman ALLAH :</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: maroon; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">إنما يفتري الكذب الذين لا يؤمنون بأيت الله وأولئك هم الكاذبون</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">( sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan , hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat allah dan mereka itulah orang-orang pendusta . ( an-nahl : 105 )</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Wahdina ila sabilil mubin . wassalam</span></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-12514328856831847722010-04-30T14:39:00.002+07:002010-04-30T15:38:28.638+07:00DAKWAH SYUBHAT KAUM WAHABISME<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVKtbDbwQokqds22a8oYxVFFHrLH3cj8wj8hhAYec873NIytl_W3p_YDpI4HbZjLhlmWygGby3V4BE8UPZqt-58C56-3Fc7VNgjh-UsLdUXIQgAVQhNzbae6pf2vnvNjiRwP9iuV8YAQ7l/s1600/wahabi-si-tanduk-setan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVKtbDbwQokqds22a8oYxVFFHrLH3cj8wj8hhAYec873NIytl_W3p_YDpI4HbZjLhlmWygGby3V4BE8UPZqt-58C56-3Fc7VNgjh-UsLdUXIQgAVQhNzbae6pf2vnvNjiRwP9iuV8YAQ7l/s320/wahabi-si-tanduk-setan.jpg" width="247" /></a></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><b><span style="color: white;">بسم الله الرمن الرحيم : الحمد لله المنزه عن الجهات المتعالى عن جميع أوصاف الحادثات الموصوف بما وصف به نفسه المقدسة في كتابه وعلى لسان نبيه صلى الله عليه وسلم من الفوقية والعلوية والإستواء على العرش كما أراد وكما يليق به من الكمالات , من دون اعتقاد جهة ولا تأويلات وبالوجه واليد والأيدي , والعين والأعين , والنزول والهرولة </span></b><b><span style="color: white;">والمجيئ , على ما أراد سبحانه من دون تشبيه ولا تمثيل ولا تعطيل </span></b><span style="color: white;">. اما بعد :ا</span></span></div><div></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Merupakan virus yang perlu kita bendung apabila terjadi pengkafiran besar-besaran hanya perbeda’an pendapat dalam hal furu’iyah yang tidak ada sangkut pautnya dalam hal aqidah, hal ini tak jarang kita jumpai dalam komunitas muslim, tanpa mereka sadari meninggalkan bekas luka yang sangat dalam pada tubuh umat yang sudah tercabik-cabik oleh perpecahan ini, serta menabur api dalam sekam, fitnah perpecahan ini di hembuskan oleh faham-faham wahabi yang meng-adopsi faham hasyawiah mujassimah, memahami ayat-ayat al-qur’an secara textual serta menafikan takwil dalam ayat-ayat mutasyabihat, dengan mudah dan fasih mulut mereka mengeluarkan kalimat kafir, musyrik, sesat, ahli syubhat, penyembah kubur, dan lain sebagainya tanpa melihat dan memahami dalil yang ada, mereka berkedok meluruskan kemurnian tauhid, padahal kalau mereka mau membuka mata lebar-lebar dan melihat realita yang ada, tidak ada umat muslim manapun yang tidak beraqidah tauhid, ini sudah jelas dan terang, seterang matahari di siang bolong , ulama’ salaf maupun khalaf tegas mengatakan : setiap umat Muhammad yang berada di bawah kalimat “LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMDURRASULULLAH” adalah umat yang beraqidah tauhid apabila mereka mati dalam ke’ada’an seperti ini ( imani kalimat tauhid ) maka akan masuk syurga walau mereka sebagai pelaku dosa besar, tauhid mana yang perlu di luruskan?? ketahuilah … jika kalian gembar-gemborkan kemurnian tauhid, sama saja halnya kalian menganggap tauhid umat ini tidak murni dan bengkok. Jika tauhid sudah tidak murni dan bengkok maka artinya adalah kafir keluar dari agama,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Faham wahabi sangat keterlaluan, mereka mengatakan ahlu takwil adalah ahlu bid’ah dan ahlu syubhat, jelaskan kepada mereka ulama’ mana yang mereka ikuti? apakah mereka juga menvonis imam bukhari muhaddist terpercaya ahlu sunnah sebagai ahlu bid’ah dan ahlu syubhat??</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Tanyakan lagi pada mereka..! apa pendapat mereka terhadap al-hafidz imam ibnu hajar al-tsqolani sebagai pengarang kitab fathul bari syarah hadist bukhori? apa kedua imam besar hadist ahlu sunnah ini adalah ahlu bid’ah dan ahlu syubhat?? jelaskan lagi kepada mereka kedua tokoh tinta emas muhaddist umat ini adalah ahlu takwil dengan penakwilan yang lurus dan benar yang tidak menyalahi ketentuan sunnah, sungguh celaka dan buta hati mereka telah menutupi kebenaran yang terang di siang bolong,</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Penakwilan imam bukhori terhadap firman ALLAH : </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><b>كل شيئ هالك إلا وجهه : قال البخاري بعد هذه الأية : اي ملكه</b> </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Setiap sesuatu pasti binasa kecuali ALLAH ( al-qashash 88 )</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Berkata imam bukhori setelah menyebutkan ayat ini : ialah mulkuhu, jelas kalimat wajhu dalam ayat di atas tidak di artikan sebagai wajah Allah, akan tetapi sebagai dzatullah ,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Namun orang-orang wahabi atau salafy mengkritisi penakwilan imam besar albukhori di atas dengan kalimat mereka,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><b>(( هذا لايقوله مسلم مؤم</b>ن ))</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Penakwilan ini tidak pernah di katakan seorang muslim yang mu’min”</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Itu artinya mereka telah mengingkari perkata’an imam albukhori dan menganggapnya bukan sebagai seorang muslim yang mu’min sungguh suatu pengkaburan karya ilmiyah agar dapat mengkelabuhi masyarakat awam dengan slogan-slogan “bermanhaj salaf”</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Tentang penakwilan imam bukhori ini sudah sangat jelas dan di kenal oleh kalangan ahli-ahli ilmu, karena jika kita melihat pada nashkah yang ada sekarang tidak ada kecuali termaktub penakwilan imam bukhori terhadap ayat mutasyabihat di atas, di samping itu. ini adalah konsep dalil penakwilan nushush yang sudah ada pada zaman salaf (zaman sahabat dan tabi’in) pendetailan pada pengertian makna, </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Bagaimana mungkin mereka melontarkan tuduhan ahlu bid’ah dan ahlu syubhat terhadap imam besar hadist ini?? sudah jelas beliau adalah salah satu imam yang berada dalam penakwilan terhadap ayat mutasyabihat? ulama manapun mengakui tiada imam di masanya yang menandingi keilmuan hadis imam bukhori, sungguh orang-orang wahabi/salafy sangat memalukan, doktrin mereka ( “AHLU TAKWIL “adalah ahlu bid’ah dan ahlu syubhat) adalah doktrin fitnah yang di hembuskan untuk membuat umat ini menjadi marah, </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Mereka tidak berhenti di situ saja, akan tetapi mereka telah berani mengeluarkan fatwa-fatwa sesat termasuk pengharaman dan pemusyrikan orang-orang bertawasul terhadap nabi Muhammad alaihis-sholatu wassalam, dan menjadikan istigotsah terhadap baginda nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam sebagai perbuatan musyrik yang mengeluarkan dari agama islam, mereka menganggap orang bertawasul sebagai penyembah kubur, subhanaka hadza buhtanun adzim, (maha suci engkau ini adalah kebohongan yang besar) dari sini kita dapat mengukur kedangkalan dan kepicikan akal mereka , menyamakan bertawasul dengan penyembah kubur adalah pemikiran orang-orang bodoh dan tolol,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Dalam konteks tawasul silahkan baca dalil-dalil ahlu sunnah waljama’ah tentang hakekat tawassul dalam posting kami yang lain yang telah kami jabarkan panjang lebar,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Habislah ulama’-ulama kita, tokoh-tokoh ulama’ yang di akui dan muktabarah tidak luput dari sasaran pensesatan dan di bid’ahkan oleh kelompok extrim ini, bahkan aqidah ahlu sunnah wal jama’ah sekaliber imam nawawi, imam izzuddin bin abdissalam, imam tajuddin assubki, al-hafidz imam ibnu hajar al-atsqolani, dan pada ujungnya imam syafi’I rodiallahu anhum. tidak lepas dari pensesatan dan di anggap ahlu bid’ah oleh mereka, lantaran ulama’ulama’ di atas itulah yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah, </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Siapakah ulama’-ulama’ islam yang tidak di hukumi ahlu bid’ah ( sesat ) oleh wahabi ???? </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">WALLAHUL MUWAFIQ WAHDINA ILA SABILIL MUBIN<br />
INNAKA LAN TAHDI MAN AHBABTA WALAKINNALLAHA YAHDHI MAN YASYA’</div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-40260147141952891772010-04-30T14:28:00.003+07:002010-04-30T14:35:27.040+07:00AQIDAH AHLUL HAQ (2)<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kalimat ahlusunna wal jama’ah apabila di ucap-kan, maka yg di maksud adalah, mereka yg ber aqidah asya’irah,”</span></div><div></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">yang bermadzhab maliki semua adalah asy’ari , yang bermadzhab syafi’i juga asy’ari ” begitupun juga dalam madzhab abu hanifah, semuanya adalah asy’ariyah atau al-maturidiyah, ” dan juga sebagian besar dari madzhab imam ahmad ibnu hanbal juga bermadzhab asy’ari , walau ada beberapa bagian dari mereka yg tdk sehaluan, ” intinya kalu kita persentasekan, maka para tokoh-tokoh ulama’ umat muhammad ini di dominasi oleh madzhab asy’ari ” dalam “hal aqidah”,,mereka di antaranya adalah</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">:1. Imam albaqilani</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. Alqusyairi ,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Abi ishaq as- syairozi,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Abil wafa’ bin aqil al-hanbali,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Abi muhammad al juwainy</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. Anaknya : abil ma’ali imamul haramain</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">7. Hujjatul islam alghozali</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">8. Fahruddin ar-razy</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">9. Ibnu asakir,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">10. Izzuddin bin abdissalam</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">11. Imam nawawi,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">12. Tajudin assubki</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">13. al-hafidz imam Ibnu hajar al atsqolani</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">14. faqihul ummah Ibnu hajar alhaitami,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">15. Imam assayuti,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dan masih bnyak ulama-ulama’ yg terpercya, yg mengikuti aqidah-aqidah asy’ariyah,mereka semua adalah ulama’ nashirussunnah, jikalau ulama’-ulama’ di atas tersebut adalah bukan ahlusunnah wal jama’ah, lalu siapakah ahlussunnah wal jama’ah sebenarnya sepanjang sejarah ? Tidak tersisapun melainkan sebuah ucapan : kebodohan telah menutupi akal dan hati mereka , maka seperti itulah kebenaran terbalik di akhir zaman, orang-orang berilmu mereka , sepelekan, dan orang-orang bodoh mereka anggap orang berilmu, kemudian di mintai fatwa-fatwa, dan tersesatlah serta menyesatkan, dengan demikian secara berlahan-lahan keutuhan agama ini ambruk dan runtuh !