Senin, 19 April 2010

Dari Tafsir Imam al-Qurthubi; Makna "Fawq" Dan Makna "al-Alyy" Pada Hak Allah Bukan Dalam Pengertian

Ahli tafsir terkemuka di kalangan Ahlussunnah, al-Imâm al-Mufassir Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya yang sangat terkenal; al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

“Nama Allah “al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam pengertian ketinggian tempat, karena Allah maha suci dari bertempat” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 3, h. 278, dalam QS. al-Baqarah: 255).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

“Makna Firman-Nya: “Fawqa ‘Ibadih...” (QS. al-An’am: 18), adalah dalam pengertian fawqiyyah al-Istila’ bi al-Qahr wa al-ghalabah; artinya bahwa para hamba berada dalam kekuasaan-Nya, bukan dalam pengertian fawqiyyah al-makan, (bukan dalam makna bertempat di atas)” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 399, dalam QS. al-An’am: 18).

Masih dalam kitabnya yang sama al-Imâm al-Qurthubi juga menuliskan sebagai berikut:

“Kaedah (yang harus kita pegang teguh): Allah maha suci dari gerak, berpindah-pindah, dan maha suci dari berada pada tempat” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 390, dalam QS. al-An’am: 3).

Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:

أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِي بَعْضُ ءَايَاتِ رَبِّكَ (الأنعام: 158)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

“Yang dimaksud dengan al-Maji’ pada hak Allah adalah adalah bukan dalam pengertian gerak, bukan pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, bukan pula dalam pengertian condong. Karena sifat-sifat seperti demikian itu hanya terjadi pada sesuatu yang merupakan Jism (tubuh) atau Jauhar (benda)” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 7, h. 148, dalam QS. al-An’am: 158).

Pada bagian lain firman Allah tentang Nabi Yunus:

وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لآإِلَهَ إِلآ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (الأنبياء: 87)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

“Abu al-Ma’ali berkata: Sabda Rasulullah berbunyi:

لاَ تُفَضِّلُوْنِي عَلَى يُوْنُس بْنِ مَتّى

memberikan pemahaman bahwa saya (Nabi Muhammad) yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allah dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 11, h. 333-334, dalam QS. al-Anbiya’: 87).

Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:

وَجَآءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر: 22)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

“Allah yang maha agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22).

Kemudian dalam menafsirkan firman Allah:

ءَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ (الملك 16)

al-Imâm al-Qurthubi menuliskan:

“Yang dimaksud oleh ayat ini adalah keagungan Allah dan kesucian-Nya dari arah bawah. Dan makna dari sifat Allah al-‘Uluww adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan bukan dalam pengertian tempat-tempat, atau arah-arah, juga bukan dalam pengertian batasan-batasan. Karena sifat-sifat seperti demikian itu adalah sifat-sifat benda (al-ajsam). Adapun bahwa kita mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa karena langit adalah tempat turunnya wahyu, tempat turunnya hujuan, tempat yang dimuliakan, juga tempat para Malaikat yang suci, serta ke sanalah segala kebaikan para hamba diangkat, hingga ke arah arsy dan ke arah surga, hal ini sebagaimana Allah menjadikan ka’bah sebagai kiblat dalam doa dan shalat kita. Karena sesungguhnya Allah yang menciptakan segala tempat, maka Dia tidak membutuhkan kepada ciptaannya tersebut. Sebelum menciptakan tempat dan zaman, Allah ada tanpa permulaan (Azali), tanpa tempat, dan tanpa zaman. Dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat dan zaman tetap ada -sebagaimana sifat Azali-Nya- tanpa tempat dan tanpa zaman” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 18, h. 216, dalam QS. al-Mulk: 16).

PENUTUP
Cukup bagi orang yang dibukakan pintu hidayah baginya oleh Allah dengan hanya mengambil perkataan al-Imam al-Qurthubi ini ia akan kuat berkeyakinan bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH. Kitab tafsir al-Qurthubi ini diakui sebagai kitab tafsir mu'tabar; baik oleh Ahlussunnah maupun oleh mereka yang tidak sepaham dengan Ahlussunnah...
Bila kemudian ada orang berkeyakinan Allah bertempat di atas arsy atau berada di langit, seperti keyakinan orang-orang Wahhabi, maka hendaklah ia periksa akal sehatnya..!!! Bagaimana ia berkata bahwa Allah di arsy atau di langit padahal ia yakin bahwa arsy dan langit itu adalah makhluk Allah??? Hasbunallah....!!! Fa al-Wahhabiyyah Yadlhak Alayhim as-Sufaha' Qabl al-'Uqala...!!!

[Kabar Gembira Bagi Bagi Kaum Ahlussunnah] Baca Tulisan Ini, Kabar Gembira Dari Rasulullah.. [Mengenal Sultan Muhammad al-Fatih]

Dalam hadits riwayat al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan al-Imam al-Hakim disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:

لَتُفْتَحَنّ الْقِسْطَنْطِيْنِيّةُ فَلَنِعْمَ الْأمِيْرُ أمِيْرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذلِكَ الْجَيْشُ (رَوَاهُ أحْمَد والْحَاكمُ)

“Kota Kostantinopel (Istanbul sekarang) benar-benar akan ditaklukan oleh seorang panglima. Panglima tersebut adalah sebaik-baiknya panglima dan sebaik-baiknya tentara” (HR Ahmad dan al-Hakim).

Hadits ini baru menjadi sebuah kenyataan setelah sekitar 800 tahun kemudian dari masa hidupnya Rasulullah. Ialah ketika kota Istanbul takluk di tangan sultan Muhammad al-Fatih. Sebelum beliau, telah banyak panglima yang berusaha untuk menaklukan kota tersebut, termasuk ayah dari sultan Muhammad al-Fatih sendiri, yaitu sultan Murad ats-Tsani. Tentu mereka semua berkeinginan sebagai orang yang dimaksud oleh Rasulullah dalam pujiannya dalam hadits di atas. Namun ternyata hanya sultan Muhammad al-Fatih yang dapat menaklukan kota kostantinopel hingga jatuh secara penuh ke dalam kekuasaan kaum Muslimin.
Sejarah telah mencatat bahwa sultan Muhammad al-Fatih adalah seorang yang dalam akidah pengikut al-Imam Abu al-Hasan Asy’ari yang sangat tulen. Dalam akidah, beliau sangat kuat memegang teguh Ahlussunnah Wal jama’ah di atas madzhab Asy’ariyyah. Beliau sangat mencintai para ulama dan kaum sufi. Dalam hampir segala keputusan yang beliau tetapkan adalah hasil dari pertimbangan-pertimbangan yang telah beliau musyawarahkan dengan para ulama dan kaum sufi terkemuka. Bahkan sebelum beliau memutuskan untuk turun menaklukan Kostantinopel beliau bermusyawarah dengan guru-guru spiritualnya tersebut. Musyawarah di sini tidak hanya terbatas untuk membentuk mental dan spirit semata, namun juga pembahasan tentang metode, alat-alat perang, perbekalan dan lain sebagainya.
Kemudian salah satu senjata terpenting yang tertancap kuat dalam keyakinan sultan Muhammad al-Fatih adalah kekuatan tawassul. Karena itu, sebelum turun ke medan perang beliau bertawassul dengan Rasulullah. Beliau meminta kepada Allah agar diluluskan cita-citanya dengan menjadikan Rasulullah sebagai wasilah atau perantara dalam doanya tersebut. Dengan demikian hadits di atas, secara tersirat, memberikan pelajaran penting kepada kita bahwa tawassul adalah sesuatu yang telah disyari’atkan dalam Islam.
Pujian Rasulullah terhadap panglima penakluk Kostantinopel dalam hadits di atas adalah salah satu bukti kuat akan kebenaran akidah yang diyakini oleh panglima tersebut. Juga bukti kebenaran akidah dari bala tentara atau orang-orang yang bersamanya. Mereka itu semua adalah kaum Asy’ariyyah, kaum yang berkeyakinan akan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, bahwa Allah suci dari segala bentuk dan ukuran, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum yang berkeyakinan tentang disyari’atkannya tawassul, baik bertawassul dengan para Nabi, maupun betawassul dengan para wali Allah ataupun orang-orang saleh lainnya. Karenanya, tidak sedikit dari para pengikut sultan Muhammad al-Fatih adalah orang-orang mulia yang berasal kalangan sufi dan para pengikut tarekat.

[Tulisan Panas] Kontroversi Ibn Taimiyah; “Neraka dan siksaan terhadap orang kafir di dalamnya akan habis”

Di antara kontroversi Ibn Taimiyah yang menggegerkan adalah pernyataannya bahwa neraka akan punah, dan bahwa siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan. Kontroversi ini bahkan diikuti oleh murid terdekatnya; yaitu Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (Lihat Ibn al-Qayyim dalam Hadi al-Arwah Ila Bila al-Afrah, h. 579 dan h. 582). Dalam karyanya berjudul ar-Radd ’Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:

”Di dalam kitab al-Musnad karya ath-Thabarani disebutkan bahwa di bekas tempat neraka nanti akan tumbuh tumbuhan Jirjir. Dengan demikian maka pendapat bahwa neraka akan punah dikuatkan dengan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, dan perkataan para sahabat. Sementara mereka yang mengatakan bahwa neraka kekal tanpa penghabisan tidak memiliki dalil baik dari al-Qur’an maupun Sunnah” (Lihat ar-Radd ‘Ala Man Qala Bi Fana’ an-Nar, h. 67).

Apa yang telah ditetapkan oleh Ibn Taimiyah dan dikuatkan oleh muridnya ini sekarang telah menjadi dasar keyakinan kaum Wahhabiyyah. Bahkan salah seorang pemuka mereka bernama Abd al-Karim al-Humaid, dengan bangga menulis satu buku yang ia beri judul ”al-Qaul al-Mukhtar Li Fana’ an-Nar”. Di dalamnya, dengan sangat tegas dan gamblang sebagaimana judul buku tersebut, ia mengatakan bahwa neraka akan punah, serta seluruh siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis. (Lihat al-Qaul al-Mukhtar Li Fana’ an-Nar, h. 8, Riyadl, Saudi). Hasbunallah...!!! Pertanyaannya; Lantas ke manakah orang-orang kafir itu? Ke surga? A’udzu Billah.

Ini adalah salah satu kontroversi Ibn Taimiyah, -selain berbagai kontroversi lainnya- yang memicu ”perang” antara dia dengan al-Imam al-Hafizh al-Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki. Hingga kemudian al-Imam as-Subki membuat risalah berjudul ”al-I’tibar Bi Baqa’ al-Jannah Wa an-Nar” sebagai bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah, hingga beliau menyesatkannya. Di antara yang dituliskan al-Imam as-Subki dalam risalah tersebut adalah sebagai berikut:

”Sesungguhnya keyakinan seluruh orang Islam adalah bahwa surga dan neraka tidak akan pernah punah. Kesepakatan (Ijma’) keyakinan ini telah dikutip oleh Ibn Hazm, dan bahwa siapapun yang menyalahi hal ini maka ia telah menjadi kafir sebagaimana hal ini telah disepakati (Ijma’). Sudah barang tentu hal ini tidak boleh diragukan lagi, karena kekalnya surga dan neraka adalah perkara yang telah diketahui oleh seluruh lapisan orang Islam. Dan sangat banyak dalil menunjukan di atas hal itu” (Lihat al-I’tibar Bi Baqa’ al-Jannah Wa an-Nar dalam ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah karya Al-Hafizh ‘Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, h. 60).