</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Siapakah asy’ari itu ?</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“dia adalah imam yg soleh, penolong sunnah, ali bin ismail bin abi bisr ishaq bin salim bin isma’il bin abdillah bin bilal bin abi burdah bin abi musa abdillah bin quis al asy’ari r.A, salah satu dari sahabat rasulillah. Saw.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dia lahir pda tahun 260 h.Dan wafat pda tahun, 324 H.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dari beliaulah lahir tokoh ulama-ulama terdepan penolong sunnah dalam umat ini, mereka antaranya adalah,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">1. Imam alqodhi abi bakar albaqilani,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2.Imam abi thaib bin abi sahal assha’luki</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Imam abi ali addaqqaq</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Imam alhakim annaisaburi,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Imam abi bakar bin faurak,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. Imam alhafidz abi nu’iem al ash-bihanidan lain sebagainya :</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">ahlusunnah wal-jama’ah adalah istilah-istilah yg di tujukan terhadap orang-orang yg berada dalam manhaj salafussoleh yg berpegang kepada alqur’an dan sunnah serta atsar-atsar yg telah di riwayatkan oleh baginda rasul dan para sahabat-sahabatnya untk membedakan dari madzhab-madzhab ahli bid’ah dan ahli hawa nafsu ,” jika istilah-istilah itu (ahlu sunnah wal jama’ah ) di ucapkan dalam kitab-kitab ulama’ .maka, yg di maksud MEREKA adalah, yg beraqidah ASY’ARY , karena mereka adalah orang-orang yg tetap mengikuti sesuai dgn apa yg rasulullah sampaikan, tanpa merubah dan menganti-nya </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">RASULULLAH telah mensifati, bhwa,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">وقد وصف رسول الله صلى الله عليه وسلم : الفرقة الناجية بأنهم السواد الأعظم من الامة</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” FIRQATUN-NAJIYAH golongan-golongan yg selamat adalah, assawadul a’dzom golongan terbanyak dalam umat ini,sifat-sifat tersebut sgt sesuai dan relevan dengan madzhab-madzhab ASY’ARY dan ALMATURIDY, sebab merekalah yg paling banyak dan yang mendominasi dalam umat ini,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dan hal tsbt telah di isyarahkan oleh baginda RASUL, bhwa umat ini tdk akan bersatu atas suatu kesesatan,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">لاتجتمع أمتي على الضلالة</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> ” umatku tdk akan bersatu atas sebuah kesesatan “</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">MEMAHAMI AYAT-AYAT MUTASYABIHAT :</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">ALLAH berfirman</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">هو الذي أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” dia-lah yg menurunkan al kitab (alqur’an ) kepadamu, di antara isinya ada ayat-ayat yg muhkamaat (yg terang dan jelas maksudnya ) itulah pokok-pokok isi al qur’an dan yg lain ayat-ayat mutasyaabihaat : ali imran : 7</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat adalah ayat-ayat yg mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat di tentukan arti mana yg di maksud kecuali sesudah di selidiki secara mendalam ,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">atau ayat-ayat yg pengertianya hanya Allah yg mengetahui seperti ayat-ayat yg berhubungan dengan yg ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yg mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain .</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Contoh-contoh ayat-ayat mutasyaabihat dalam AL-QUR’AN </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"> <span style="color: white;">:1_الرحمن على العرش استوى</span></span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva;">“</span></b>yaitu tuhan yg maha pemurah yg bersemayam di atas arasy ” thaha : 5</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dan ayat-ayat sejenisnya adalah tertera di surah “albaqarah 2: 39 “, fusshilaat 41 :11 , al a’raf 7:54</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. <b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva;"> إن الذين يبايعون الله يد الله فوق أيديهم</span></b></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“bahwasanya orang-orang yg berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada allah, tangan allah di atas tangan mereka ” al fath 48:9</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: white;">3.</span><span style="color: white; font-family: trebuchet ms,geneva;"> <b>وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ولعنوا بما قالوا</b></span><b style="color: white;">“</b></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“orang-orang yahudi berkata : tangan allah terbelunggu ” sebenarnya tangan merekalah yg di belinggu dan merekalah yg di laknat di sebabkan apa yg telah mereka katakan itu.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> almaidah 5: 64</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">maksud dari kalimat di belenggu adalah : kikir ,kalimat-kalimat ini adalah kutukan dari allah terhadap orang-orang yahudi berarti bhwa mereka akan di belenggu di bawah kekuasa’an bangsa-bangsa lain selama di dunia dan akan di siksa dengan belenggu neraka di akhirat kelak,</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4 _<b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva;">بل يداه مبسوطتان ينفق كيف يشاء</span></b> </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“tidak demikian, tetapi kedua-dua tangan allah terbuka, dia menafkahkan sebgaimana dia kehendaki “. almaidah 5: 64</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5 _<b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva;">قال يإبليس مامنعك أن تسجد لما خلقت بيدي</span></b></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“allah berfirman : hai iblis, apakah yang menghalangi kmu sujud kepada yang telah kuciptakan denagn kedua tangan-ku ” shaad 38 : 75</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. <b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva;">ويبقى وجه ربك ذوالجلال والإكرام</span></b></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” dan tetap kekal wajah tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulya’an ” ar-rahman 55 : 27</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">7 _<b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva;">فأينما تولوا فثم وجه ال</span>له</b></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah allah ” albaqarah 2:115</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">DALIL ALLAH TDK MENGAMBIL TEMPAT :</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” kalimat allah berada di atas ” adlah suatu kalimat yg di pakai untk memberi pengertian bhwa allah berada dalam kedudukan yg maha tinggi ” bukan pemahaman bhwa “allah menempati pd suatu tempat yg tinggi yaitu langit” ketika kalimat ” fauqa “(berda di atas) di nisbat kan kepada Allah maka yg di maksud adalah, uluwul haqiqi ” ketinggian secara haqiqat ” bukan uluwul makani atau ” bukan ketinggian secara tempat ” adapun dalil2 yg menunjukan bhwa allah tidak bertempat di suatu arah atas (langit) adalah firman allah dalam alqur’an sebgai berikut :</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">1. Surah al an’am 6: ayat 31</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">_ <b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva;">وهو الله في السموات وفي الأرض يعلم سركم وجهركم ويعلم ماتكسبون</span></b> </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” dialah allah baik di langit maupun di bumi, dia maha mengetahui apa yg kamu rahasiakan dan apa yg kmu lahirkan dan mengetahui pula apa yg kamu usahakan ” al an’am 6:3</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. Az zukhruf 43 : ayat 84</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="color: white;">_</span><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva;"><span style="color: white;">وهوالذي في السماء إله وفي الأرض اله وهو الحكيم العليم</span> </span></b></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva;">“</span></b> dan dialah tuhan di langit dan tuhan di bumi dan dialah yg maha bijaksana lagi maha mengetahui az zukhruf 84</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Albaqarah 2 :115</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله إن الله واسع عليم</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” dan kepunya’an allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah allah, sesungguhnya allah maha luas rahmatnya lagi maha mengetahui ” Albaqarah 2 :115</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Qaaf 50: 16</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">ولقد خلقنا الإنسان ونعلم ما توسوس به نفسه , ونحن أقرب إليه من حبل الوريد</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” dan sesungguhnya kami telah ciptakan manusia dan mengetahui apa yg di bisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya ” qaaf ayat 16</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Al waaqi’ah 56: 85 </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">ونحن أقرب إليه منكم ولكن لا تبصرون</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” dan kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu, tetapi kamu tdk melihat ” al waaqi’ah ayat 85</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dan dalil-dalil yg cukup jelas dari hadist, hanya orang-orang yg mempuyai bashirah yg dapat memahaminya</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">وفي مسلم : عن أبي هريرة رضي الله عنه قال رسول الله : أقرب مايكون العبد من ربه وهو ساجد</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” dari abu hurairah r.A. Rasul bersabda : paling dekatnya hamba terhadpt tuhanya adalah ketika ia sedang bersujud “( H.R. Muslim )”</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">hadist ini jelas membantah terhadp suatu keyakinan bhwa allah bertempat di atas langit “</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dan rasul tdk bicra atas dasar hawa nafsu melainkan dari wahyu yg di wahyukan , dari itulah imam malik memberikan suatu isyarat dari sebuah hadist rasul</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="background-color: purple; color: white; text-align: justify;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">قال رسول الله : لا تفضلوني على يونس بن متى</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” jangan unggul kan saya di atas yunus putra matta ” berkata imam malik: sesungguhnya rasul mengkhususkan nabi yunus, itu semata-semata karena memperingati atas sucinya allah dari mutasyabihat,( yaitu mengambil di tempat tertentusebab rasulullah di angkat ke arasy, dan yunus di tenggelamkan ke dasar laut ,dan nisbat antara keduanya dari segi arah bagi ALLAH JALLA JALALUHU adalah sama yaitu bernisbat satu, )</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">” seandainya segi keutama’an adalah dgn “tempat” tentu RASULULLAH SAW, lebih dekat dari nabi yunus dan lebih utama dari sinilah menjadi suatu bukti yg jelas, bhwa kalimat ” ALLAH” berada di “atas ” adalah atas yg di maksud adalah ” uluwul haqiqi ” berada di atas secara haqiqat , bukan ” uluwul makani bukan berada di atas secara tempat . “</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">WALLAHUL MUWAFFIQ WAHUWA A’LAMU BISSHOWAB </span></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-2048412246482352512010-04-30T14:26:00.000+07:002010-04-30T14:26:12.976+07:00AQIDAH AHLUL HAQ (1)<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan aqidah Islam yang murni sesuai dengan dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahamanan Sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Dengan landasan pokok-pokok inilah ahlus sunnah wal jama’ah beriman, beraqidah dan berda’wah.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ahlus sunnah wal jamaah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya serta beriman kepada hari akhir dan taqdir yang baik dan yang buruk. Mereka adalah yang bersaksi bahwa Allah adalah Rabb dan Ilah yang diibadahi, Dia Maha Esa dengan semua kesempurnaan-Nya. Mereka beribadah dan mengikhlaskan dien hanya kepada-Nya. Mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Mengadakan, Yang Membentuk, Yang Memberi Rizki, Yang Maha Memberi dan Maha Menahan (rizki). Dia mengurusi semua urusan. Dia adalah Ilah yang diibadahi, Yang diesakan dan yang menjadi tujuan. Dialah Al-Awwalu (yang pertama), tiada lagi sesuatupun sebelum-Nya. Dialah Al-Akhiru (yang akhir) tiada sesuatupun setelah-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi, tiada lagi yang di atas-Nya dan Dialah Al-Batin (yang tersembunyi) yang tiada sesuatupun yang lebih tersembunyi dari pada Dia. Dialah Yang Maha Tinggi, dengan semua arti dan makna yang terkandung didalamnya. Maha Tinggi dalam Dzat-Nya, Taqdir-Nya dan dalam kekuasaan-Nya. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dialah yang bersemayam di atas ‘Arsy. Dia bersemayam sesuai dengan keagungan, kemulyaan dan ketinggian-Nya yang mutlak. Ilmu-Nya meliputi segala yang tampak dan yang tersembunyi, yang tinggi dan yang rendah tentang hamba-Nya. Dia mengetahui semua keadaan hamba. Dia Maha dekat lagi Mujib (Mengabulkan do’a). Sesungguhnya Dzat-Nya tidak butuh kepada makhluq sedangkan semua makhluq membutuhkan-Nya setiap saat. Dia Maha Lemah-lembut dan Penyayang kepada hamba, yang tiada nikmat dien, dunia dan terhindar dari siksa kecuali dari-Nya. Dialah pemberi nikmat. Sebagian dari nikmat-Nya, ketika sepertiga malam Dia turun ke langit dunia untuk melihat hajat hamba-Nya. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dia berfirman: Tidaklah hamba-Ku meminta kecuali hanya kepada-Ku. Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, barangsiapa yang meminta pasti Aku beri, barangsiapa meminta ampun pasti Aku ampuni, (yang demikian itu sampai terbit fajar). Dia turun menurut kehendak-Nya dan melakukan apa yang Dia Kehendaki. Tiada sesuatupun yang menyamai-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ahlus sunnah wal jama’ah meyakini bahwa Allah adalah Al-Haakim’ yang di dalam syariat-Nya terdapat hikmah yang sempurna. Tiada ciptaan yang sia-sia. Tidaklah Dia membuat syareat (aturan) kecuali untuk kemaslahatan makhluq.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dialah At-Tawwab Yang Maha Menerima taubat hamba dan mengampuni kesalahan mereka. Dia Yang Maha Memberi ampunan dari dosa-dosa hamba-Nya yang bertaubat, meminta ampun dan kembali kepada-Nya. Dialah Asy-Syakur, Dia membalas amalan hamba meskipun amalan itu sedikit dan dia menambah karunia-Nya kepada hamba yang bersyukur. Ahlus sunnah wal jama’ah mensifati Allah dengan apa yang Dia sifat-kan pada diri-Nya sendiri dan yang disifatkan oleh rasul. Sifat dzatiyah seperti yang Maha Hidup lagi Sempurna yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Maha Sempurna Qudrah-Nya, Maha Agung lagi Maha Besar, yang Maha Mulia lagi Terpuji-yang segala puji mutlak hanya milik-Nya. Dan diantara sifat-sifat fi’liyah-Nya, yang berkaitan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, seperti sifat Rahmah (kasih sayang), Ridha, benci dan sifat kalam (berbicara). </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dia berbicara dengan apa yang Dia kehendaki dan dengan cara yang Dia kehendaki. Ucapan-Nya takkan pernah habis. Sesungguhya Al-Qur’ an adalah kalamullah-bukan makhluk-yang dari-Nya berasal dan kepada-Nya kan kembali. Sesungguhnya Dia senantiasa dan terus bersifat, karena Dia mengerjakan yang Dia inginkan dan berbicara dengan apa yang Dia kehendaki. Dia memutuskan perkara hamba-Nya dengan hukum yang ditentukan-Nya, baik berupa hukum syar’i maupun berupa balasan. Dialah Al-Hakiim yang menghakimi, dan Dialah Al-Maalik yang menguasai. Selain Dia adalah dihakimi dan di kuasai. Hamba tidak akan bisa keluar dari hukum dan kekuasaan-Nya. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ahlus sunnah wal jama’ah beriman kepada apa yang dikabarkan Al-Qur’an dan Hadits mutawatir yaitu: Bahwasannya mereka akan melihat wajah Rabbnya dengan pandangan yang jelas. Dan kenikmatan memandang-Nya adalah sebesar-besar kenikmatan dan keberhasilan mendapat ridha-Nya adalah sebesar-besar kenikmatan. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Mereka meyakini bahwa orang yang mati tanpa ada keimanaan tauhid di dalam hatinya, maka dia kekal di Neraka jahannam selama-lamanya. Sedangkan pelaku dosa besar jika dia mati tanpa taubat dan tak bisa melebur dosa-dosanya serta tidak mendapat syafaat, jika ia masuk neraka, maka tidak kekal di dalamnya. Dan tak seorangpun yang kekal di dalam neraka kalau di dalam hatinya masih terdapat iman walaupuri hanya sebesar biji sawi. Bahwasanya iman itu mencakup keyakinan hati dan amalan hati, amalan anggota badan dan ucapan lisan. Barangsiapa yang bisa mewujudkannya maka ia menjadi mukmin sejati yang berhak mendapat balasan dan selamat dari siksa. Barangsiapa yang menguranginya maka imannya berkurang menurut kadar pengurangannya. Oleh karena itu iman bertambah dengan ketaatan dan amalan baik dan akan berkurang dengan maksiat dan amalan buruk. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Karakter dasar mereka adalah selalu berusaha dan bersungguh-sungguh dalam hal yang bermanfaat baik urusan die maupun dunia dengan meminta tolong kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Semua gerak-gerik mereka selalu dikerjakan dengan ikhlas dan mengikuti petunjuk rasul serta memberi nasehat kepada ummat dengan petunjuk rasul. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Mereka bersaksi bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Allah mengutusnya dengan petunjuk dan dien yang hak agar dien ini menang diantara dien-dien yang lain. Beliau adalah manusia yang (lebih berhak dihormati) oleh kaum muslimin daripada diri mereka sendiri, dan beliau adalah penutup para nabi. Beliau diutus untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan kepada jin dan manusia. Sebagai penyeru (untuk bertauhid) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan pembawa lampu yang terang dengan izin-Nya. Beliau diutus untuk kemaslahatan dien dan dunia, agar hamba beribadahnya kepada-Nya dan meminta rizki hanya kepada-Nya jua. Mereka mengetahui bahwa beliau adalah orang yang paling berilmu, paling jujur, paling banyak memberi nasehat dan paling agung ucapannya diantara manusia. Sehingga mereka mengagungkan dan mencintainya. Mereka lebih mendahulukan cintanya kepada beliau daripada kepada semua makhluk. Mereka berdien dengan mengikuti beliau, baik pokok maupun cabangnya. Mereka lebih mendahulukan ucapan dan petunjuk beliau daripada ucapan dan petunjuk orang lain. Mereka yakin bahwasannya Allah mengumpulkan sifat-sifat utama dan kepribadian yang sempurna pada diri beliau, yang tidak pernah diberikan kepada yang lain. Kedudukan beliau paling tinggi dan paling agung diantara makhluq, serta paling sempurna fadilahnya diantara mereka. Tiada satu kebaikanpun yang tidak ditunjukkan kepada ummatnya, dan tiada satu keburukanpun kecuali telah beliau peringatkan agar menjauhinya. Mereka juga beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada semua rasul yang diutus. Mereka tidak membedakan salah satu diantara mereka. Mereka beriman kepada semua taqdir. Tidaklah semua amal yang baik dan yang buruk kecuali Ilmu Allah meliputinya dan Qalam-Nya mencatat. Semua berlaku di atas kehendak-Nya, dan semua terikat dengan hikmah-Nya. Dia juga menciptakan (memberi) kehendak dan kemampuan kepada hamba yang dengannya mereka berbicara dan bekerja menurut kehendak mereka. Allah tidak memaksa hamba terhadap suatu hal tapi disuruh memilihnya. Bagi seorang mukmin lebih memilih dan mencintai keimanan serta dijadikannya sebagai perhiasan di dalam hatinya dan benci terhadap kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dan landasan pokok ahlus sunnah adalah mereka berdien dengan (taat kepada) nasehat Allah, kitab-Nya, para pemimpin umat dan kepada semua kaum Muslimin. Mereka selalu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar sesuai dengan yang diwajibkan dalam syariat. Memerintahkan supaya berbuat baik dengan orang tua dan menyambung silaturahim, berbuat baik kepada tetangga, para penguasa, para pejabatnya dan kepada semua saja yang mempunyai hak. Mereka selalu menyeru kepada akhlaq yang mulia, kepada kebaikan dan melarang akhlak yang jelek lagi hina.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ahlus sunnah meyakini bahwa orang mukmin yang paling sempurna iman dan keyakinannya adalah yang paling baik akhlak dan amalnya, paling jujur perkataannya, yang lebih cenderung pada kebaikan keutamaan serta menjauhkan diri dari setiap kejelekan. Mereka selalu memerintahkan untuk menegakkan syariat-syariat dien dengan apa yang datang dari rasul tentang sifat dan kesempurnaannya serta melarang merusakkan dan merobohkan dien.