Pada bagian lain dalam risalah tersebut al-Imam as-Subki menuliskan:

”Seluruh orang Islam telah sepakat di atas keyakinan bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Keyakinan ini dipegang kuat turun temurun antar generasi yang diterima oleh kaum Khalaf dari kaum Salaf dari Rasulullah. Keyakinan ini tertancap kuat di dalam fitrah seluruh orang Islam yang telah diketahui oleh seluruh lapisan mereka. Bahkan tidak hanya orang-orang Islam, agama-agama lain-pun di luar Islam meyakini demikian. Maka barangsiapa meyalahi keyakinan ini maka ia telah menjadi kafir” (Lihat al-I’tibar Bi Baqa’ al-Jannah Wa an-Nar dalam ad-Durrah al-Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah karya Al-Hafizh ‘Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, h. 67).

Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas merupakan dusta besar terhadap para ulama Salaf dan terhadap al-Imam ath-Thabarani. Anda jangan tertipu, karena pendapat itu adalah ”akal-akalan” belaka. Anda tidak akan pernah menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf yang berkeyakinan semacam itu. Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas telah menyalahi teks-teks al-Qur’an dan hadits serta Ijma’ seluruh orang Islam yang telah bersepakat bahwa surga dan neraka kekal tanpa penghabisan. Bahkan, dalam kurang lebih dari 60 ayat di dalam al-Qur’an secara sharih (jelas) menyebutkan bahwa surga dengan segala kenikmatan dan seluruh orang-orang mukmin kekal di dalamnya tanpa penghabisan, dan bahwa neraka dengan segala siksaan serta seluruh orang-orang kafir kekal di dalamnya tanpa penghabisan, di antaranya dalam QS. Al-Ahzab: 64-65, QS. At-Taubah: 68, QS. An-Nisa: 169, dan berbagai ayat lainnya.

Kemudian di dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bahwa keduanya kekal tanpa penghabisan. Di antaranya hadits shahih riwayat al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

يُقَالُ لِأهْلِ الْجَنّةِ: يَا أهْلَ الْجَنّةِ خُلُوْدٌ لاَ مَوْت، وَلأهْلِ النّار: خُلُوْدٌ لاَ مَوْت (رواه البخاري)

”Dikatakan kepada penduduk surga: ”Wahai penduduk surga kalian kekal tidak akan pernah mati”. Dan dikatakan bagi penduduk neraka: ”Wahai penduduk neraka kalian kekal tidak akan pernah mati”. (HR. al-Bukhari).

Ayo.. Kita Kenali Lebih Dekat Siapa Syekh Nawawi Banten?!

Nama lengkap tokoh kita ini adalah Muhammad Nawawi ibn ‘Umar ibn Arbi al-Bantani al-Jawi. Lahir tahun 1230 H-1813 M di Tanara Serang Banten [1]. Di kalangan keluarganya beliau di kenal dengan nama Abu Abd al-Mu’thi. Ayahnya, KH. ‘Umar ibn Arbi, adalah salah seorang ulama terkemuka di daerah Tanara. Dari garis nasab, Syekh Nawawi adalah keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Dengan demikian dari garis keturunan ayah, syekh Nawawi berasal dari keturunan Rasulullah. Sedangkan ibunya bernama Zubaidah, berasal dari garis keturunan Muhammad Singaraja. Syekh Nawawi merupakan anak pertama dari tujuh orang bersaudara. Enam orang saudaranya adalah Ahmad Syihabuddin, Tamim, Sa’id, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah.
__________________________
_______

[1] al-Bantani nisbat kepada Banten, al-Jawi nisbat kepada Jawa. Tidak ada data lengkap dan akurat perihal tanggal dan bulan kelahirannya. Dari sini ada perbedaaan mencolok antara Syekh Nawawi dengan Imam an-Nawawi. Yang pertama dikenal dengan al-Jawi atau al-Bantani, biasanya ditulis tanpa alif dan tanpa lam ta’rif, wafat tahun 1315 H. Sementara yang kedua ditulis dengan alif dan lam ta’rif, dinisbatkan kepada Nawa, nama tempat kelahirannya di Mesir, wafat 676 H, adalah seorang ahli Fiqh sekaligus ahli hadits terkemuka, penulis Syarh Shahih Muslim, riyadl as-shalihin, al-Adzkar, dan lainnya, yaitu al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi.
_________________________________

Saat Syekh Nawawi lahir, kesultanan Banten sedang berada di ambang keruntuhan. Raja yang memerintah saat itu Sultan Rafi’uddin (1813 M), diturunkan secara paksa oleh Gubernur Rafles untuk diserahkan kepada Sultan Mahmud Syafi’uddin, dengan alasan tidak dapat mengamankan negara. Pada tahun peralihan kesultanan tersebut (1816 H) di Banten sudah terdapat Bupati yang di angkat oleh Pemerintah Belanda. Bupati pertama bernama Aria Adisenta. Namun, setahun kemudian diadakan pula jabatan Residen yang dijabat oleh orang belanda sendiri. Akibatnya, pada tahun 1832 M, Istana Banten dipindahkan ke Serang oleh Pemerintah Belanda. Inilah akhir kesultanan Banten yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M. Kondisi sosial politik semacam inilah yang melingkupi kehidupan Syekh Nawawi.
Syekh Nawawi tumbuh dalam lingkungan agamis. Sejak umur lima tahun, Ayahnya yang seorang tokoh ulama Tanara, langsung memberikan pelajaran-pelajaran agama dasar kepada beliau. Di samping kecerdasan yang dimiliki, Syekh Nawawi sejak kecil, juga dikenal sebagai sosok yang tekun dan rajin. Beliau juga dikenal sebagai orang yang tawadlu’, zuhud, bertaqwa kepada Allah, di samping keberanian dan ketegasannya.
Pada masa remaja, Syekh Nawawi bersama saudaranya; Tamim dan Ahmad, pernah berguru kepada KH Sahal, salah seorang ulama Banten sangat terkenal saat itu, kemudian belajar pula kepada Raden Yusuf Purwakarta Jawa Barat. Ketika menginjak umur 13 tahun, Syekh Nawawi bersaudara ditinggal wafat ayahnya, hingga walau usia Syekh Nawawi terbilang muda, pucuk pimpinan pondok pesantren sepeninggalan ayahnya digantikan olehnya. Lewat dua tahun kemudian, saat usianya menginjak 15 tahun, tepatnya tahun 1828 M, Syekh Nawawi menunaikan ibadah haji, sekaligus untuk tujuan menuntut ilmu di Mekah.
Tiga tahun menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nawawi kemudian pulang ke Indonesia. Namun, tujuan mengembangkan ilmu di kampung halaman tidak semulus perkiraannya. Setiap gerak gerik umat Islam di Indonesia saat itu dibatasi secara ketat oleh kolonial Belanda. Keadaan yang tidak kondusif ini memaksa Syekh Nawawi untuk kembali ke Mekah. Akhirnya pada tahun 1855 H, beliau kembali ke Mekah, di sana beliau kembali belajar sekaligus mengobarkan semangat juang melawan kolonial Belanda.
Di Mekah, di satu tempat yang dikenal dengan “Kampung Jawa” Syekh Nawawi belajar kepada beberapa ulama besar yang berasal dari Indonesia. Di antaranya; Syaikh Khatib Sambas (berasal dari Kalimantan Barat) dan Syaikh Abd al-Ghani (berasal dari Bima NTB). Tentunya beliau juga belajar kepada para ulama besar Mekah di masanya, seperti; Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (Mufti Madzhab syafi’i di Mekah), Syaikh Ahmad Dimyathi, Syaikh Abd al-Hamid ad-Daghestani, Syaikh Nahrawi dan lainnya.
Pada gilirannya, hasil tempaan ilmiah “Kampung Jawa” tampil ke permukaan. Di antara yang populer saat itu Syaikh Nawawi al-Jawi dan Syekh Ahmad Khathib al-Minangkabawi. Setelah kurang lebih 30 tahun, Syekh Nawawi tampil menjadi salah seorang ulama terkemuka di Mekah. Kedalaman ilmu beliau menjadikannya sebagai guru besar di Masjid al-Haram. Bahkan beliau memiliki tiga gelar kehormatan prestisius; “Sayyid ‘Ulama al-Hijaz” yang dianugerahkan olah para ulama Mesir, “Ahad Fuqaha Wa Hukama al-Muta’akhirin” dan “Imam ‘Ulama al-Haramain”. Layaknya seorang Syekh dan ulama besar, Syekh Nawawi sangat menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Seperti Tauhid, Fikih, Tafsir, Tasawwuf (akhlak), Tarikh, Tata Bahasa dan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya yang dihasilkan beliau yang mencakup berbagai disiplin ilmu tersebut.
Dari hasil perjalanan ilmiahnya, Syekh Nawawi di kemudian hari menjadi sosok laksana lautan ilmu. Tidak mengherankan kemudian banyak ulama besar yang lahir dari tangan beliau, baik para ulama nusantara maupun luar Indonesia. Di antara ulama Indonesia yang kemudian menjadi tokoh-tokoh ulama besar, bahkan menjadi para pejuang bagi kemerdekaan Indonesia adalah; asy-Syaikh al-Akbar, pencetus organisasi gerakan sosial [2] “Nahdlatul Ulama”; KH Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jawa Timur, Syaikh Kholil Bangkalan Madura, KH Asy’ari Bawean, Jawa Timur, yang kemudian dinikahkan dengan puterinya sendiri yang bernama Maryam, KH Najihun Gunung Mauk Tangerang, yang juga dinikahkan dengan cucunya; Salmah binti Ruqayyah, KH Asnawi Caringin Banten, KH Ilyas Kragilan Banten, KH ‘Abdul Gaffar Tirtayasa Banten, dan KH Tubagus Ahmad Bakri Sempur Purwakarta, Jawa Barat. Di antara muridnya yang berasal dari Malaysia adalah K. H. Dawud, Perak.
___________________________________

[2] Tujuan utama dicetuskan Nahdlatul Ulama adalah untuk mempertahankan ajaran Ahlussunnah; dalam hal ini ajaran Asy’ariyyah Maturidiyyah dalam aqidah dan Syafi’iyyah dalam fiqh. Cikal bakal dari timbulnya gerakan Nahdlatul Ulama adalah dimulai dari dibentuknya “Komite Hijaz” sebagai kontraproduktif terhadap gerakan “Wahhabiyah” di Hijaz (Mekah dan Madinah). Gerakan ekstrim Wahhabiyyah sampai kepada batasan yang tidak dapat ditolerir; di antaranya, usaha mereka dalam menghancurkan peninggalan-peninggalan sejarah umat Islam, termasuk keinginan mereka menghancurkan “al-Qubbah al-Khadlra” yang berada di atas makam Rasulullah, dan bahkan mereka hendak menghancurkan makam Rasulullah sendiri. Inilah yang menyulut terbentuknya Komite Hijaz di atas, termasuk berkumpulnya ulama sunni di Hijaz dari berbagai penjuru dunia saat itu. Komite ini kemudian dibulatkan menjadi organisasi Nahdlatul Ulama.
__________________________________