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ahlus sunnah memandang bahwa jihad fi sabilillah tetap wajib bersama pemimpin yang baik maupun yang fajir. Jihad adalah puncak ketinggian Islam. Jihad dengan ilmu dan hujah, jihad dengan senjata merupakan fardhlu bagi setiap muslim dengan segala kemampuannya guna membela dien. Mereka selalu menghimbau agar kaum muslimin satu kata dan berusaha untuk saling mendekatkan hati serta saling berkasih sayang dengan kaum muslimin. Mereka melarang perpecahan, benci, permusuhan dan segala sarananya. Mereka melarang menganiaya manusia baik darah, harta, maupun kehormatan mereka serta hak-hak mereka, memerintah berbuat adil dan jujur dalam hubungan mu’amalah dengan sesama, serta menganjurkan untuk senantiasa berbuat baik dan mencari keutamaan dalam mu’amalah itu. Mereka menyakini bahwa sebaik-baik umat adalah umat Muhammad dan sebaik-baik ummat Muhammad adalah para sahabat, khususnya Khulafaur Rasyidin, sepuluh orang yang dijamin masuk surga, ahlul badr, peserta bai’atur ridwan dan orang-orang terdahulu dari Muhajirin dan Anshar. Ahlus sunnah mencintai mereka semua, dan mereka tunduk kepada Allah dengan cara itu. Mereka menyebarkan kebaikan para sahabat dan mendiamkan kejelekan mereka.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ahlus sunnah berdien karena Allah dengan menghormati para ulama sebagai petunjuk jalan, para pemimpin yang adil dan orang-orang yang mempunyai maqam (kedudukan) yang tinggi dalam agama, serta mereka yang mempunyai keutamaan diantara kaum muslimin. Mereka memohon kepada Allah supaya terhindar dari keraguan, kesyirikan, perpecahan, kenifakan, akhlak yang jelek dan mereka berdo’a supaya diteguhkan dalam dien nabi Muhammad sampai akhir hayat. Dengan landasan pokok-pokok inilah ahlus sunnah wal jama’ah beriman, beraqidah dan berda’wah. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="color: red; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">SEMOGA KITA TETAP DALAM AQIDAH INI AQIDAH YANG SALIM AHLU SUNNAH WAL-JAMA’AH TANPA MEMAKAI LEBEL SALAFY ATAU WAHABY , PARA SAHABAT DAN TABI’IN TIDAK ADA YANG MENGGUNAKAN LEBEL SALAFY ….! YANG ADA ADALAH : KAMI MUSLIM BERAQIDAH AHLU SUNNAH WAL-JAMA’AH DAN KAMI BANGGA “</span></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-65042757115817896812010-04-30T14:15:00.003+07:002010-04-30T14:17:02.602+07:00MENELUSURI BID-AH YANG SESAT (bag 3 )<span style="font-size: small;">“berkata imam nawawi dalam kitabnya ( riyadus sholihin 102 ) hadist yg menjelaskan :”( setiap perbuatan bid’ah itu sesat ) ” yg di maksud sesat dalam hadist ini adalah : setiap perbuatan bid’ah yg tdk mempunyai standard ukuran asal dari hukum syara’ ” berbeda jikalau perbuatan-perbuatan baru ( bid’ah ) tersebut mempunyai standard ukuran asal dari hukum syareat, maka ia adalah perbuatan bid’ah yg baik , standart ukuran pencela’an terhadap perbuatan bid’ah : bukan cuma sebatas setiap sesuatu yg baru yg tidak ada contohnya saja” akan tetapi harus di barengi oleh sampai di mana perbuatan-perbuatan bid’ah tersebut menyalahi ketentuan-ketentuan sunnah & penjaga’anya terhadap dholalah (kesesatan) ” dari situlah perbuatan-perbuatan bid’ah terbagi menjadi lima hukum ” sebab setiap perbuatan-perbuatan bid’ah apabila menimpa terhadap dasar kaidah-kaidah syareat maka ia tdk akan lepas dari hukum-hukum syareat tersebut , ( riyadussolihin 102)</span><br />
<div style="background-color: purple; direction: ltr; margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: small;">.<b>فإن كل بدعة ضلالة : والمراد باالضلالة هنا ماليس له أصل في الشرع بخلاف محدث له أصل في الشرع فإنه حسن</b></span></div><div style="background-color: purple; direction: ltr; margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><b><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">فمنشأ الذم في البدعة ليس مجرد لفظ محدث أو بدعة : بل ما اقترن به من مخالفته للسنة ورعايته للضلالة، ولذا انقسمت البدعة إلى الأحكام الخمسة لأنها إذا عرضت على القواعد الشرعية لم تخل عن واحد منها _ انتهى من كلام الأمام نواوي ( رياض الصالحين</span></b> 102</div><div style="direction: ltr; margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva;">” diriwayatkan dari sayyidatina aisyah,sa. Beliau berka</span>ta :”rasulullah tidak pernah menambah dari sebelas rakaat dalam solat di bulan ramadhan, maupun di lain bulan ramadhan, ( al-hadist) “jumlah hitungan raka’at tersebut , mencakup pda qiyamullail rasul dan witirnya di bulan ramadhan atau di lain bulan ramadhan , dan tidak pernah di tetapkan dari hadist manapun bhwa :rasulullah solat dua puluh raka’at , “imam asysayuti menyebutkan solat dua puluh raka’at di bulan ramadhan , mereka lakukan pada masa sayyidina umar ra,dan mengutip dari imam assubki rahimahullah ta’ala, bhwa solat dua puluh raka’at masih tetap berlaku sampai sekarang</span></div><div style="direction: ltr; margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: small;"> ” lihat di kitab ( al-hawi lil fatawa 347- 350 ) karangan imam asy-sayuti rahimahumullah,</span></div><div style="direction: ltr; margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-size: small;">” solat taraweh di bulan ramadhan tersebut menurut imam syafi’i dua puluh raka’at bagi penduduk di luar kota madinah dengan sepuluh salam ” bersesuaiandengan apa yg merka lakukan di masa sayyidina umar , ketika beliau menyatukan para jama’ah untk solat di belakang satu imam, dan para sahabat yg lainpun menyetujui..</span></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-19228142191036067032010-04-30T14:13:00.001+07:002010-04-30T14:23:40.093+07:00MENELUSURI BID-AH YANG SESAT (bag 2 )<div style="direction: ltr; margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i>من أحدث في أمرنا ماليس منه فهو رد الحديث رواه شيخان</i></b></i></span></div><div></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i> </i></b><b><i>” barang siapa yg mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan kami ini yg bukan dari kami maka dia tertolak “(</i></b><b><i> H.R. Bukhari </i></b><b><i></i></b><b><i>& muslim )</i></b><b><i> </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i> </i></b><b><i> </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i>“berkata al-hafidz ibnu rajab ” rahimahullah :</i></b><b><i>hadist di atas dalam manthuqnya menunjukan bhwa : setiap perbuatan yg tdk masuk dalam urusan syare’at maka tertolak,</i></b><b><i> </i></b><b><i>akan tetapi dalam mafhum nya menunjukan bhwa : setiap perbuatan yg</i></b><b><i>masih dalam urusan syare’at maka ia di terima dalam artian tdk tertolak “</i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i>“</i></b><b><i> </i></b><b><i>وقال الإمام العلامة عبد الله الغماري : إن هذا الحديث مخصص لحديث ( كل بدعة ضلالة) إذ لوكانت البدعة </i></b><b><i>ضلالة بدون استثناء لقال الحديث : : من أحدث في أمرنا هذا شيئا فهو رد . لكن لما قال ( من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد ) أفاد المحدث نوعان</i></b><b><i> :</i></b><b><i> </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i>“berkata imam al-allamah abdullah al-ghamari “</i></b><b><i>hadist di atas ( man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun ) adalah sebgai hadist mukhassis (memperkhusus ) daripada sebuah hadist </i></b><b><i></i></b><b><i>” kullu bid’atin dholalah “</i></b><b><i>sebab jikalau semua perbuatan bid’ah di anggap sesat, tanpa terkecuali, maka tentu kalimat hadist di atas berbunyi ( man ahdatsa fi amrina hadza sya’ian fahuwa roddun : tidak ada kalimat ” ma laisa minhu “nya ) akan tetapi ketika hadist di atas berbunyi : man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun )</i></b><b><i> maka hadist tersebut memberikan dua pengertian :</i></b><b><i> </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i>1. ماليس من الدين : بأن كان مخالفا لقواعده ودلائله .فهو مردود :وهو البدعة الضلال</i></b><b><i>.</i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i> Perbuatan baru yg bukan dari agama , yaitu perbuatan-perbuatan baru yang menyalahi kaidah-kaidah agama dan dalil-dalilnya : ini adalah tertolak dan bid’ah semacam inilah yg sesat ,</i></b><b><i> </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i>2. وماهو من الدين: بأن شهد له أصل أو أيده دليل :فهو صحيح مقبول . وهو البدعة الحسنة</i></b><b><i>. </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i>Perbuatan-perbuatan yg dari agama, yaitu perbuatan baru yg mempunyai standard ukuran hukum asal, atau di dukung oleh dalil-dalil yg menguatkan, perbuatan bid’ah semcam ini di terima dan tidak tertolak, inilah yg di sebut ” bid’ah hasanah “</i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i> , </i></b><b><i></i></b><b><i>ويؤيد حديث جرير عند مسلم ( من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئ ،</i></b><b><i> </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i>hal tersebut di dukung oleh hadist jarir menurut imam muslim :</i></b><b><i> </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b>“<i> barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg baik maka ia mendapat pahala serta mendapat pahala orang-orang yg mengamalkan setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun “</i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i> ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيئ</i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i>” barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg buruk, maka ia akan mendapat dosa serta mendapat dosa dari orang-orang yg melakukan setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun ” (</i></b><b><i>H.R.muslim) </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i> </i></b><b><i>وكذا حديث ابن مسعود عند مسلم من دل على خير فله أجر فاعله</i></b><b><i> </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i>“begitupun juga hadist ibnu mas’ud menjelaskan “</i></b><b><i> barang siapa yg memberikan petunjuk terhadap kebaikan maka ia mendapat pahal sebagaimana pahala orang-orang yg mengerjakanya “(</i></b><b><i> H.R. Muslim ) </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i> </i></b><b><i>وحديث أبي هريرة عند مسلم : من دعى إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لاينقص من أجورهم شيئ، ومن دعى إلى ضلالة كان عليه من الأثم مثل إثم من تبعه لا ينقص من إثمهم شيئ</i></b><b><i> </i></b></i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><i><b><i> ” serta hadist abi hurairah “</i></b><b><i> barang siapa yg mengajak kepda petunjuk maka ia mendapat pahala sebgaimana pahala orang yg mengikuti petunjuk tsbt , tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun “</i></b><b><i>dan barang siapa yg mengajak kesesatan, maka ia mendapat dosa sebagaimana dosa-dosa orang yg mengikuti kesesatan tersebut, tanpa mengurangi dari dosa-dosa mereka sedikitpun ” ( H.R. Muslim )</i></b></i></span></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-4837210351037416652010-04-30T13:35:00.003+07:002010-04-30T14:22:45.477+07:00MENELUSURI BID-AH YANG SESAT (bag 1 )<div style="color: red; text-align: justify;"><i><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><b>Bid’ah-bid’ah, harus di singkirkan setiap perbuatan bid’ah itu sesat , merayakan maulidurrasul sesat,tahlilan budaya hindu ,dzikir berjema’ah tidak pernah ada contoh dari rasul, kalimat ini sangat populer dan sering</b></span></i></div><div style="color: red; text-align: justify;"><i><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><b> kita jumpai dalam komunitas muslimin yang melebelkan dirinya sebagai : </b></span></i></div><div style="text-align: justify;"><i><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><b><span style="color: red;">“salafy” </span></b></span></i></div><div style="text-align: justify;"><i><span style="font-family: comic sans ms,sand; font-size: medium;"><b><span style="color: red;"></span>sangat di sayangkan kelompok yang mengaku merujuk langsung kepada para sahabat yang hidup pada masa nabi SAW tanpa harus melewati para ulama’ empat madzhab ini kurang begitu memahami atau kalau boleh di bilang tidak mengetahui definisi-definisi bid’ah secara benar , </b></span></i><b><i><span style="font-family: Comic Sans MS; font-size: medium;">ulama’-ulama’ muslimin dari masa tabi’in sampai sa’at ini tidak keberatan apabila perbuatan bid’ah yang jelas-jelas sesat serta tidak ada sumber hukum bahkan menyalahi ketentuan sunnah di berantas ,bahkan mereka sangat menekankan hal semcam itu apabila di biarakan maka kemurnian sunnah terkikis dan terkubur dalam peradaban dan budaya, namun , kelompok yang melebelkan dirinya sebagai “salafy” mengingkari perkata’an khalifah kedua umar bin khatab yang jelas-jelas mengakui tidak semua bid’ah dapat di sesatkan , sebab apabila perbuatan yang baru tersebut tidak menyalahi ketentuan sunnah serta mempunyai standard hukum dari hukum asal syareat , maka ia adalah “bid’ah hasanah, </span></i></b></div><div style="text-align: justify;"><i><span style="font-family: Comic Sans MS; font-size: medium;"><b>dari sinilah berkata imam nashirussunnah ” imam syafi’i ra.</b></span></i><i></i></div><div style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;"><i><span style="font-family: Comic Sans MS; font-size: medium;"><i>“</i><i>pembagian-pembagian bid’ah menurut imam syafai’i, ada dua</i><i> ,</i><i>1.</i><i>Hasanah ( baik</i><i> )</i><i>2.</i><i>Sayyi’ah {</i><i></i><i> buruk</i><i> }</i><i>beliau berkata : bid’ah itu ada dua macam , 1.Bid’ah yg terpuji, 2. Bid’ah yg tercela</i><i> ,</i><i>“</i><i>setiap perbuatan bid’ah yg sesuai ( tdk menyalahi ketentuan sunnah ) maka ia adalah bid’ah yg terpuji</i><i>, </i><i>dan setiap perbuatan bid’ah yg menyalahi /menyimpang dari ketentuan sunnah maka ia adalah bid’ah yg tercela</i><i> ‘</i></span></i></div><div style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;"><i><span style="font-family: Comic Sans MS; font-size: medium;"><i>“Lih</i><i>at di kitab ( khilyatul awliya’ 9/113 ) karangan abi nu’iem</i><i> ,dan lihat juga (</i><i> </i><i>fathul bari 13 / 253 )</i><i>.</i><i> </i><i>” karangan al-hafidz ibnu hajar al-atsqolani”</i></span></i></div><div style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;"><i><span style="font-family: Comic Sans MS; font-size: medium;"><i>berkata imam nawawi dalam kitabnya ( tahdzibul asma’ wallughat</i><i> )</i><i>” </i><i>definisi bid’ah menurut ukuran syara’ adalah : setiap sesuatu yang baru yg tdk ada di zaman rasul saw. Dan itu terbagi menjadi 1. Bid’ah yg hasanah ( baik ) 2. Bid’ah qobihah (buruk)</i><i> </i><i>” </i><i>Bahkan sulthanul ulama abu muhammad bin abdul aziz bin abdissalam berpendapat tentang masalah bida’ah dalam sebuah kitabnya ( al-qowa’idul qubra : 2/337</i><i> ) </i><i>beliau berkata:</i><i> </i><i>“b</i><i>id’ah mempunyai lima hukum</i><i>, </i></span></i></div><div style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;"><i><span style="font-family: Comic Sans MS; font-size: medium;"><i>1. </i><i>bid’ah mempunyai hukum wajib ” seperti melakukan aktivitas untk mempelajari ilmu nahwu yg denganya dapat memamahi kalam-kalam allah dan rasulnya, sebab menjaga syareat adalah merupakan suatu kewajiban juga</i><i> ” </i><i>2. </i><i>Bid’ah mempunyai hukum mandub, seperti mengadakan, tempat-tempat pesantren </i><i></i><i>, dan tempat-tempat madaaris , serta setiap perbuatan yg di anggap baik yg tdk ada di masa angkatan pertama (masa para sahabat</i><i> ) </i><i> </i><i>3. </i><i>Bid’ah yg mempunyai hukum makruh , adalah seperti ” memperindah dan menghiasi masjid-masjid</i><i>,</i></span></i></div><div style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;"><i><span style="font-family: Comic Sans MS; font-size: medium;"><i>4. </i><i>Bid’ah yg mempunyai hukum mubah, seperti mengembangkan warna-warna pakaian atau makana-makanan dan lain sebgainya</i><i>,</i><i> </i><i>5. </i><i>Bid’ah yg mempunyai hukum haram , ” adalah seperti perbuatan bid’ah yg di lakukan madzhab-madzhab qodariyah, jabariyah , syi’ah, muktazilah, hasyawiah, khawarij, mujassamah, dan lain sebgainya yg menyalahi dari ketentuan-ketentuan sunnah</i><i>,</i><i> </i><i>” </i></span></i></div><div style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;"><i><span style="font-family: Comic Sans MS; font-size: medium;">perbuatan <i>bid’ah di perlihatkan sesuai atas dasar kode etik ( kaidah-kaidah ) syari’at</i><i>,</i><i> </i><i>” </i><i>apabila masuk pada kaidah-kaidah wajib maka bid’ah mempunyai hukum wajib, atau masuk pda kaidah-kaidah haram, maka bid’ah berhukum haram, atau masuk terhdap kaidah mandub , makruh dan mubah, maka ia berhukum, mandub, makruh,dan mubah pula</i><i>,</i><i> </i></span></i></div><div style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;"><i><span style="font-family: Comic Sans MS; font-size: medium;">lihat ( al-qowa’idul kubra: 2/337)</span></i></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-20945518448385406742010-04-30T10:38:00.003+07:002010-04-30T12:02:47.689+07:00SIAPAKAH AHLI BID’AH ITU<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXOmh_mQsw2LE0B6ufNqPHoIEjqeAsu6CbVeFeXw-tehozwO6buOOYaXUzJv1L-GZb9BRow2Qb67Y2PYJY0t0KvBJCxU5iaHSNg4KwSLdoya9YIcQzjPqv7IvRBs3MkHCNh3veNc97SVMV/s1600/Stop.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXOmh_mQsw2LE0B6ufNqPHoIEjqeAsu6CbVeFeXw-tehozwO6buOOYaXUzJv1L-GZb9BRow2Qb67Y2PYJY0t0KvBJCxU5iaHSNg4KwSLdoya9YIcQzjPqv7IvRBs3MkHCNh3veNc97SVMV/s320/Stop.jpg" width="273" /></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Rasul bersabda, “Ummatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau: “Siapakah mereka (yang satu golongan itu), wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” [HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim]</span></div><div></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Wahai ummat Islam, marilah kita bersatu dalam jama’ah Rasul dan para shahabatnya! Dan tinggalkanlah aliran-aliran yang memisahkan diri dari jama’ah ini! Tinggalkanlah jama’ah-jama’ah ahli bid’ah! Tinggalkanlah jama’ah-jama’ah yang berbeda dengan para ulama-ulama terdahulu yang shalih!</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Siapakah jama’ah-jama’ah ahli bid’ah itu? Mereka yang menolak manhaj salafush sholih, itulah para ahlul bid’ah. Bagaimanakah ciri-ciri mereka menurut ulama-ulama kita? Diantaranya, mereka itu:</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">1. Menolak adanya bid’ah hasanah. Padahal para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui adanya bid’ah hasanah. <a href="http://artikelislami.wordpress.com/2008/04/05/bidah/">[1]</a></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">2. Mengharamkan perayaan Maulidur Rasul. Padahal para Muhaddits pun merayakannya.<a href="http://artikelislami.wordpress.com/2008/03/29/salafush-shalih-pun-bermaulid/">[2]</a> Bahkan Shahabat pun bermaulid.<a href="http://artikelislami.wordpress.com/2007/11/28/shahabat-pun-bermaulid/">[3]</a> Bahkan Rasul sendiri melakukannya.<a href="http://artikelislami.wordpress.com/2007/11/28/merayakan-maulidur-rasul-saaw/">[4]</a></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">3. Mengharamkan tawassul dengan Nabi.<a href="http://artikelislami.wordpress.com/2007/10/29/dalil-dalil-tawassul/">[5]</a></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">4. Mengharamkan mengirim hadiah pahala untuk mayit.<a href="http://artikelislami.wordpress.com/2007/10/18/mengirim-pahala-bagi-mayit/">[6]</a><br />
Dalam Majmu’ fatawa juz 24 hal.306 ibnu Taymiyyah menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma’ (konsensus ulama’). Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli bid’ah”.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">5. Mengharamkan tabarruk.<a href="http://artikelislami.wordpress.com/2007/12/03/tabarruk/">[7]</a></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">6. Mengharamkan mencium tangan ulama shalih.<a href="http://artikelislami.wordpress.com/2007/12/05/berdosakah-aku-jika-menciumnya/">[8]</a></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">7. Mengharamkan dzikir berjama’ah.<a href="http://artikelislami.wordpress.com/2008/03/30/dzikir-berjamaah/">[9]</a><br />
Padahal, kita semua maklum bahwa membaca takbir di Masjid secara berjama’ah dan mengangkat suara pada malam hari raya adalah sunnah.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">8. Mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah SAW.<br />
Dalam qasidah Nuniyyah (bait ke 4058 ) Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ziarah ke makanm Nabi SAW adalah salah satu ibadah yang paling utama, tulisnya “Diantara amalan yang paling utama adalah ziarah ini. Kelak menghasilkan pahala melimpah di timbangan amal pada hari kiamat”. Sebelumnya ia mengajarkan tata cara ziarah (bait ke 4046-4057). Diantaranya, peziarah hendaklah memulai dengan sholat dua rakaat di masjid Nabawi. Lalu memasuki makam dengan sikap penuh hormat dan ta’zhiim, tertunduk diliputi kewibawaan sang Nabi. Bahkan ia menggambarkan pengagungan tersebut dengan kalimat “Kita menuju makam Nabi SAW yang mulia sekalipun harus berjalan dengan kelopak mata” (bait 4048).</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">9. Menolak untuk bermadzhab.<a href="http://artikelislami.wordpress.com/2008/03/09/hukum-bermadzhab/">[10]</a></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jika Anda menemukan hal-hal itu dalam kelompok Anda, maka berhati-hatilah! Karena mungkin saja kelompok Anda itu adalah kelompok ahlul bid’ah.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sebenarnya, ummat Islam pun telah berpecah-belah sejak dahulu, dan tepatlah apa yang diberitakan oleh Rasulullah SAW yang bersifat ash-shadiqul-amin. Rasulullah, ketika ditanya oleh shahabt, “Siapakah golongan yang selamat dari neraka?” Beliau menjawab, “Mereka adalah golongan yang menuruti langkahku dan langkah para shahabatku.” Selanjutnya beliau berpesan pula, “Apabila terjadi suatu perselisihan, maka hendaklah kamu senantiasa berpihak kepada golongan yang terbanyak dari kaum Muslimin.”</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Alhamdulillah, sejak dahulu hingga sekarang, para ahlis sunnah wal jama’ah inilah yang merupakan golongan terbanyak dari kaum Muslimin. Tak pelak lagi, bahwa mereka itulah golongan yang selamat. Karena mereka itu senantiasa berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an dan petunjuk Rasulullah SAW. Mereka senantiasa mengikuti ajaran yang dibawa oleh para salafush sholih dari golongan para shahabat dan tabi’in radhiyallahu ‘anhum.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Merayakan Maulid<br />