Tentang jumlah karya-karya Syekh Nawawi terdapat perbedaan pendapat. Satu pendapat menyatakan berjumlah 99 buah karya. Pendapat lain menyatakan 115 buah karya. Terlepas pendapat mana yang lebih kuat, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Syekh Nawawi adalah seorang ulama besar yang sangat produktif.
Karya-karya beliau dapat kita klasifikasi dalam masing-masing disiplin ilmu. Di antaranya sebagai berikut; dalam bidang akidah, dan akhlak di antaranya; Kasyifat as-Saja Syarh Safinat an-Naja ditulis pada tahun 1292 H, Bahjat al-Wasa’il ditulis pada tahun 1292 H, Fath al-Majid Syarh ad-Durr al-Fari fi at-Tauhid ditulis pada tahun 1298 H, Tijan ad-Durari ditulis pada tahun 1301 H, Qami’ at-thughyan Syarh Manzhumat Syu’ab al-Iman, Nur az-Zhalam Syarh Manzhumat ‘Aqidat al-‘Awam, Nasha’ih al-‘Ibad Syarh al-Munabbihat ‘Ala al-Isti’dad li Yaum al-Ma’ad, Salalim al-Fudlala Syarh Manzhumat Hidayat al-Adzkiya, dan lain-lain. Dalam bidang fikih di antaranya; Fath al-Mujib ditulis pada tahun 1276 H, Mirqat Shu’ud at-Tashdiq Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain ditulis tahun 1297 H, ‘Uqud al-Lujjain Fi Bayan Huquq az-Zaujain ditulis pada tahun 1297 H, at-Tausyih ‘Ala Ibn Qasim, dan lainnya. Dalam bidang Ilmu Bahasa dan Kesusasteraan, di antaranya; Lubab al-Bayan, Fath al-Gafir al-Khatiyyah Syarh al-Kaukab al-Jaliyyah, Al-Fushush al-Yaqutiyyah Syarh ar-Raudlah al-Bahiyyah fi al-Abwab at-Tashrifiyyah, dan lain-lain Dalam bidang Sejarah di antaranya; Targhib al-Mustaqim tentang maulid nabi, al-Ibriz ad-Dani tentang sejarah hidup Rasulullah, Fath as-Shamad tentang maulid nabi, dan lain-lain [3].
_______________________________

[3] al-Hamdulillah, [Tahddutsan Bi an-Ni'mah] penulis mendapatkan kemuliaan mendapatkan ijazah seluruh karya asy-Syaikh Nawawi Banten dari KH. ‘Abd al-Jalil Abu Sa’id dari ayahnya al-Ustadz asy-Syaikh Abu al-Faidl dari ayahnya asy-Syaikh ‘Abd asy-Syakur as-Sinauri (Senori Tuban) dari asy-Syaikh Nawawi ‘Umar al-Jawi. Asy-Syaikh Abu al-Faidl selain mengambil dari ayahnya sendiri, juga mengambil dari asy-Syaikh Hasyim Asy’ari dari Syekh Nawawi. Termasuk; penulis "ngaji" kepada ayahanda sendiri yang telah "ngaji" di Sempur Plered Purwakarta Jawa Barat tempat al-Faqih ash-Shufi asy-Syaikh Tubagus Ahmad Bakri ibn Tubagus Saida yang merupakan murid langsung dari Syaikh Nawawi. Semoga Allah memberikan berkah kepada kita dengan kemuliaan mereka. Amin.

"Tabarruk" (Mencari Berkah) Itu Bukan Barang Baru, Jangan Sembarangan Mengklaim Syirik!! [Mendudukan Masalah Dengan Dalil]

Pengertian Tabarruk

Tabarruk berasal dari kata al-Barakah. Arti al-Barakah adalah tambahan dan perkembangan dalam kebaikan (az-Ziyadah Wa an-Nama’ Fi al-Khair). Barakah (kebaikan) dalam harta adalah ketika bertambah banyak dan digunakan dalam ketaatan kepada Allah. Barakah dalam keluarga adalah ketika anggotanya berjumlah banyak dan berakhlak mulia. Barakah dalam waktu adalah lamanya masa dan terselesaikan semua urusan dalam masa yang ada. Barakah dalam kesehatan adalah kesempurnaan dalam kesehatan itu sendiri. Barakah dalam umur adalah panjang usia dan banyak beramal baik dalam rentang usia yang panjang tersebut. Barakah dalam ilmu adalah ketika ilmu itu semakin bertambah banyak dan diamalkan serta bermanfaat untuk orang banyak. Dengan demikian barakah itu adalah laksana pundi-pundi kebaikan (Jawami’ al-Khair) dan berlimpahnya nikmat yang diperoleh dari Allah.
Dari penjelasan ini dipahami bahwa makna Tabarruk adalah: “Thalab Ziyadah al-Khair Min Allah”. Artinya, meminta tambahan kebaikan dari Allah.
Di antara sekian banyak hal yang Allah jadikan sebab bagi seseorang untuk memperoleh barakah dari-Nya adalah bertabarruk dengan para Nabi, para wali, dan dengan para ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya (al-‘Ulama al-Amilin), serta dengan orang-orang saleh. Allah berfirman mengenai ucapan nabi Yusuf:

اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا (يوسف: 93)

“Pergilah kalian dengan membawa gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, maka ia akan dapat melihat kembali”. (QS. Yusuf: 93)

Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa Nabi Ya'qub bertabarruk dengan gamis Nabi yusuf. Nabi Ya’qub mencium dan menyentuhkan gamis tersebut ke matanya, sehingga beliau bisa melihat kembali.


Dalil-Dalil Tabarruk

Para sahabat Rasulullah telah mempraktekkan tabarruk (mencari berkah) dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah, baik di masa hidup Rasulullah maupun setelah beliau meninggal. Dari semenjak itu semua ummat Islam hingga kini masih tetap melakukan tradisi baik yang merupakan ajaran syari’at ini. Kebolehan perkara ini diketahui dari dalil-dalil yang sangat banyak, di antaranya sebagai berikut:

1. Perbuatan Rasulullah yang telah membagi-bagikan potongan rambut dan potongan kuku-kukunya.

A. Rasulullah membagi-bagikan rambutnya, ketika beliau bercukur di saat haji Wada’, haji terakhir yang beliau lakukan. Beliau juga membagi-bagikan potongan kukunya.
Pembagian rambut ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim dari hadits sahabat Anas ibn Malik. Dalam lafazh riwayat Imam Muslim, Anas berkata:

لمَاّ رَمَى صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ الجمرَةَ وَنَحَرَ نُسُكَهُ وَحَلَقَ نَاوَلَ الحَالِقَ شِقَّهُ الأيْمَنَ فَحَلَقَ، ثمَّ دعَا أبَا طَلْحَةَ الأنْصَارِيَّ فأعْطاهُ ثمّ نَاوَلَهُ الشِّقَ الأيْسَرَ فقَال "احْلِق"، فحَلَق، فأعْطَاهُ أبَا طَلحَةَ فقَال: اقْسِمْهُ بَيْنَ النّاس. وَفِي روَاية: فَبَدَأ بالشِّق الأيْمَنِ فَوَزَّعهُ الشّعْرَةَ وَالشّعْرَتَين بَيْنَ النّاس ثمّ قاَل: بالأيْسَر، فَصَنَعَ مثلَ ذَلكَ ثمّ قَال: ههُنَا أبُو طَلحَة، فَدَفَعهُ إلَى أبيْ طَلحَة. وَفي روَاية أنّه عَليهِ الصّلاَةُ وَالسّلامُ قَالَ للحَلاّق: هَا، وأشَارَ بيَدهِ إلَى الجَانِب الأيْمَن فَقَسَمَ شَعْرَهُ بَيْنَ مَنْ يَليْهِ، ثمّ أشَارَ إلَى الحَلاّق إلَى الجَانِبِ الأيْسَر فَحَلقَهُ فَأعْطَاهُ أمَّ سُلَيم (رَواهُ مُسْلم)

“Setelah selesai melempar Jumrah dan memotong kurbannya, Rasulullah kemudian bercukur. Beliau mengulurkan bagian kanan rambutnya kepada tukang cukur untuk memotongnya. Kemudian Rasulullah memanggil Abu Thalhah al-Anshari dan memberikan kepadanya potongan rambut tersebut. Lalu Rasulullah mengulurkan bagian kiri rambutnya kepada tukang cukur tersebut, sambil berkata: “Potonglah..!”. Lalu potongan rambut tersebut diberikan kembali kepada Abu Thalhah, seraya berkata: “Bagikanlah di antara manusia”.
Dalam riwayat lain, -disebutkan-: “Maka mulai -dipotong rambut- dari bagian kanan kepala Rasulullah dan beliau membagikan sehelai, dua helai rambut di antara manusia. Kemudian dari bagian kiri, juga dibagi-bagikan. Rasulullah berkata kepada Abu Thalhah: “Abu Thalhah kemarilah...!”, kemudian Rasulullah memberikan Potongan rambutnya kepadanya.
Dalam riwayat, -sebagai berikut-: “Rasulullah berkata kepada tukang cukur: “(Cukurlah) Bagian sini...!”, sambil beliau memberi isyarat ke bagian kanannya. Kemudian Rasulullah membagikannya kepada orang-orang yang berada di dekatnya. Lalu memberi isyarat kembali kepada tukang cukur ke bagian kirinya, setelah dicukur kemudian potongannya diberikan kepada Umu Sulaim”. (HR. Muslim)

Dalam hadits-hadits ini kita melihat bahwa Rasulullah sendiri yang membagi-bagikan sebagian rambutnya di antara orang-orang yang ada di dekatnya, sebagian lainnya diberikan kepada Abu Thalhah untuk dibagikan kepada semua orang, dan sebagian lainnya beliau berikan kepada Ummu Sulaim.

B. Rasulullah membagikan potongan kuku-kukunya. Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya bahwa Rasulullah memotong kuku-kukunya dan membagi-bagikannya di antara manusia.

Faedah Hadits:
Dalam hadits-hadits di atas terdapat penjelasan dan dalil-dalil kuat tentang tabarruk dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah. Rasulullah sendiri yang membagi-bagikan potongan rambutnya di antara para sahabatnya, agar mereka bertabarruk dengannya. Juga agar mereka menjadikannya sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah, serta menjadikan rambut-rambut yang mulia tersebut sebagai jalan untuk bertaqarrub kepada-Nya. Rasulullah membagi-bagikan rambut-rambutnya agar menjadi berkah yang terus menerus ada dan sebagai kenangan bagi para sahabatnya, juga bagi orang-orang yang datang sesudah mereka. Dari sinilah kemudian orang-orang yang dimuliakan Allah dalam kehidupan mereka mengikuti apa yang dilakukan para sahabat dalam mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah. Dimana hal ini kemudian menjadi tradisi yang diwarisi kaum Khalaf dari kaum Salaf. Sudah barang tentu Rasulullah membagi-bagikan potongan rambut dan potongan kuku-nya bukan untuk dimakan oleh para sahabat tersebut, melainkan agar mereka bertabarruk dengan rambut dan potongan kuku tersebut.

2. Para sahabat juga bertabarruk dengan jubah Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. Sebagai berikut:

عَنْ مَوْلَى أسْمَاءَ بِنْتِ أبِي بَكْر، قَالَ: أخْرَجَتْ إليْنَا جُبّةً طَيَالِسَةً كَسْرَوَانِيّةً لَهَا لَبِنَةُ دِيْبَاجٍ وَفَرْجَاهَا مَكْفُوْفَانِ، وَقَالَتْ: هذِهِ جُبّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ، فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا، وَكَانَ النّبيّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ يَلبِسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى نَسْتَشْفِيْ بِهَا، وَفي روَاية: نَغْسِلُهَا للمَرِيْضِ مِنَّا (رَواه مُسْلم)

“Dari hamba sahaya Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq, bahwa ia berkata: “Asma’ binti Abi Bakar mengeluarkan jubah --dengan motif-- thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.

3. Para sahabat Rasulullah dan kaum Tabi'in melakukan tabarruk dengan bekas tempat telapak tangan Rasulullah. Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikut:

عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ حَذْيَمٍ قَالَ: وَفَدْتُ مَعَ جَدّيْ حَذْيَمٍ إلَى رَسُولِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ، فَقَال: يَا رَسُولَ اللهِ إنّ لِيْ بَنِيْنَ ذَوِيْ لِحًى وَغَيْرَهُمْ وَهَذَا أصْغَرُهُمْ، فَأدْنَانِي رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَمَسَحَ رَأسِي، وَقَال: بَارَك اللهُ فِيْكَ، قَالَ الذّيالُ: فَلَقَدْ رَأيْتُ حَنْظَلَةَ يُؤْتَى بالرّجُلِ الوَارِمِ وَجْهُهُ أوِ الشّاةِ الوَارِمِ ضَرْعُهَا، فَيَقُوْلُ: بسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفّ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ فَيَمْسَحُهُ فُيَذْهَبُ الوَرمُ (روَاه الطّبَرانيّ في الأوْسَط وَالكَبيْر بنَحْوِه، وأحمَدُ فِي حَديثٍ طَوِيْلٍ وَرِجَالُ أحْمَدَ ثِقَاتٌ)

“Dari sahabat Hanzhalah ibn Hadzyam, bahwa ia berkata: “Aku mengikuti rombongan bersama kakekku; Hadzyam menuju Rasulullah. Kakekku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, aku memiliki beberapa anak laki-laki yang sudah besar dan ini yang paling kecil di antara mereka". Kemudian Rasulullah mendekatkan diriku ke dekatnya, lalu ia mengusap kepalaku seraya berkata: “Barakallah Fik” (Semoga Allah memberikan berkah kepadamu).
Adz-Dzayyal berkata: “Aku melihat Hanzhalah didatangi orang yang bengkak wajahnya atau orang yang membawa kambing yang bengkak susunya, kemudian Hanzhalah mengucapkan:

بِسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفِّ رَسُوْلِ اللهِ

“Dengan nama Allah atas tempat usapan telapak tangan Rasulullah”, kemudian ia mengusap orang tersebut hingga hilanglah bengkaknya. (Diriwayatkan al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al-Mu’jam al-Kabir, juga diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam hadits yang panjang yang semua para perawinya tsiqat (terpercaya).

4. Para Tabi’in melakukan tabarruk dengan kemuliaan mata sahabat Rasulullah yang pernah melihat Rasulullah, dan bertabarruk dengan tangan yang telah menyentuh Rasulullah di masa hidupnya. Perlakuan kaum Tabi’in ini sedikitpun tidak diingkari oleh para sahabat Nabi, sebaliknya mereka menyetujui perlakuan tersebut. Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikut:

عَنْ ثَابِتٍ قَالَ: كُنْتُ إذَا أَتَيْتُ أنَسًا يُخْبرُ بِمَكَانِي فَأدْخُلُ عَلَيْهِ فَآخُذُ بيَدَيْهِ فَأُقَبِّلُهُمَا وَأقُوْلُ: بَأبِي هَاتَانِ اليَداَنِ اللَّتاَنِ مَسّتَا رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَأُقَبّلُ عَيْنَيْهِ وَأقُوْلُ: بِأبِي هَاتَانِ العَيْنَانِ اللّتَانِ رَأتَا رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى وَرِجَالهُ رجَالُ الصّحِيْحِ غَيْرُ عَبْدِ اللهِ بنِ أبِي بَكْر المَقْدميّ وَهُوَ ثِقَةٌ)

“Dari Tsabit al-Bunani -Salah seorang dari Tabi'in ternama, murid Anas ibn Malik- berkata: “Apabila aku mendatangi Anas ibn Malik, ia (Anas) --selalu-- diberitahu tentang kedatanganku, maka aku menemuinya dan meraih kedua tangannya untuk aku cium. Aku berkata: “Sungguh, kedua tangan inilah yang telah menyentuh jasad Rasulullah”, kemudian juga aku cium kedua matanya, aku berkata: “Sungguh, kedua mata inilah yang telah melihat Rasulullah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para perawinya adalah para perawi Shahih selain ‘Abdullah ibn Abu Bakar al-Maqdimi dan dia adalah perawi yang terpercaya (Tsiqah).

5. Para Sahabat melakukan tabarruk dengan tanah kuburan Rasulullah. al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad, al-Imam ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan kitab al-Mu’jam al-Awsath, dan al-Imam al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya meriwayatkan bahwa pada suatu ketika Marwan ibn al-Hakam, -salah seorang Khalifah Bani Umayyah di masanya-, datang melewati makam Rasulullah. Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam tersebut karena menumpahkan kerinduan dan ingin memperoleh berkah dari Rasulullah. Marwan menghardik orang tersebut: “Sadarkah engkau dengan apa yang sedang engkau perbuat?!”. Orang dimaksud menoleh, dan ternyata dia adalah sahabat Abu Ayyub al-Anshari, salah seorang sahabat Rasulullah terkemuka. Kemudian sahabat Abu Ayyub berkata: “Iya (aku sadar), aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak mendatangi sebongkah batu. Aku mendengar Rasulullah bersabda:

لاَ تَبْكُوْا عَلَى الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ، وَلكِنْ ابْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ

“Jangan tangisi agama ini jika dikendalikan oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh orang yang bukan ahlinya”. (Maksud sahabat Abu Ayyub: “Engkau, wahai Marwan tidak layak menjadi seorang Khalifah”).

Dalam kitab Wafa’ al-Wafa, as-Samhudi meriwayatkan dengan sanad yang jayyid (kuat) bahwa sahabat Bilal bin Rabah ketika pindah ke Syam dan tinggal di sana, kemudian beliau berziarah ke makam Rasulullah di Madinah. Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air mata dan membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah”.
As-Samhudi juga menukil dari Kitab Tuhfah Ibn ‘Asakir bahwa ketika Rasulullah telah dimakamkan, as-Sayyidah Fatimah datang kemudian berdiri di samping makam lalu mengambil segenggam tanah dari makam Rasulullah tersebut dan ia letakkan tanah itu ke matanya kemudian ia menangis...”.

6. al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, dan al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab Dala-il an-Nubuwwah, dan lainnya meriwayatkan dengan sanad-nya dari sahabat Khalid ibn al-Walid, bahwa di perang Yarmuk beliau kehilangan pecinya. Khalid berkata -kepada prajuritnya-: “Carilah peci saya!”. Mereka mencari-cari namun mereka tidak menemukannya. Setelah dicari-cari kembali akhirnya mereka menemukannya dan ternyata peci tersebut adalah peci yang sudah sangat lusuh. Khalid berkata:

اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَحَلَقَ رَأسَهُ فَابْتَدَرَ النّاسُ جَوَانِبَ شَعْرِهِ فَسَبَقْتُهُمْ إلَى نَاصِيَتهِ فَجَعَلْتُهَا فِي هذِهِ القَلَنْسُوَةِ فَلَمْ أشْهَدْ قِتَالاً وَهِيَ مَعِيْ إلاّ رُزِقْتُ النَّصْرَ

“Ketika Rasulullah melakukan umrah (Ji’ranah) dan memotong rambutnya, banyak orang memburu bagian pinggir rambutnya. Namun aku berhasil mendahului mereka meraih rambut dari ubun-ubunnya dan aku letakan di peci ini, hingga tidak ada satu peperanganpun yang aku ikuti dan rambut itu bersama-ku kecuali aku diberi kemenangan”.

Kisah ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih. Al-Muhaddits Habib ar-Rahman al-A’zhami dalam Ta’liq-nya terhadap al-Mathalib al-‘Aliyah karya al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan: “al-Hafizh al-Bushiri mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang shahih. Al-Hafizh al-Haytsami mengatakan: Ath-Thabarani dan Abu Ya’la meriwayatkan riwayat serupa, dan para perawi keduanya adalah para perawi yang shahih” .

7. Para sahabat melakukan tabarruk dengan air wudlu Rasulullah. al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari ‘Aun ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah dan aku melihat Bilal mengambilkan air wudlu-nya, dan aku melihat orang-orang merebutkan -bekas- air wudlu Rasulullah tersebut. Orang yang dapat mengambilnya lalu ia mengusapkannya ke tubuhnya, dan orang yang tidak memperoleh bagian, maka ia mengambil dari tangan temannya yang masih basah”.

8. Para sahabat bertabarruk dengan bagian mimbar Rasulullah. Ibn Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf-nya meriwayatkan dari Abu Maududah berkata: “Telah mengkhabarkan kepadaku Yazid ibn Abd al-Malik bin Qasith, bahwa ia berkata: “Aku menyaksikan banyak dari para sahabat Rasulullah jika masjid telah sepi mereka berdiri menuju bagian mimbar yang biasa dipegang oleh tangan Nabi lalu mereka mengusapnya dan berdoa”. Abu Mawdudah berkata: “Saya juga melihat Yazid melakukan hal itu”.

9. Dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, -putera al-Imam Ahmad ibn Hanbal-, bahwa ia (‘Abdullah) berkata: “Aku bertanya kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal), tentang seseorang yang menyentuh dan mengusap bagian mimbar yang biasa dipegang oleh tangan Rasulullah untuk bermaksud bertabarruk dengannya, demikian juga aku tanyakan tentang orang yang mengusap kuburan Rasulullah -untuk tujuan itu-”. Ayahku menjawab: “Tidak apa-apa (boleh)”.
Dalam Kitab al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal disebutkan: “Aku (‘Abdullah) bertanya kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal) tentang orang yang menyentuh mimbar Rasulullah dan bertabarruk dengan menyentuh dan menciumnya, dan melakukan hal itu terhadap kuburan Rasulullah atau semacamnya, ia dengan itu bermaksud untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Ia (Ahmad ibn Hanbal) menjawab: “Tidak apa-apa (boleh)” .
Dengan demikian, apa yang hendak dikatakan oleh kalangan anti tabarruk dari orang-orang Wahhabiyyah tentang Imam Ahmad ibn Hanbal yang mereka banggakan sebagai panutan mereka?! Apakah mereka akan mengatakan Ahmad ibn Hanbal mengajarkan perbuatan syirik, karena beliau membolehkan dan bahkan mencontohkan tabarruk?! Hendak “kabur” ke mana mereka dari bukti-bukti ini?!


Kerancuan Kalangan Anti Tabarruk

Kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya seringkali ketika mereka terbentur dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama salaf dan khalaf yang bertentangan dengan pendapat mereka, mereka mengatakan:
A. Hadits-hadits tentang tabarruk dan tawassul ini khusus berlaku kepada Rasulullah!.
B. Mereka, para ulama tersebut melakukan perbuatan yang tidak ada dalilnya, dengan demikian harus ditolak, siapa-pun orang tersebut!.

Jawab:
A. Kita katakan kepada mereka: Adakah dalil yang mengkhususkan tabarruk, tawassul dan istighotsah hanya kepada Rasulullah saja?! Mana dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan pendapat kalian, kemudian kalian katakan bahwa khusus berlaku kepada Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini pemahaman para ulama kita tentang hadits-hadits tabarruk dan semacamnya, bahwa mereka memahaminya tidak hanya khusus kepada Rasulullah saja.
Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut:

بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ.

“Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” .

Dalam teks di atas sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”.
Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan:

وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ

“Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diharapkan berkahnya” .

Bahkan dalam kitab al-Hikayat al-Mantsurah karya al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, disebutkan bahwa beliau (adl-Dliya’ al-Maqdisi) mendengar al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali mengatakan bahwa suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah berobat ke mana-mana dan tidak mendapatkan kesembuhan. Akhirnya ia mendatangi kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian ia mengusapkan lengannya ke makam tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh kembali.
As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa mengutip dari al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa beliau berkata:

اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ.

“-Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium setiap yang berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, -salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah-, tentang kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh” .

Tentang keraguan dari sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut Ahmad ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas jelas tidak beralasan sama sekali. Karena pernyataan Ahmad ibn Hanbal tersebut telah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau sendiri, yatiu ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dan al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti telah kita sebutkan di atas.
Al-Badr al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari mengutip dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa ia berkata sebagai berikut:

وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ، قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ: وَلاَ يَبْعُدُ هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ تَعَالَى.

“Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad dan melambaikan tangan terhadap sudut-sudut Ka’bah tentang kebolehan mencium setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada Allah. Karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sebagai sesuatu yang sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb ath-Thabari melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian catatan kakek-ku; Muhammad ibn Abi Bakar dari al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif, bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika melihat mushaf mereka menciumnya. Lalu ketika melihat buku-buku hadits mereka menciumnya, dan ketika melihat kuburan orang-orang saleh mereka juga menciumnya. ath-Thabari mengatakan: Ini bukan sesuatu yang aneh dan bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa termasuk di dalamnya segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) kepada Allah. Wa Allahu A’lam” .

Dari teks-teks ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa para ahli hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al-Bukhari, seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini dengan ‘Umdah al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti Syekh Mar’i al-Hanbali dan lainnya, semuanya memiliki pemahaman bahwa kebolehan tabarruk tidak khusus berlaku kepada Rasulullah saja.
Dari sini, kita katakan kapada orang-orang anti tabarruk: Apa sikap kalian terhadap teks-teks para ulama ini?! Apakah kalian akan akan mengatakan bahwa para ulama tersebut berada di dalam kesesatan, dan hanya kalian yang benar dengan ajaran baru kalian?!

B. Jika dalil-dalil yang telah kita sebutkan itu bukan dalil, lalu apa yang mereka maksud dengan dalil? Apakah yang disebut dalil hanya jika disebutkan oleh panutan-panutan mereka saja?! Siapakah yang lebih tahu dalil dan memahami agama ini, apakah mereka yang anti tabarruk ataukah al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan para ulama ahli hadits dan ahli fikih?! Benar, orang yang tidak memiliki alasan kuat akan mengatakan apapun, termasuk sesuatu yang tidak rasional, bahkan terkadang oleh dia sendiri tidak dipahami.

Foto menunjukan wadah berisi beberapa helai Rambut Mulia Nabi Muhammad (Shalllallahu Alyhi Wa Sallam). Semoga Allah memuliakan kita untuk dapat berjumpa dengan Rasulullah di dunia ini; walau lewat mimpi, dan semoga kelak di akhirat nanti kita dikumpulkan dalam barisan beliau bersama para sahabatnya. Amin

Lihat: Lengkap | Ringkas * Catatan AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT Yang Benar Saja… Masa kata “Sayyidina” ketika bershalawat atas Nabi dibilang bid’ah sesat…!! (Waspadai Ajaran Wahabi...!!!) Bagikan 30 Maret 2010 jam 14:45 Menambah kata "Sayyid" sebelum menyebut nama Nabi Muhammad adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at. Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah seorang Sayyid, bahkan beliau adalah Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Salah seorang ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang dihormati dan dimuliakan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254). Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”: وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران: 39) “... menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran: 39) Nabi Muhammad jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul. Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda: أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي) “Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi) Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah: لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau: لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud) Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata: رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”. al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287). Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya. Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut: وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ “Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”. Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab). Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad. Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut: الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ “Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156). Diperbarui 2 minggu yang lalu · Komentari · SukaTidak Suka 3 orang menyukai ini. Andy Nur Wahiddien Andy Nur Wahiddien Ijin sare mas 06 April jam 10:04 · Laporkan AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT halal 100%, sebarkan semuanya, Barakallah fik.... 08 April jam 9:46 · Laporkan Tulis komentar... Konsensus Para Sahabat Dan Imam Empat Madzhab; "Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah" (Waspadai Aqidah Wahabi..!!!)

Berikut ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang menyalahinya.

1. al-Khalifah ar-Rasyid, al-Al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata:

كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ

“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).

Beliau juga berkata:

إنّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ

“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).

2. Seorang tabi’in yang agung, al-Al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:

أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ

“Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).

Juga berkata:

أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا

“Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).

3. al-Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata:

مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ، إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا (أىْ مَخْلُوْقًا)

“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-” (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 6).

4. al-Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.

“Allah ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)” (Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali al-Qari, h. 136-137).

Juga berkata:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.

“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Juga berkata:

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.

“Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut da tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).

Perkataan Imam Abu Hanifah ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk kelompok yang bernama Wahhabiyyah sekarang; mereka yang mengaku sebagai kelompok salafi. Kita katakan kepada mereka: Para ulama salaf telah sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah seorang terkemuka di kalangan mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari para ulama tabi’in, dan para ulama tabi’in tersebut telah mengambil pelajaran dari para sahabat Rasulullah.
Adapun ungkapan Imam Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa telah menjadi kafir seorang yang berkata “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah ia di langit atau di bumi!?”, demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”, hal ini karena kedua ungkapan tersebut menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena itu Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang mengatakan demikian. Karena setiap yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga baharu. Maksud ungkapan Imam Abu Hanifah tersebut bukan seperti yang disalahpahami oleh orang-orang Musyabbihah bahwa Allah berada di atas langit atau di atas ‘arsy. Justru sebaliknya, maksud ungkapan beliau ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, sebagaimana dalam ungkapan-ungkapan beliau sendiri yang telah kita tulis di atas.
Maksud dua ungkapan Imam Abu Hanifah di atas juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang mengatakan dua uangkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
Pernyataan Imam al-‘Izz ibn ‘Abd as-Salam ini juga dikuatkan oleh as-Syekh Mulla ‘Ali al-Qari. Ia berkata: “Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz ‘ibn ‘Abdissalam adalah orang yang paling paham terhadap maksud dari perkataan Imam Abu Hanifah tersebut. Karenanya kita wajib membenarkan apa yang telah beliau nyatakan” (Lihat Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 198).

5. Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w 204 H), perintis madzhab Syafi’i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan:

(فصل) وَاعْلَمُوْا أنّ اللهَ تَعَالَى لاَ مَكَانَ لَهُ، وَالدّلِيْلُ عَلَيْهِ هُوَ أنّ اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلاَ مَكَانَ فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ عَلَى صِفَةِ الأزَلِيّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لاَ يَجُوْزُ عَلَيْهِ التَّغَيُّرُ فِي ذَاتِهِِ وَلاَ التَّبَدُّلُ فِي صِفَاتِهِ، وَلأنّ مَنْ لَهُ مَكَانٌ فَلَهُ تَحْتٌ، وَمَنْ لَهُ تَحْتٌ يَكُوْنُ مُتَنَاهِي الذّاتِ مَحْدُوْدًا، وَالْمَحْدُوْدُ مَخْلُوْقٌ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا، ولِهذَا الْمَعْنَى اسْتَحَالَ عَليْه الزّوْجَةُ وَالوَلدُ، لأنّ ذلِك لاَ يَتِمّ إلاّ بالْمُبَاشَرَةِ والاتّصَالِ والانْفِصَال.

“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad asifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha: 5, al-Imam as-Syafi’i menuliskan sebagai berikut:

فَإنْ قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِهَا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ، وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ.

“Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan” (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

6. Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:

وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.

“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)

Yang Benar Saja… Masa kata “Sayyidina” ketika bershalawat atas Nabi dibilang bid’ah sesat…!! (Waspadai Ajaran Wahabi...!!!)

Menambah kata "Sayyid" sebelum menyebut nama Nabi Muhammad adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at. Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah seorang Sayyid, bahkan beliau adalah Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Salah seorang ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang dihormati dan dimuliakan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254).
Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:

وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران: 39)

“... menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran: 39)

Nabi Muhammad jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul. Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)
“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi)

Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur.
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ

Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ

Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)
Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:

وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ

“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.

Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.

Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:

الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ

“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).

Jangan Salah Memahami Firman Allah QS. al-Mulk: 16. Kaum Musyabbihah Seringkali Menyelewengkan Makna Ayat Ini..!! Hati-Hati..!!

Yang dimaksud dari firman Allah dalam QS. Al-Mulk: 16 adalah:

ءَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ (الملك)

Seluruh ayat-ayat mutasyabihat dan hadits-hadits mutasyabihat yang zhahirnya seakan Allah berada di langit, atau seakan berada di atas langit dengan jarak antara Allah dan langit itu sendiri, maka teks-teks tersebut harus ditakwil; tidak boleh dipahami secara zhahirnya. Di antaranya, firman Allah: ”A-amintum Man Fi as-Sama’” (QS. al-Mulk: 16), bahwa yang dimaksud dengan “Man Fi as-Sama’” adalah para Malaikat. Takwil ini sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Imam al-Hafizh al-Iraqi dalam penafsiran beliau terhadap hadits yang berbunyi:

ارْحَمُوْا مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السّمَاء (رواه الترمذي)

Al-Hafizh al-Iraqi menafsirkan hadits ini dengan hadits riwayat lainnya yang berasal dari jalur sanad Abdullah ibn Amr ibn al-Ash, dari Rasulullah, bahwa Rasulullah bersabda:

الرّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرّحِيْمُ ارْحَمُوْا أهْلَ الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهْلُ السّمَاءِ

Al-Hafizh al-Iraqi menuliskan: “Diambil dalil dari riwayat hadits yang menyebutkan “Ahl as-Sama’” (hadits kedua di atas) bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (yang menyebutkan “Man Fi as-Sama’”) adalah para Malaikat” (Amali al-Iraqi, h. 77).

Apa yang dilakukan oleh al-Hafzih al-Iraqi ini adalah sebaik-baiknya metode dalam memahami teks; yaitu menafsirkan sebuh teks yang datang dalam syari’at (warid) dengan teks lainnya yang juga warid, inilah yang disebut Tafsir al-Warib Bi al-Warid, atau dalam istilah lain disebut at-Tafsir Bi al-Ma-tsur. Karena itu al-Hafizh al-Iraqi sendiri berkata dalam Alfiah-nya:

وَخَيْرُ مَا فَسَّرْتَهُ بالوَارِدِ كَالدُّخِّ بِالدُّخَانِ لاِبْنِ صَائِدِ

“Sebaik-baik cara engkau menafsirkan teks yang warid adalah dengan menafsirkannya dengan teks yang warid pula, seperti penafsiran kata al-Dukh dengan makna al-Dukhan, sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibn Sha’id”.

Dengan demikian riwayat hadits ke dua ini menafsirkan makna firman Allah QS. al-Mulk: 16 tersebut di atas. Maka makna “yang ada di langit (Man Fi as-Sama’)” adalah para Malaikat, karena para Malaikat memiliki kekuasaan untuk menggulung bumi terhadap orang-orang musyrik seperti yang dimaksud oleh ayat tersebut. Artinya, jika para Malaikat tersebut diperintah oleh Allah untuk melakukan hal itu maka pastilah mereka akan melakukannya. Demikian pula dalam pengertian ayat seterusnya; ”Am Amintum Man Fi as-Sama...” (QS. al-Mulk: 17), yang dimaksud ayat ini adalah para Malaikat Allah. Artinya, bahwa para Malaikat yang berada di langit tersebut memiliki kekuasaan untuk mengirimkan angin keras yang dapat menghancurkan orang-orang musyrik.

Demikian pula dengan sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, bahwa Rasulullah bersabda:

وَالّذِيْ نَفْسِي بيَدِه مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأتَهُ إلَى فِرَاشِهَا فَتأبَى عَلَيْهِ إلاّ كَانَ الّذِيْ فِي السّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتّى يَرْضَى عَنْهَا (رواه مسلم)

“Demi Allah yang jiwaku berada di dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seorang laki-laki memanggil isterinya ke tempat tidurnya --untuk melakukan hubungan badan-- kemudian perempuan tersebut enggan menjawabnya, kecuali bahwa ”yang ada di langit” murka kepadanya hingga suaminya tersebut meridlainya” (HR. Muslim).

Yang dimaksud dengan “Yang ada di langit” dalam hadits ini adalah Malaikat Allah.