Maulid telah dirayakan juga pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi. Di berbagai negeri, maulid telah dirayakan oleh mayoritas kaum Muslimin. Hingga datang suatu makhluq dari tempat timbulnya tanduk setan, Nejd. Lalu makhluq itu diikuti oleh minoritas kaum Muslimin yang menyempal dari Jama’ah yang hingga saat ini terus menimbulkan firqoh-firqoh baru yang lebih kecil.<br />
Diantara mereka ada yang berkata, “Apakah nabi atau pun shahabat merayakan Maulidur Rasul?”<br />
Maka kita jelaskan kepada mereka bahwa Nabi SAAW mengistimewakan hari lahirnya SAAW, sebagaimana beliau SAAW mengistimewakan hari diselamatkannya Nabi Musa as. Nabi berpuasa pada hari Senin sebagaimana Nabi berpuasa pada 10 Muharram, hari di mana Nabi Musa diselamatkan.<br />
Tentang keistimewaan hari lahir Nabi saw, terdapat hadits shahih dari Abi Qatadah, beliau menceritakan bahwa seorang A’rabi (Badawi) bertanya kepada Rasulullah saw: “Bagaimana penjelasanmu tentang berpuasa di hari Senin? maka Rasulullah saw menjawab, ‘Ia adalah hari aku dilahirkan dan hari diturunkan kepadaku Al-Qur’an” [Syarh Shahih Muslim An-Nawawi 8 / 52]<br />
Maka merayakan dan bergembira atas lahirnya Rasul bukanlah perkara baru yang ditambah-tambahkan. Bahkan Allah menyuruh kita untuk bergembira atas karunia dari- Nya. Lahirnya Rasulullah adalah termasuk karunia terbesar bagi kita. Maka sunnahnya merayakan kelahiran Rasul tidak bisa dibantah hanya dengan perkataan ustadz-ustadz ekstrim. Agama kita bukanlah agama ‘qola ustadz’, tetapi ‘Qolallahu wa qolarrasul’. Dan tidak pernah Allah atau pun Rasul-Nya menyuruh kita untuk bersedih atas wafatnya Rasul kelak.<br />
Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. [QS. Yunus: 58]<br />
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiya: 107]<br />
Mereka berkata, “Tetapi bentuknya berbeda dengan cara Nabi.” Kita jelaskan kepada mereka bahwa tidak ada aturan khusus dalam hal ini. Sehingga bentuknya bebas, selama tidak mengandung kema’siatan. Dan acara perayaan maulid tidak terpaku pada tanggal 12 Rabi`ul Awwal . Bahkan di Masjid Al- Munawar Pancoran, Jakarta Selatan, pembacaan riwayat maulidur Rasul dilakukan setiap Senin malam tiap minggunya sepanjang tahun. Karena mereka begitu gembira atas kelahiran Nabiyur Rohmah SAAW.<br />
Lalu tanyakan kepada mereka, “Apakah Nabi pernah membangun Masjid?” Tentu mereka membenarkan bahwa Nabi pernah membangun Masjid. Maka membangun Masjid dan merayakan maulidur Rasul adalah dua hal yang telah dilakukan Rasul.<br />
Tanyakan lagi kepada mereka, “Apakah bentuk Masjid yang dibangun Rasul itu seperti yang umum dibangun saat ini?” Maka mereka akan mengatakan bahwa bentuk Masjid sekarang ini berbeda dengan bentuk Masjid di zaman Rasul.<br />
Jelaskan kepada mereka bahwa perbedaan bentuk Masjid tersebut juga telah menyebabkan perbedaan dalam hal adab memasuki Masjid. Jika dahulu seseorang shalat dengan tetap mengenakan terompah, sekarang kita sholat dengan meletakkan terompah di luar Masjid seperti yang dilakukan Musa di lembah suci Thuwa. Lalu tanyakan kepada mereka, “Apakah membangun Masjid dengan bentuk yang sekarang dan melepaskan terompah di luar Masjid merupakan perbuatan bid’ah dholalah?” Jika mereka menjawab, “tidak,” maka jelaskan kepada mereka bahwa merayakan maulidur Rasul dengan bentuknya yang sekarang bukanlah bid’ah dholalah.<br />
Sepertinya, tidak mungkin mereka menyatakan bahwa melepaskan terompah di luar Masjid itu bid’ah dholalah karena menyelisihi sunnah Rasul dan meniru Yahudi. Dan tidak mungkin mereka menyatakan bahwa membangun Masjid dengan bentuknya yang sekarang adalah bid’ah dholalah dengan alasan tidak dicontohkan Rasul, meniru adat/kebiasaan non- Muslim, dan menimbulkan bid’ah lainnya. Karena, jika mereka menyatakan demikian, katakan saja kepada mereka, “Mengapa kalian tidak mengenakan saja terompah kalian di dalam Masjid? Mengapa tidak kalian hancurkan saja kubah-kubah dan lantai- lantai marmer Masjid yang kalian klaim tasyabbuh kepada bangunan non-Muslim? Mengapa kalian tetap shalat di dalamnya, sedangkan menurut kalian Masjid-Masjid sekarang dibangun atas dasar bid’ah dan bukan atas dasar taqwa?”<br />
Maka jelaslah bahwa merayakan maulidur Rasul dengan bentuk berkumpul di Masjid atau suatu tempat, dengan membaca shalawat, Al-Qur’an, Hadits, riwayat kelahiran Rasul SAAW bukanlah bid’ah dholalah. Berlonggar dalam hal makanan dan minuman pada perayaan Maulid bukanlah bid’ah dholalah. Menghadirinya bukanlah perbuatan bid’ah dholalah. Menabuh tabuhan dan berqoshidah/bernasyid dalam perayaan Maulid bukanlah bid’ah dholalah. Karena yang demikian itu adalah bentuk kegembiraan yang diperbolehkan dalam perayaan.</span></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-50161392932378299502010-04-30T10:07:00.000+07:002010-04-30T10:07:06.967+07:00Mau Beli Kitab Baru? Hati-Hati dengan Distorsi Wahabi<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjF7TPXSP07lTPB_fpxpDDs0XEWyeu_jHRGP6Z94YQ_8QKBTGNOg4-tTWI5ySHfwPormcRj_cR8-r5by6cj3ikjxUzx6WhsSjObF0szN-79OgTEvVj498NHpFem6ZQWEov_tPUJUXD1ZIs_/s1600/Kitab+Palsu.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjF7TPXSP07lTPB_fpxpDDs0XEWyeu_jHRGP6Z94YQ_8QKBTGNOg4-tTWI5ySHfwPormcRj_cR8-r5by6cj3ikjxUzx6WhsSjObF0szN-79OgTEvVj498NHpFem6ZQWEov_tPUJUXD1ZIs_/s320/Kitab+Palsu.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;">Sejak abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya gerakan baru yang lahir di Najd. Gerakan ini dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dan populer dengan gerakan Wahabi. Dalam bahasa para ulama gerakan ini juga dikenal dengan nama <em>fitnah al-wahhabiyah</em>, karena dimana ada orang-orang yang menjadi pengikut gerakan ini, maka di situ akan terjadi fitnah. Di sini kita akan membicarakan fitnah Wahabi terhadap kitab-kitab para ulama dahulu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div> </div><div style="text-align: justify;">Sudah menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahabi berupaya keras untuk menyebarkan ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi pendahulu mereka, kaum <em>Mujassimah</em> yang memang lihai dalam men-<em>tahrif</em> kitab.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Pada masa dahulu ada seorang ulama Mujassimah, yaitu Ibn Baththah al-’Ukbari, penulis kitab <em>al-Ibanah</em>, sebuah kitab hadits yang menjadi salah satu rujukan utama akidah Wahabi. Menurut al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi, Ibn Baththah pernah ketahuan menggosok nama pemilik dan perawi salinan kitab <em>Mu’jam al-Baghawi</em>, dan diganti dengan namanya sendiri, sehingga terkesan bahwa Ibn Baththah telah meriwayatkan kitab tersebut. Bahkan al-Hafizh Ibn Asakir juga bercerita, bahwa ia pernah diperlihatkan oleh gurunya, Abu al-Qasim al-Samarqandi, sebagian salinan Mu’jam al-Baghawi yang digosok oleh Ibn Baththah dan diperbaiki dengan diganti namanya sendiri.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Belakangan Ibn Taimiyah al-Harrani, ideolog pertama aliran Wahabi, seringkali memalsu pendapat para ulama dalam kitab-kitabnya. Misalnya ia pernah menyatakan dalam kitabnya <em>al-Furqan Bayna al-Haqq wa al-Bathil</em>, bahwa al-Imam Fakhruddin al-Razi ragu-ragu terhadap madzhab <em>al-Asy’ari</em> di akhir hayatnya dan lebih condong ke madzhab <em>Mujassimah</em>, yang diikuti Ibn Taimiyah. Ternyata setelah dilihat dalam kitab <em>Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyyah</em>, karya Ibn al-Qayyim, murid Ibn Taimiyah, ia telah men-<em>tahrif</em> pernyataan al-Razi dalam kitabnya <em>Aqsam al-Ladzdzat</em>.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Tradisi <em>tahrif</em> ala Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang mereka warisi dari pendahulunya, kaum Mujassimah itu, juga berlangsung hingga dewasa ini dalam skala yang cukup signifikan. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 300 kitab yang isinya telah mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil orang-orang Wahabi.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><ul style="text-align: justify;"><li>Di antaranya adalah kitab <em>al-Ibanah </em>‘<em>an Ushul al-Diyanah</em> karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia, Beirut dan India disepakati telah mengalami tahrif dari kaum Wahhabi. Hal ini bisa dilihat dengan membandingkan isi kitab <em>al-Ibanah</em> tersebut dengan <em>al-Ibanah</em> edisi terbitan Mesir yang di-<em>tahqiq</em> oleh Fauqiyah Husain Nashr.</li>
<li>Tafsir <em>Ruh al-Ma’ani</em> karya al-Imam Mahmud al-Alusi juga mengalami nasib yang sama dengan <em>al-Ibanah</em>. Kitab tafsir setebal tiga puluh dua jilid ini telah di-<em>tahrif</em> oleh putra pengarangnya, Syaikh Nu’man al-Alusi yang terpengaruh ajaran Wahabi. Menurut Syaikh Muhammad Nuri al-Daitsuri, seandainya tafsir <em>Ruh al-Ma’ani</em> ini tidak mengalami tahrif, tentu akan menjadi tafsir terbaik di zaman ini.</li>
<li>Tafsir <em>al-Kasysyaf</em>, karya al-Imam al-Zamakhsyari juga mengalami nasib yang sama. Dalam edisi terbitan <em>Maktabah al-Ubaikan</em>, Riyadh, Wahabi melakukan banyak <em>tahrif</em> terhadap kitab tersebut, antara lain ayat 22 dan 23 Surat al-Qiyamah, yang di-<em>tahrif</em> dan disesuaikan dengan ideologi Wahabi. Sehingga tafsir ini bukan lagi <em>Tafsir al-Zamakhsyari</em>, namun telah berubah menjadi tafsir Wahabi.</li>
<li><em>Hasyiyah al-Shawi 'ala Tafsir al-Jalalain</em> yang populer dengan <em>Tafsir al-Shawi</em>, mengalami nasib serupa. <em>Tafsir al-Shawi</em> yang beredar dewasa ini baik edisi terbitan <em>Dar al-Fikr</em> maupun <em>Dar al-Kutub al-’Ilmiyah</em> juga mengalami <em>tahrif</em> dari tangan-tangan jahil Wahabi, yakni penafsiran al-Shawi terhadap surat al-Baqarah ayat 230 dan surat Fathir ayat 7.</li>
<li>Kitab <em>al-Mughni</em> karya Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, kitab fiqih terbaik dalam <em>madzhab</em> Hanbali, juga tidak lepas dari <em>tahrif</em> mereka. Wahabi telah membuang bahasan tentang <em>istighatsah</em> dalam kitab tersebut, karena tidak sejalan dengan ideologi mereka.</li>
<li>Kitab <em>al-Adzkar al-Nawawiyyah</em> karya al-Imam al-Nawawi pernah mengalami nasib yang sama. Kitab <em>al-Adzkar</em> dalam edisi terbitan Darul Huda, 1409 H, Riyadh Saudi Arabia, yang di-<em>tahqiq</em> oleh Abdul Qadir al-Arna’uth dan di bawah bimbingan Direktorat Kajian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia, telah di-<em>tahrif</em> sebagian judul babnya dan sebagian isinya dibuang. Yaitu Bab <em>Ziyarat Qabr Rasulillah SAW</em> diganti dengan Bab <em>Ziyarat Masjid Rasulillah SAW</em> dan isinya yang berkaitan dengan kisah al-’Utbi ketika ber-<em>tawasul</em> dan ber-<em>istighatsah</em> dengan Rasulullah saw, juga dibuang.</li>
</ul><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Demikianlah beberapa kitab yang telah ditahrif oleh orang-orang Wahabi. Tentu saja tulisan ini tidak mengupas berbagai cara <em>tahrif</em> dan perusakan Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal Jama’ah peninggalan para ulama kita. Namun setidaknya, yang sedikit ini menjadi pelajaran bagi kita agar selalu berhati-hati dalam membaca atau membeli kitab-kitab terbitan baru. <em>Wallahu a’lam</em>. </div><div style="text-align: justify;"><strong>Penulis: KH. Idrus Ramli</strong> </div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-73490216136739118152010-04-21T16:05:00.004+07:002010-04-21T16:25:44.871+07:00Boleh tidak kita dalam melakukan ibadah selalu mengharapkan pahala dari Allah ?<a class="commentslink" href="http://blog.its.ac.id/syafii/2010/02/14/boleh-tidak-kita-dalam-melakukan-ibadah-selalu-mengharapkan-pahala-dari-allah/#respond" title="Comment on Boleh tidak kita dalam melakukan ibadah selalu mengharapkan pahala dari Allah ?"></a> <br />
<div class="entry-content"><div style="text-align: justify;"><img align="left" height="200" src="http://www.pasarkreasi.com/dirmember/00001/sa3o/content/content-3543-20090927-6-34-80/large/belajar-shalat_3543_l.jpg" width="149" />kita beramal adalah selalu mengharapkan pahala, atau mengharapkan keridhoan Allah swt semata, tetap saja kita diberi pahala oleh Allah.</div><div style="text-align: justify;">memang Rasul saw mengklasifikasikan derajat hamba hamba Allah swt dengan 3 tingkatan.</div><div style="text-align: justify;">1. derajat mukmin yg beribadah karena takut kepada neraka</div><div style="text-align: justify;">2. derajat mukmin yg beribadah karena inginkan surga</div><div style="text-align: justify;">3. derajat mukmin yg beribadah hanya karena menginginkan keridhoan Allah swt.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rasul saw berdoa untuk dihindarkan dari neraka, dan meminta sorga, dan menginginkan Ridho Allah, Alqur;an pun menyebut ancaman dahsyat dan pedihnya siksa neraka,dan alqur’an menyebut pula indahnya sorga, alqur’an menyebut pula janji Allah untuk memberikan siksaan pedih di Neraka bagi hamba hamba Nya yg dhalim, dan setiap kali membaca ayat itu Rasul saw berhenti dan berdoa mohon dihindarkan dari siksa neraka.</div><div style="text-align: justify;">demikian pula Allah menyebut di Alqur’an mengenai keindahan Sorga dan Jani Janji Nya untuk memberikan sorga kepada hamba hamba Nya yg mukmin, dan setiap membaca ayat ini Rasul saw berhenti dan memohon sorga. singkatnya :</div><div style="text-align: justify;">Tidak ada larangan beribadah karena menginginkan sorga, atau beribadah karena menginginkan sorga, namun memang derajat tertinggi adalah beribadah karena menginginkan Ridho Allah semata dan sekaligus meminta sorga dan meminta dihindarkan dari Neraka, demikianlah Rasul saw.</div><div style="text-align: justify;">wallahu a’lam.</div><i>Sumber <a href="http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=431&catid=8">Habib Munzir Al Musawwa</a></i></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-2212453609635024392010-04-21T16:02:00.002+07:002010-04-21T16:26:26.095+07:00KERAMAT PARA SAHABAT RIWAYAT SHAHIH BUKHARI<div style="text-align: justify;">Firman Allah swt dalam hadits Qudsiy : “Barangsiapa memusuhi wali Ku maka Ku umumkan perang padanya, tiadalah hamba hamba Ku mendekat pada Ku dengan hal hal yg telah kuwajibkan, dan hamba hamba Ku tak henti hentinya pula mendekat pada Ku dengan hal hal yg sunnah hingga Aku mencintainya, Jika Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, aku menjadi pandangannya yg ia gunakan untuk melihat, aku menjadi tangannya yg ia gunakan untuk melawan, aku menjadi kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, Jika ia meminta pada Ku niscaya kuberi apa yg ia minta, dan jika ia mohon perlindungan pada Ku niscaya kuberi padanya perlindungan” (Shahih Bukhari Bab Arriqaaq/Tawadhu)</div><div style="text-align: justify;">Al Hafidh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy dalam kitabnya Fathul Baari Bisyarh Shahih Bukhari menjelaskan makna hadits ini dalam 6 penafsiran, secara ringkasnya saja bahwa panca indera mereka telah suci dari hal hal dosa karena mereka menyucikannya, dan mereka tidak mau berucap terkecuali kalimat kalimat dzikir atau ucapan mulia, tak mau mendengar terkecuali yg mulia pula, demikian seluruh panca inderanya, dan Allah swt membimbing panca indera mereka untuk selalu mulia. (Fathul Baari Bisyarh Shahih Bukhari Bab Arriqaaq/Tawadhu)</div><div style="text-align: justify;">Maka yg terpenting dalam hadits mulia ini adalah perkataan : “Jika ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaan Nya”, ucapan ini jelas jelas menjawab seluruh sangkalan mereka,</div><div style="text-align: justify;">Bahwa bisa saja mereka berdoa pada Allah swt untuk menghidupkan yg mati, pindah ke tempat lain, mendengar atau melihat perasaan orang lain dlsb,</div><div style="text-align: justify;">sebagaimana dijelaskan oleh Imam Tajuddin Assubkiy bahwa diantara bentuk karamat adalah sepuluh macam, dan sungguh lebih banyak dari itu, yg pertama adalah Menghidupkan yg mati, kedua adalah berbicara dg yg mati, yg ketiga adalah terbelahnya lautan dan keringnya lautan, keempat adalah berubahnya bentuk, kelima adalah berjalan diatas air, keenam adalah ucapan hewan dan benda, ketujuh adalah taatnya hewan, kedelapan adalah digulungnya waktu, kesembilan terdiamnya lidah atau terucapkannya, kesepuluh adalah terkeluarkannya harta karun, demikian dijelaskan dg panjang lebar oleh Imam Tajuddin Assubkiy Dalam kitabnya Thabaqatussyafi’i Al Kubra Juz II hal 338 cetakan Darul Ihya)</div><div style="text-align: justify;">Dan tentunya kejadian Tsunami di Aceh telah pula memperjelas ini, bahwa Air Dahsyat setinggi 30 meter dengan kecepatan 300km/jam dan kekuatan ratusan juta ton, terbelah di makam makam shalihin dan masjid, menunjukkan kemuliaan dan keramat para Wali Allah yg dimuliakan Allah swt walau mereka telah wafat, mereka tetap Benteng Allah swt dimuka Bumi sebagaimana firman Nya : “Sungguh Bumi diwariskan Allah pada hamba hamba Nya yg shalih” (QS Al Anbiya 105).</div><div style="text-align: justify;">Rasul saw bersabda : akan datang kelak…., atau akan muncul kelak setelah aku wafat…., atau kelak di hari kiamat…., hadits hadits shahih semacam ini ratusan banyaknya, merupakan tanda tanda hari kiamat, keadaan kelak di alam barzakh, keadaan di hari kiamat, kesemuanya dikabarkan oleh Rasul saw dengan gamblangnya menunjukkan bahwa beliau saw mengetahui apa yg akan terjadi, bahkan mengetahui seseorang itu akan mati dalam kebaikan atau dalam kekufuran, sebagaimana riwayat shahih Muslim yg menjelaskan bahwa seorang pejuang yg berjuang dengan giatnya namun Rasul saw berkata : “Dia ahli neraka!”, para sahabat menyangkalnya karena orang itu berjihad dengan semangat dan kesungguhan, namun terbuktilah pada akhirnya ia membunuh diri dengan memotong urat nadinya.</div><div style="text-align: justify;"><i><br />
<a href="http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=24934&catid=7"></a></i></div><div class="entry-head" style="text-align: justify;"><h3 class="entry-title"><span style="color: black;">KERAMAT PARA SAHABAT</span> </h3></div><div class="entry-content" style="text-align: justify;">Ketika Khalifah Umar bin Khattab ra sedang berkhutbah jumat, tiba tiba ditengah khutbahnya ia berseru dengan kerasnya : Wahai Sariah bin Hashiin.., keatas gunung.. keatas gunung..!, maka kagetlah para sahabat lainnya, kenapa Khalifah berkata demikian?, apa maksudnya?, sebulan kemudian kembalilah Sariah bin Hashiin dari peperangan bersama pasukan sahabat lainnya, mereka bercerita saat mereka terdesak dalam peperangan mereka mendengar suara Umar bin Khattab ra yg tak terlihat wujudnya, teriakan itu adalah : Wahai Sariah bin Hashiin.., keatas gunung.. keatas gunung..!, maka kami naik keatas gunung dan berkat itu kami memenangkan peperangan (Durrul muntatsirah fil ahaditsil Masyhurah oleh Al Hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi Juz 1 hal 22, Al Ishabah Juz 3 hal 6, Tarikh Attabari Juz 2 hal 553).<br />
<i><br />