Penafsiran ini sesuai dengan riwayat hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban dan lainnya, di mana hadits ke dua ini lebih masyhur daripada hadits di atas, yaitu hadits dengan redaksi: ”La’anatha al-Mala-ikah Hatta Tushbiha...”, dalam hadits ini dengan jelas disebutkan bahwa perempuan tersebut dilaknat oleh para Malaikat hingga datang subuh (Lihat Shahih Muslim, Kitab al-Nikah, Bab tentang keharaman menolak seorang istri dari keinginan suami. Lihat pula Tartib Shahih Ibn Hibban, j. 6, h. 187, Kitab al-Nikah, Bab hubungan suami istri).

Sedikitpun jangan pernah anda berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit, atau bertempat di atas arsy, seperti keyakinan kaum Wahhabiyyah. Yang benar "ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH".

Bait2 Syair Karya Imam Abu Hanifah Dalam Tawassul Beliau Dengan Rasulullah SAW

توسل الإمام أبي حنيفة رضي الله عنه بالنبي الحبيب محمد صلى الله عليه وسلم

يـا سيـد السـادات جئـتـك قـاصـدا أرجــو رضــاك و أحتـمـي بحمـاكـا
و الله يـاخـيـر الـخـلائـق ان لـــي قـلـبـا مـشـوقـا لا يـــروم سـواكــا

و بـحـق جـاهــك انـنــي بـــك مـغــرم و الله يـعـلـم أنـنــي أهـواكــا
أنـت الـذي لــولاك مــا خـلـق امــرؤ كــلا و لا خـلـق الــورى لـولاكـا

أنت الذي من نـورك البـدر اكتسـى و الشمـس مشرقـة بنـور بهاكـا
أنت الذي لمـا رفعـت الـى السمـا بـك قـد سمـت و تزينـت لسراكـا

انــت الــذى نــا داك ربــك مرحـبـا ولـقـد دعــاك لقـربـه وحـبــا كـــا
أنـت الـذى فيـنـا سـالـت شفـاعـة نــاداك ربــك لــم تـكـن لسـواكـا

أ نــت الــذى لـمـا تـوسـل آدم مـــن زلـــة بـــك فـــاز وهـــوأ بـاكــا
وبــك الخلـيـل دعــا فـعـادت نــاره بــردا وقــد خـمـدت بـنـور سنـاكـا

ودعــاك أ يــوب لـضــر مـســه فـأزيــل عـنــه الـضــر حـيــن دعـاكــا
وبـك المسيـح أتـى بشيـرا مخبـرا بصـفـات حسـنـك مـادحـا لعـلاكـا

وكـذاك موسـى لـم يـزل متوسـلا بـك فـى القيامـة محـتـم بحمـاكـا
والأ نبيـاء وكـل خلـق فـى الـورى والرسـل والأ مـلاك تحـت لــوا كــا

لـك معجـزات أعجـزت كـل الـورى وفضائـل جلـت فلـيـس تـحـا كــى
نـطـق الــذراع بسِـمـه لــك معلـنـا والـضـب قــد لـبـاك حـيـن أتـاكــا

والـذئـب جــاءك والغـزالـة قـدأتـت بــك تستجـيـر وتحتـمـى بحمـاكـا
وكذا الوحوش أ تـت إليـك وسلمـت وشكـى البعيـر إليـك حيـن رآكـا

ودعـوت أشـجـارا أتـتـك مطيـعـة وسمـعـت إلـيـك مجيـبـة لـنـدا كــا
والمـاء فـاض براحتيـك وسبحـت صـم الحصـى بالفضـل فـى يمنـاكـا

وعليك ظللـت الغمامـة فـى الـورى والجـذع حـن إلـى كريـم لقـا كـا
وكـذاك لا أثـر لمشيـك فـى الثـرى والصخـر قـد غاصـت بـه قدمـا كـا

وشفيـت ذا العاهـات مـن أمراضـه ومـلات كــل الارض مــن جـدواكـا
ورددت عيـن قتـادة بـعـد العـمـى وابــن الحصـيـن شفيـتـه بشفـاكـا

وكــذا حبـيـب وابــن عـفـر بعـدمـا جـرحـا شفيتهـمـا بلـمـس يـداكـا
و علـي مـن رمـد بــه داويـتـه فــي خيـبـر فشـفـى بطبـيـب لمـاكـا

وسألـت ربـك فـي ابـن جـابـر بعـدمـا أن مــات أحـيـاه وقــد أرضـاكـا
و مسست شاة لأم معبد بعدما ما نشفت فدرت من شفاكـا رقياكـا

و دعوت عـام القحـط ربـك معلنـا فانهـال قطـر السحـب حيـن دعاكـا
ودعـوت كـل الخلـق فانقـادوا الــى دعــواك طـوعـا سامعـيـن نـداكـا

و خفضت دين الكفـر يـا علـم الهـدى ورفعـت دينـك فاستقـام هناكـا
أعداك عادو في القليب بجمعهـم صرعـى وقـد حرمـوا الرضـا بجفاكـا

فــي يــوم بــدر قــد أتـتـك مـلائـك مــن عـنـد ربــك قاتـلـت أعـداكـا
و الفتـح جـاءك يـوم فتحـك مكـة و النصـر فـي الأحــزاب قــد iiوافـاكـا

هـود و يونـس مـن بهـاك تجمـلا و جمـال يوسـف مـن ضيـاء سناكـا
قــد فـقـت يــا طــه جمـيـع الأنبـيـا طــرا فسبـحـان الــذي أسـراكــا

و الله يـا يسيـن مثلـك لـم يكـن فــي العالمـيـن و حــق مــن نبـاكـا
عـن وصفـك الشعـراء يـا مدثـر عـجـزوا و كـلـوا عــن صـفـات عـلاكـا

انجيل عيسـى قـد أتـى بـك مخبـرا و لنـا الكتـاب أتـى بمـدح حلاكـا
مـاذا يقـول المادحـون ومـا عسـى أن تجمـع الكتَـاب مــن معنـاكـا؟!

و الله لــو أنَ الـبـحـار مـدادهــم و الـشـعـب أقـــلام جـعـلـن لـذاكــا
لــم تـقـدر الثـقـلان تجـمـع نــزره أبــدا و مــا اسطـاعـوا لــه ادراكــا

بــك لــي فــؤاد مـغـرم يــا سـيـدي و حشـاشـة محـشـوة بـهـواكـا
فــاذا سـكـتُ ففـيـك صمـتـي كـلـه و اذا نـطـقـت فـمـادحـا علـيـاكـا

و اذا سـمـعـت فـعـنـك قـــولا طـيـبـا و اذا نـظــرت فـمــا أرى الاَكـــا
يـا مالكـي كـن شافعـي فـي فاقتـي انـيِ فقيـر فـي الـورى لغنـاكـا

يـا أكـرم الثقليـن يـا كنـز الغنـى جـد لـي بجـودك و ارضنـي برضـاكـا
أنـا طامـع بالجـود منـك و لـم يكـن لأبـي حنيفـة فـي الأنـام سـواكـا

فعسـاك تشفـع فـيـه عـنـد حسـابـه فلـقـد غــدا متمسـكـا بعـراكـا
فلأنـت أكـرم شافـع و مشـفـع ومــن التـجـى بحـمـاك نــال رضـاكـا

فاجعل قراى شفاعة لي في غد فعسى أرى في الحشر تحت لواكا
صلـى عليـك الله يـا علـم الـهـدى مــا حــنَ مشـتـاق الــى مثـواكـا

و علـى صحابتـك الـكـرام جميعـهـم و التَابعـيـن و كــلَ مــن والاكــا



كتب أبو حنيفه هذه القصيدة ليتقرب بها من رسول الله صلى الله عليه و سلم، و لينشدها بين يديه في أثناء زيارته ، و لم يطلع عليها أحد.
فلما وصل الى المدينة المنورة، سمع المؤذن ينشدها على المئذنة،! فعجب من ذلك و انتظر المؤذن.
فسأله: لمن هذه القصيدة؟!.
قال :لأبي حنيفة.
قال: أتعرفه؟.
قال: لا.
قال: و عمن أخذتها؟!.
قال: في رؤياي أنشدها بين يدي المصطفى صلى الله عليه و سلم، فحفظتها و ناجيته بها على المئذنة.
فدمعت عينا أبي حنيفة

Allah tidak dikatakan bagi-Nya "di luar", "di dalam", "menempel", dan atau "terpisah" (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)

Kaum Musyabbihah (wahabi sekarang) memiliki kerancuan yang sangat menyesatkan, menyebutkan jika Allah ada tanpa tanpa tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah. Kemudian dari kesesatan mereka ini, mereka menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata: ”Pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat yang sama saja dengan menafikan wujud Allah”.

Cukup untuk membantah kesesatan mereka ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan benda; Dia bukan benda berbentuk kecil juga bukan benda berbentuk besar. Dan oleh karena Dia bukan benda maka keberadaan-Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan bagi-Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para ulama terkemuka dikalangan Ahlussunnah dari empat madzhab. Dan inilah pula keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, di mana mereka telah menetapkan keyakinan tentang kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat makhluk seperti; baru, gerak, diam, berkumpul, berpisah, bertempat, menempel dengan alam, terpisah dari alam, dan lainnya, ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah.

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dengan sangat tegas mengatakan bahwa Allah tidak boleh disifat dengan menempel atau terpisah dari sesuatu. Simak tulisan beliau berikut ini:

“Bila ada yang berkata bahwa menafikan arah dari Allah sama saja dengan menafikan keberadaan-Nya, kita jawab kesesatan ini: ”Jika kalian berpendapat bahwa segala yang ada itu harus menerima sifat menempel dan terpisah maka pendapat kalian ini benar, namun demikian bahwa Allah mustahil dari sifat menempel dan terpisah juga benar dan dapat diterima. Jika mereka berkata: ”Kalian memaksa kami untuk menetapkan sesuatu yang tidak dapat dipahami!”, kita jawab: ”Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang dapat dipahami itu adalah adalah sesuatu yang dapat dikhayalakan dan digambarkan oleh akal, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan seperti itu karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, segala apapun yang dikhayalkan dan digambarkan oleh akal pastilah merupakan benda yang memiliki warna dan memiliki ukuran, karena khayalan dan gambaran akal itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran akal ini tidak dapat membayangkan apapun kecuali segala apa yang pernah diindra oleh mata karena gambaran adalah buah dari penglihatan dan indra”. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman tersebut tidak dapat diterima oleh akal, maka kita jawab: ”Telah kita jelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah dapat diterima oleh akal. Dan sesungguhnya akal sehat itu tidak memiliki alasan untuk menolak terhadap sesuatu yang logis. Ketahuilah, ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka dengan demikian secara logis nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya. Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan atau berpindah-pindah” (Lihat al-Bâz al-Asyhab, h. 59).

Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami berkata sebagai berikut:

“Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat menempel dan terpisah adalah bahwa sesuatu tersebut pastilah merupakan benda dan pasti membutuhkan kepada tempat. Dan dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda. Pendekatannya, seperti benda keras (al-jamâd; semacam batu) tidak kita katakan bahwa benda itu pintar juga tidak kita katakan bahwa dia itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup. Dan jika sifat hidup itu tidak ada (seperti batu tersebut) maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan darinya” (lihat al-I’lâm Bi Qawâthi’ al-Islâm pada tulisan pinggir (hâmisy) kitab al-Zawâjir, j. 2, h. 43-44).

Al-Imâm al-Hâfizh an-Nawawi dalam kitab Raudlah al-Thâlibin dalam kutipannya dari pernyataan al-Imâm al-Mutawalli berkata: “... atau apa bila seseorang menetapkan sesuatu bagi Allah yang secara Ijma’ telah ditetapkan bahwa sesuatu tersebut dinafikan dari-Nya, seperti menetapkan warna, menempel, dan terpisah, maka orang ini telah menjadi kafir” (Lihat Raudlah al-Thalibîn, j. 10, h. 64).

Anda lihat kutipan al-Imâm an-Nawawi dari al-Imâm al-Mutawalli bahwa seorang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat benda telah menjadi kafir. Perlu anda ketahui bahwa al-Imâm al-Mutawalli ini adalah seorang yang telah mencapai derajat Ash-hâb al-Wujûh dalam madzhab Syafi’i; adalah derajat keilmuan yang sangat tinggi, satu tingkat di bawah derajat para Mujtahid Mutlak.

Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al-Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka, yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai berikut:

“al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah Muhammad ibn Jalal pernah ditanya apakah Allah tidak dikatakan di dalam alam ini juga tidak dikatakan di luarnya? yang bertanya ini kemudian berkata: Pertanyaan ini; yaitu Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam telah kami dengar dari beberapa guru kami. Ada sebagian orang yang menyanggah hal ini dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sama juga menafikan dua keadaan yang berlawanan. Ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah segala sesuatu dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan alam. Pendapat terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat sebagian orang menyatakan bahwa pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang rancu dan sia-sia, serta tidak layak dipertanyakan demikian bagi Allah. Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia menjawab demikian atas pertanyaan tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam, sebagaimana ia tuliskan dalam syarh-nya terhadap kitab al-Risâlah.
Kemudian al-Imâm Ibn Jalal menjawab: ”Akidah yang kita nyatakan dan yang kita pegang teguh serta yang kita yakini sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam. Dan sesungguhnya merasa tidak mampu dan merasa lemah untuk meraih Allah maka itu adalah keyakinan yang benar. Keyakinan ini didasarkan kepada dalil-dalil yang sangat jelas baik dengan dalil akal, maupun dalil naql. Adapun dalil naql adalah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an Allah berfirman bahwa Dia Allah sama sekali tidak menyerupai suatu apapun (QS. asy-Syura: 11). Jika Allah dikatakan berada di dalam alam atau berada di luar alam maka akan banyak yang serupa bagi-Nya. Karena jika Allah berada di dalam alam maka berarti Allah adalah bagian dari jenis-jenis alam itu sendiri, dan bila demikian maka berarti Allah wajib memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang wajib dimiliki oleh setiap bagian alam tersebut (seperti punah, berubah dan lainnya). Lalu jika dikatakan bahwa Allah berada di luar alam maka hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan, bisa jadi Dia menempel dengan alam tersebut dan bisa jadi Dia terpisah dari alam tersebut. Dan bila terpisah maka hal itu menuntut adanya jarak antara keduanya, baik jarak yang terbatas atau jarak yang tidak terbatas. Dan keadaan semacam ini sama saja menuntut bahwa adanya Allah membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya dalam keadaan tersebut. Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah:

كَانَ اللهُ وَلمْ يَكُنْ شَيءٌ مَعَهُ (روَاه البُخَارِي وَغيرُه)

“Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun bersama-Nya”. (HR al-Bukhari dan lainnya).

Sementara dalil dari Ijma’ ialah bahwa seluruh Ahl al-Haq telah sepakat bahwa Allah ada tanpa arah. Tidak boleh dikatakan bagi-Nya di atas, di bawah, di samping kanan, di samping kiri, di depan atau di belakang.
Adapun dalil secara akal maka telah sangat jelas bagi anda pada pembahasan di atas dalam makna dari firman Allah QS. asy-Syura: 11. Adapun pendapat yang menyanggah pernyataan ”Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam” karena sama saja dengan menafikan-Nya adalah pendapat yang tidak benar. Karena sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa diterima keberadaannya kecuali dengan adanya salah satu keadaan yang berlawanan (seperti bila tidak di luar, maka ia di dalam) hanya berlaku bagi sesuatu yang terikat oleh dua keadaan tersebut saja. Adapun sesuatu yang tidak disifati dengan dua keadaan tersebut maka hal itu bisa diterima, dan dua keadaan tersebut tidak dikatakan saling bertentangan. Pendekatannya, bila dikatakan “tembok ini tidak buta juga tidak melihat”, maka pernyataan semacam ini tidak dikatakan saling bertentangan, karena dua keadaan yang bertentangan tersebut tidak berlaku bagi tembok. Maka demikian pula ketika kita katakan bagi Allah bahwa Dia tidak di atas, juga tidak di bawah, atau semacamnya, itu semua bisa diterima oleh akal.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah segala sesuatu dari komponen alam ini, seperti yang dituduhkan kepada al-Ghazali, maka ini adalah pendapat yang berasal dari kaum filsafat yang belakangan diambil sebagai faham oleh beberapa kelompok kaum sufi gadungan. Dan pernyataan semacam ini jauh dari kebenaran. Adapun pendapat yang menuduh bahwa pernyataan ”Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam” sebagai pernyataan yang rancu dan sia-sia serta perkara yang tidak layak dipertanyakan bagi Allah, maka pendapat ini tidak bisa diterima karena telah jelas dalil-dalilnya seperti yang telah dibahas. Dan seandainya benar pendapat Ibn Miqlasy seperti ini, namun demikian ia tidak patut dijadikan rujukan dalam hal ini karena dia bukanlah seorang yang ahli seperti layaknya kaum teolog (dari kalangan Ahlussunnah). Dan sesungguhnya, memang banyak dari antara para ulama fiqih yang tidak benar-benar mumpuni dalam masalah teologi ini, terlebih lagi sangat mendalam dengan sedetailnya” (Lihat ad-Durr al-Tsamîn, h. 24-25).

Pernyataan bahwa Allah tidak di dalam alam dan tidak di luar alam juga telah diungkapkan oleh salah seorang pimpinan kaum teolog di kalangan Ahlussunnah, yaitu al-Imâm Abu al-Mu’ain an-Nasafi, demikian pula telah disebutkan oleh asy-Syaikh al-Qunawi, al-‘Allâmah asy-Syaikh al-Bayyadli, dan para ulama terkemuka lainnya. (Lihat Isyârât al-Marâm Min ’Ibârât al-Imâm, h. 197-198).
Al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari menuliskan:

”Setelah adanya penjelasan yang sangat terang ini maka janganlah engkau tertipu dengan kesesatan kaum Mujassimah hingga mereka memalingkanmu dari akidah tanzîh kepada akidah tasybîh. Biasanya mereka berkata: ”Pernyataan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa bentuk, tidak menempel dengan alam atau tidak terpisah dari alam adalah pendapat yang sama sekali tidak bisa dipahami”. Kita katakan kepada mereka: ”Di antara makhluk saja ada sesuatu yang wajib kita percayai keberadaannya, padahal sesuatu tersebut tidak dapat kita bayangkan. Tetapi demikian, akal kita menetapkan keberadaan sesuatu tersebut. Yaitu adanya satu waktu sebelum diciptakannya cahaya dan kegelapan. Sesungguhnya, cahaya dan kegelapan adalah makhluk Allah, sebelumnya tidak ada, lalu kemudian menjadi ada karena diciptakan oleh Allah, seperti dalam berfirman-Nya:

وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ (الأنعام: 1)

”Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala kegelapan dan cahaya” (QS. al-An’am: 1).

Dengan ayat ini kita wajib beriman bahwa kegelapan dan cahaya adalah makhluk Allah. Ini artinya kita wajib meyakini bahwa ada suatu waktu; di mana Allah belum menciptakan kegelapan dan belum menciptakan cahaya. Dalam hal ini akal manusia tidak akan bisa membayangkan adanya suatu waktu yang di dalamnya tidak ada kegelapan juga tidak ada cahaya. Jika pada makluk saja ada sesuatu yang harus kita percayai semacam ini yang tidak dapat digambarkan dan dibayangkan oleh akal maka terlebih lagi tentang Allah. Artinya, jika keberadaan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh akal dapat diterima oleh akal, maka demikian pula dapat diterima jika Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal; bahwa Dia ada tanpa bentuk, tanpa tempat, tanpa arah, tidak menempel atau di dalam alam dan juga tidak di luar alam. Bahkan adanya Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal harus lebih diterima dibanding waktu yang tidak ada kegelapan dan cahaya di dalamnya tersebut. Karena waktu tersebut adalah makhluk, sementara Allah adalah Khâliq, dan Dia sendiri telah berfirman dalam QS. asy-Syura: 11 bahwa Dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya” (Lihat Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ’Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, J. 1, h. 107).

Ingat, Aqidah Rasulullah, para sahabat, dan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.


al-Waliyy as-Shalih al-'Allamah asy-Syahid asy-Syaikh Nizar Halabi. Wafat dalam keadaan syahid karena menegakan Aqidah Rasulullah (Shallallahu Alayhi Wa Sallam)

Pemahaman Hadits Ini Sering Disalahpahami Oleh Org2 Wahhabi; Masalah Membaca Al-Qur'an Bg Yg Sdh Meninggal [Waspadai Mereka..!!]

Ada sebuah hadits riwayat Imam al-Bukhari yang seringkali dipakai oleh kalangan Wahhabi untuk mengharamkan membaca al-Qur'an di atas kuburan, tepatnya hadits ini disalahpahami oleh mereka. Padahal hadits ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah menghadiahkan pahala bagi orang yang sudah meninggal/membaca al-Qur'an di atas kuburan. Karena masalah kebolehan membaca al-Qur'an bagi yang sudah meninggal sudah sangat jelas dituliskan oleh para ulama.

Bahkan Ibn Taimiyah yang notabene "Imam tanpa tanding" kaum Wahhabi pada banyak tempat dari Majmu' Fatawa-nya menuliskan bahwa pahala bacaan al-Qur'an dari yang masih hidup jika di hadiahkan bagi orang yang sudah meninggal akan sampai kepadanya.

Itulah kebiasaan orang-orang wahhabi; membuat kekacauan. Mereka berkedok dengan kata2 manis, mengatakan "kami hanya berpegang teguh kepada al-Qur'an dan Sunnah", "kita perangi TBC (tahayul, bid'ah dan khurafat)", "kami bermadzhab salaf", dan lain sebagainya. Mereka mengaku memerangi bid'ah, tapi sebenarnya mreka sendiri ahli bid'ah. Mereka mengaku hanya berpegang teguh kepada al-Qur'an dan Sunnah, tapi sebenarnya mereka menghancurkan pemahaman al-Qur'an dan Sunnah. Anda lihat, bagaimana mereka membuat judul "derajat orang-orang tahlil labih rendah dari seorang pelacur", A'udzu Billah. Itulah tradisi yang mereka warisi dari pimpinan mereka; Muhammad ibn Abd al-Wahhab, mangklaim sesat dan bahkan mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Hasbunallah.

Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa doa dan istighfar seorang muslim yang masih hidup kepada Allah untuk orang yang telah meninggal dapat memberikan manfaat kepadanya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ (الحشر: 10)

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS. Al-Hasyr: 10)

Al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam al-Adzkar menuliskan:

“Semua ulama sepakat bahwa doa bagi orang-orang yang telah meninggal memberikan manfaat terhadap mereka dan pahala doa tersebut sampai kepada mereka. Mereka mengambil dalil firman Allah QS. Al-Hasyr: 10 (tersebut di atas) dan berbagai ayat lainnya, juga dengan dalil beberapa hadits masyhur di antaranya sabda Nabi:

اللّهُمّ اغْفِرْ لِأهْلِ بَقِيْعِ الغَرْقَد (رواه مسلم)

“Ya Allah ampunilah bagi orang-orang yang dimakamkan di Baqi’ al-Gharqad” (HR. Muslim)
Dan hadits Nabi:
اللّهُمّ اغْفِرْ لِحَيّنَا وَمَيّتِنَا (رواه الترمذي)

“Ya Allah ampuni bagi orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal di antara kami” (HR. At-Tirmidzi)”. (Lihat al-Adzkar: 176)

Demikian juga membaca al-Qur'an di atas kubur juga bermanfaat terhadap mayyit. Dalil Kebolehan membaca al-Qur'an di atas kubur adalah hadits bahwa Nabi membelah pelepah yang basah menjadi dua bagian kemudian Nabi menanamkan masing-masing di dua kuburan yang ada dan Rasulullah bersabda:

لَعَلّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا (رواه الشيخان)

"Semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa kubur selama pelepah ini belum kering".