<a href="http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=24934&catid=7"></a></i></div><div style="text-align: justify;">Riwayat lain Ketika dua orang sahabat di malam yg gelap keluar dari menghadap Rasul saw, maka terlihatlah dua cahaya menerangi mereka, cahaya itu terus mengikuti mereka hingga mereka berpisah maka dua cahaya itupun berpisah, sampai mereka masuk kerumahnya masing masing (Shahih Bukhari Bab Manaqib) </div><div style="text-align: justify;">Riwayat lain Ketika salah seorang sahabat membaca surat Alkahfi disuatu malam maka ia melihat keledainya melarikan diri, maka ketika ia selesai shalat ia melihat kabut yg menyelimuti sekitar, maka keesokan harinya ia menceritakannya pada Rasul saw maka Rasul saw berkata : Bacalah terus wahai fulan, sungguh itu adalah ketenangan yg turun sebab Alqur’an (Shahih Bukhari Bab Alamat Nubuwwah fil islam)</div><div style="text-align: justify;">Riwayat lain ketika Abubakar shiddiq diberkahi makanan untuk tamu2nya dirumahnya, hingga tamu tamunya menyaksikan bahwa setiap mereka memakan makanan itu namun makanan itu tidak berkurang (Shahih Bukhari Bab Samar Ma’addhaif)</div><div style="text-align: justify;">Riwayat lainnya Rasul saw bersabda : “Wahai Umar, tiadalah syaitan berpapasan denganmu disuatu jalan kecuali ia akan menghindar mencari jalan yg bukan jalanmu” (Shahih Bukhari Bab Manaqib Umar bin Khattab ra), berkata Al Hafidh Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy bahwa dalam hadits ini terkandung makna bahwa Ma’shum adalah hal yg wajib bagi para Nabi, namun merupakan hal yg bisa saja terjadi (tidak mustahil) bagi selain Nabi (Fathul Baari Bisyarh Shahih Bukhari Bab Manaqib Umar)</div><div style="text-align: justify;"><img align="left" height="223" src="http://anwararis.files.wordpress.com/2009/10/bayi-dalam-rahim.jpg" width="283" />Riwayat lainnya sabda Rasulullah saw ; Tiadalah bayi bercakap cakap terkecuali tiga,</div><div style="text-align: justify;">Isa bin Maryam (as),</div><div style="text-align: justify;">dan di Bani Israil seorang lelaki bernama Jureij, ketika sedang shalat datanglah ibunya memanggilnya,seraya berkata dalam hatinya : Apakah aku menjawabnya atau meneruskan shalat?, maka Ibundanya marah dan berdoa : Wahai Allah jangan kau matikan ia hingga kau perlihatkan padanya wajah pelacur, maka suatu ketika Jureij di tempat khalwatnya dan datanglah padanya seorang wanita mengajaknya berzina, maka ia menolak, lalu pelacur itu mendatangi seorang penggembala dan kemudian berzina dengannya, maka wanita itupun hamil dan melahirkan bayi lelaki, maka wanita itu berkata ini adalah dari perbuatan Jureij..!, maka penduduk marah dan menghancurkan rumah ibadahnya, menyeretnya dan mencacinya, maka ia berwudhu dan shalat, dan mendatangi bayi itu dan berkata : Siapa ayahmu..?!, maka Bayi itu berkata : Ayahku adalah Penggembala, maka mereka berkata : Kami akan membangun rumah ibadahmu dari emas..??, maka ia berkata, tidak.., cukup dari tanah!.</div><div style="text-align: justify;">Yg ketiga adalah ketika seorang wanita menyusui anaknya dari Bani Israil, maka lewatlah seorang pria berwibawa dan penguasa, maka ibu itu berkata : Wahai Allah jadikan anakku sepertinya!, maka anak itu melepaskan susu ibunya dan menjawab : Wahai Allah jangan jadikan aku sepertinya!, lalu ia kembali menyusu, dan berkata Abu Hurairah : seakan akan aku melihat pada Nabi saw yg menghisap jarinya (mempercontohkan hikayat), lalu lewatlah seorang Budak, dan ibunya pun berkata : Wahai Allah jangan jadikan anakku sepertinya!, maka Bayinya melepaskan susunya dan berkata : Wahai Allah jadikanlah aku sepertinya!, (berkata ibunya) mengapa begitu?, bayinya berkata : Orang pertama adalah penguasa bengis, dan Budak itu adalah dituduh pencuri, pezina, dan ia tak melakukannya” (Shahih Bukhari Bab Ahaditsul Anbiya).</div><div style="text-align: justify;"><img align="left" height="251" src="http://hartleyfoundation.org/files/imce/sufi.jpg" width="292" />Riwayat hadits ibu yg menyusui bayi diatas menunjukkan bolehnya Allah memberikan keramat pada wali sejak ia masih bayi, sudah dapat tahu takdir orang, tahu siapa orang itu sebenarnya, dan mengtahui hal yg ghaib, maka jika ada habaib masa lalu yg dikatakan sudah keramat danjadi wali Allah sejak bayinya, semacam Imam Abubakar bin Salim Fakhrul wujud dan lainnya, maka telah jelas diriwayatkan dalam shahih Bukhari mengenai dalilnya.</div><div style="text-align: justify;">Riwayat lainnya bahwa Khubaib ra ketika ditangkap oleh Bani Harits , (dalam riwayat yg panjang), bahwa Putri dari Al Harits berkata : Tak pernah kulihat tawanan pun yg lebih baik dari Khubaib (ra), sungguh telah kusaksikan ia makan buah anggur sedangkan di Makkah saat itu tak ada sama sekali buah buahan, dan ia didalam penjara Besi, dan itu adalah Rizki yg diberikan oleh Allah swt (Shahih Bukhari Bab Jihad wassayr)</div><div style="text-align: justify;">Riwayat lainnya bahwa seorang dari penduduk Kuufah mengadukan kepada Khalifah Umar ra tentang Sa’ad bin Abi Waqqash ra, maka diutuslah bersamanya seorang pengintai yg bertanya tentang Sa’ad di Kufah, maka ia berkeliling di masjid Kufah dan tak ada yg menyaksikan kecuali kebaikan Sa’ad ra, maka berkatalah seorang lelaki yg dikenal dg nama Aba Sa’dah : Jika kau bertanya pada kami maka sungguh Sa’ad (ra) tidak membagi dg adil, dan banyak lagi fitnahnya pada Sa’ad ra, maka berkatalah Sa’ad (ra) “Wahai Allah jika ia dusta maka panjangkan usianya, dan panjangkan kemiskinannya, dan munculkan atasnya fitnah fitnah”.</div><div style="text-align: justify;">Maka berkata Ibn Umair ra kulihat ia tua renta hingga kedua alisnya sudah hampir menutup kedua matanya karena sangat tua, dan sangat miskin, dan mengejar ngejar para wanita di jalanan seraya memegang megangnya, jika ditanya padanya : Kenapa kau berbuat ini??, ia menjawab : Aku adalah si tua renta yg terkena fitnah karena doa Sa’ad (ra). ( Shahih Bukhari Bab Adzan)</div><br />
<i>Sumber <a href="http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=24934&catid=7">Habib Munzir Al Musawwa</a></i>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-77249706693195804592010-04-21T15:50:00.001+07:002010-04-21T16:26:55.337+07:00Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?<h3>Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah. </h3><div style="text-align: justify;">Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah. </div><div style="text-align: justify;">Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat : </div><h4 style="text-align: justify;">“ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”, yang artinya “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, </h4><div style="text-align: justify;">Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam, </div><div style="text-align: justify;">Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja. </div><div style="text-align: justify;">Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan…dst”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah). </div><div style="text-align: justify;">Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in. </div><h3 style="text-align: justify;">Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw? </h3><div style="text-align: justify;">Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : </div><div style="text-align: justify;">“Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” </div><div style="text-align: justify;">Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768). </div><div style="text-align: justify;">Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya. </div><div style="text-align: justify;">Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal yang baru, sungguh semua yang Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329). </div><div style="text-align: justify;">Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw. </div><div style="text-align: justify;">Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu. </div><div style="text-align: justify;">Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873). </div><div style="text-align: justify;">Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah? </div><h3 style="text-align: justify;">Bid’ah Dhalalah </h3><h3 style="text-align: justify;"> </h3><div style="text-align: justify;">Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw. </div><div style="text-align: justify;">Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat. </div><div style="text-align: justify;">Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw. </div><div style="text-align: justify;">Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah. </div><div style="text-align: justify;">Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah. </div><div style="text-align: justify;">Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya. </div><div style="text-align: justify;">Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ? </div><div style="text-align: justify;">Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah dhalalah). </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”. </div><div style="text-align: justify;">Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”. </div><div style="text-align: justify;">Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt, </div><div style="text-align: justify;">Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka. </div><div style="text-align: justify;">Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin</div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5634272422135801447.post-77184271185327366852010-04-21T15:45:00.001+07:002010-04-21T16:27:20.304+07:00AYAT TASYBIH<div class="entry-content" style="text-align: justify;"><img align="left" height="132" src="http://hizbut-tahrir.or.id/wp-content/uploads/2009/07/quran-tasbih.jpg" width="200" />Mengenai ayat mutasyabih yang sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yang sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yang hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.<br />
Sebagaimana makna Istiwa, yang sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat <b>”ISTIWA” </b>dengan makna <b>”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT” </b>, entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir,<br />
Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah.<br />
Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yang bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : ”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”, demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini.<br />
Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yang turut berbai’at pada sahabat.<br />
Juga sebagaimana hadits qudsiy yang mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yang fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya….” (shahih Bukhari hadits no.6137) Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.<br />
Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat/madzhab dalam menafsirkannya, yaitu:<br />
<ol><li><b>Madzhab tafwidh ma’a tanzih </b></li>
</ol>Madzhab ini mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dengan i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)<br />
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu hanifah.<br />
Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para imam yang memegang madzhab tafwidh.<br />
<ol><li><b>Madzhab takwil </b></li>
</ol>Madzab ini menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)<br />
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.<br />
Seperti ayat :”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa denganmereka) (QS Attaubah:67),dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah14).<br />
Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)<br />
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)<br />
Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?<br />
Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)<br />
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).<br />
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).<br />
Walillahittaufiq<br />
Sumber Habib Munzir Al Musawwa<a href="http://majelisrasulullah.org/Kenalilah-Akidahmu.pdf"> </a></div>Aulia Lubishttp://www.blogger.com/profile/08442849182358305198noreply@blogger.com0