Dapat diambil dalil dari hadits ini bahwa boleh menancapkan pohon dan membaca al-Qur'an di atas kubur, jika pohon saja bisa meringankan adzab kubur lebih–lebih bacaan al-Qur'an orang mukmin. Al-Imam an-Nawawi berkata: "Para ulama mengatakan sunnah hukumnya membaca al-Qur'an di atas kubur berdasarkan pada hadits ini, karena jika bisa diharapkan keringanan siksa kubur dari tasbihnya pelepah kurma apalagi dari bacaan al-Qur'an" (Lihat dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj, j. 3, h. 202). Jelas bacaan al-Qur’an dari manusia itu lebih agung dan lebih bermanfaat daripada tasbihnya pohon. Jika telah terbukti al-Qur’an bermanfaat bagi sebagian orang yang ditimpa bahaya dalam hidupnya, maka mayit begitu juga.
Di antara dalil bahwa mayyit mendapat manfaat dari bacaan al-Qur’an orang lain adalah hadits Ma'qil ibn Yasar:

اقْرَءُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ (رَوَاهُ أبُو داوُد والنّسَائِي وابْنُ مَاجَه وابْنُ حِبّان وصَحّحَه).

“Bacalah surat Yaasin untuk mayit kalian " (H.R Abu Dawud, an– Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban dan dishahihkannya).

Hadits ini walaupun dinyatakan lemah oleh sebagian ahli hadits, tetapi Ibn Hibban mengatakan hadits ini shahih dan Abu Dawud diam (tidak mengomentarinya) maka dia tergolong hadits Hasan (sesuai dengan istilah Abu Dawud dalam Sunan-nya), dan al Hafizh as-Suyuthi juga mengatakan bahwa hadits ini Hasan.
Dalil yang lain adalah hadits Nabi:

يس قَلْبُ القُرءَان لاَ يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ و الدّارَ الآخِرَةَ إلاّ غفرَ لَهُ، وَاقْرَءُوهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ (روَاه أحْمد)

“Yasin adalah hatinya al-Qur’an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah dosa– dosanya, dan bacalah Yasin ini untuk mayit–mayit kalian " (HR. Ahmad)

Ahmad bin Muhammad al Marrudzi (salah seorang murid al-Imam Ahmad ibn Hanbal) berkata : "Saya mendengar Ahmad ibn Hanbal -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Apabila kalian memasuki areal pekuburan maka bacalah surat al Fatihah dan Mu'awwidzatayn dan surat al Ikhlas dan hadiahkanlah pahalanya untuk ahli kubur karena sesungguhnya pahala bacaan itu akan sampai kepada mereka" (Lihat al-Maqshad al-Arsyad, j. 2, h. 338-339).
Al Khallal juga meriwayatkan dalam al Jami' dari asy-Sya'bi bahwa ia berkata:

كَانَتِ الأنْصَارُ إذَا مَاتَ لَهُمْ مَيّتٌ اخْتَلَفُوا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ لَهُ الْقُرْءَانَ

"Tradisi para sahabat Anshar jika meninggal salah seorang di antara mereka, maka mereka akan datang ke kuburnya silih berganti dan membacakan al-Qur’an untuknya (mayit)".

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwasanya 'Aisyah -semoga Allah meridlainya- berkata: “Alangkah sakitnya kepalaku”, lalu Rasulullah berkata:

" ذاكِ لوْ كَانَ وَأنَا حَيّ فأ سْتَغْفِر لكِ وأدْعُو لَكِ "

"Jika itu terjadi (engkau sakit dan meninggal) dan aku masih hidup maka aku mohon ampun dan berdoa untukmu".

Perkataan Rasulullah " وأدعو لك " (maka saya akan berdoa untukmu) ini, mencakup doa dengan segala bentuk dan macam–macamnya, maka termasuk doa seseorang setelah membaca beberapa ayat dari al-Qur’an dengan tujuan supaya pahalanya disampaikan kepada mayit seperti dengan mengatakan :

اللّهُمَّ أوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ إلَى فُلاَن

"Ya Allah sampaikanlah pahala bacaanku ini kepada si Fulan".

Sedangkan yang sering dikatakan orang bahwa Imam Syafi'i menyatakan bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayyit, maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal - إيصال - (doa agar disampaikan pahala bacaan tersebut kepada mayit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al-Qur’an dengan diakhiri doa Ii-shal - إيصال - dan membaca al-Qur’an di atas kuburan mayit). Imam an-Nawawi mengatakan: "Asy-Syafi'i dan tokoh-tokoh madzhab Syafi'i mengatakan: Disunnahkan dibaca di kuburan mayit ayat-ayat al-Qur’an, dan jika dibacakan al-Qur’an hingga khatam itu sangat baik".
Sebagian ahli bid'ah, seperti kaum Wahhabiyah di masa sekarang, mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lain. Perkataan mereka ini bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Adapun bahwa mereka berdalil dengan firman Allah:

وأنْ لَيْسَ للإنْسَانِ إلاّ مَا سَعَى (سورة النجم : 39 )

Maka ini adalah pendapat yang tidak tepat dan harus ditolak karena maksud ayat ini bukanlah menafikan bahwa seseorang mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain seperti sedekah dan haji untuk orang yang telah meninggal, melainkan ayat ini menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Amal orang lain adalah milik orang lain yang mengerjakankannya, karena itu jika ia mau ia bisa memberikan kepada orang lain dan jika tidak ia bisa memilikinya untuk dirinya sendiri. Allah tidak mengatakan tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri.
Mereka yang menafikan secara mutlak tersebut adalah golongan Mu'tazilah. Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengingkari orang yang membaca al-Qur'an di atas kuburan, namun kemudian sahabatnya (salah seorang murid dekat) menyampaikan kepadanya atsar dari sebagian sahabat yaitu Ibn Umar lalu dia melepaskan pendapatnya tersebut.
Al-Bayhaqi dalam as-Sunan al Kubra meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Ibn Umar menganggap sunnah setelah mayit dikuburkan untuk dibacakan awal dan akhir surat al Baqarah. Salah seorang ulama Madzhab Hanbali, Asy-Syaththi al-Hanbali dalam komentarnya atas kitab Ghayah al-Muntaha, hlm. 260 mengatakan:

"Dalam kitab al-Furu' dan kitab Tashhih al-Furu' dinyatakan: Tidak makruh membaca al-Qur'an di atas kuburan dan di areal pekuburan, inilah yang ditegaskan oleh al Imam Ahmad, dan inilah pendapat madzhab Hanbali. Kemudian sebagian menyatakan hal itu mubah, sebagian mengatakan mustahabb (sunnah). Demikian juga disebutkan dalam kitab al-Iqna'".

Menghidangkan Makanan untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al-Qur’an

Menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al-Qur’an adalah boleh karena itu termasuk ikram adl-Dlayf (menghormat tamu). Dan dalam Islam ini adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan Hadits Jarir ibn 'Abdillah al Bajali bahwa ia mengatakan :

كُنَّا نَعُدّ الاجْتِمَاعَ إلَى أهْلِ الْمَيت وَصَنِيْعَة الطّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النّيَاحَةِ (رواه أحمد بسند صحيح)

"Kami di masa Rasulullah menganggap berkumpul di tempat mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayit sebagai Niyahah (meratapi mayit yang dilarang oleh Islam)" (H.R. Ahmad dengan sanad yang sahih)

Maksudnya adalah jika keluarga mayit membuat makanan tersebut untuk dihidangkan kepada para hadirin dengan tujuan al Fakhr ; berbangga diri supaya orang mengatakan bahwa mereka pemurah dan dermawan atau makanan tersebut disajikan kepada perempuan-perempuan agar menjerit-jerit, meratap sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan mayit, karena inilah yang biasa dilakukan oleh orang-orang di masa jahiliyah, mereka yang tidak beriman kepada akhirat itu. Dan inilah Niyahah yang termasuk perbuatan orang-orang di masa jahiliyyah dan dilarang oleh Rasulullah.
Jika tujuannya bukan untuk itu, melainkan untuk menghormat tamu atau bersedekah untuk mayit dan meminta tolong agar dibacakan al-Qur’an untuk mayit maka hal itu boleh dan tidak terlarang. Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Sahih-nya dari Ibn 'Abbas bahwa Sa'd ibn 'Ubadah ibunya meninggal ketika dia pergi, kemudian ia berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dan aku sedang tidak berada di tempat tersebut, apakah bermanfa'at baginya jika aku menyedekahkan sesuatu yang pahalanya untuknya?, Rasulullah menjawab: "Iya". Lalu Sa'd berkata: “(Kalau begitu) Saya bersaksi kepadamu bahwa kebunku yang sedang berbuah itu aku sedekahkan yang pahalanya untuknya”. (Lihat Shahih al-Bukhari, kitab al-Washaya)

Tahlilan pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya

Tradisi ummat Islam mengundang para tetangga ke rumah mayit kemudian memberi makan mereka ini adalah sedekah yang mereka lakukan untuk si mayit dan dalam rangka membaca al-Qur'an untuk mayit, dan jelas dua hal ini adalah hal yang boleh dilakukan. Sedekah untuk mayit jelas dibenarkan oleh hadits Nabi dalam Sahih al Bukhari. Sedangkan membaca al-Qur'an untuk mayit, menurut mayoritas para ulama salaf dan Imam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali pahalanya akan sampai kepada mayit, demikian dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur dan dikutip serta disetujui oleh al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh Ihya' 'Ulum ad-Din.

Adapun yang sering dikatakan orang sebagian ahli bid’ah, seperti kaum Wahhabiyyah, bahwa Imam asy-Syafi'i menyatakan bahwa bacaan al-Qur'an tidak akan sampai kepada mayyit maka maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal (doa agar disampaikan pahala bacaan kepada mayyit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayyit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al-Qur’an dengan diakhiri doa Ii-shal dan membaca al-Qur’an di atas kuburan mayyit)". (lihat Syarh Raudl ath-Thalib, Nihayatul Muhtaj, Qadla' al Arab fi As-ilah Halab dan kitab-kitab Fiqh Syaf'i yang lain).

Bahwa berkumpul untuk mendoakan mayit dan membaca al-Qur’an untuknya pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya maka hukumnya adalah sebagai berikut :
1. Berkumpul di hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah.
2. Berkumpul setelah hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah bagi yang belum. Bagi yang sudah berta'ziyah, berkumpul saja pada hari-hari tersebut bukanlah hal yang mutlak sunnah, tetapi kalau tujuan berkumpul tersebut adalah untuk membaca al-Qur’an dan ini semua mengajak kepada kebaikan. Allah berfirman :

وافْعَلُوا الْخَيْـرَ لَعَلّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (سورة الحج : 77)

"Lakukanlah hal yang baik agar kalian beruntung" (Q.S. al Hajj : 77).

Peringatan:

Anda periksa keluarga anda, terlebih anak-anak anda, jangan sampai memiliki keyakinan seperti pemahaman Wahhabi. Bila anda memiliki anak keturunan yang berkeyakinan seperti faham wahabi bahwa pahala bacaan al-Qur'an tidak bermanfaat bagi mayit, maka anda akan merugi dunia akhirat. Di dunia anda lelah mendidik mereka, tapi begitu anda meninggal mereka sedikitpun tidak mendoakan anda, tidak memberikan manfaat bagi anda, tidak membacakan walau hanya satu kali bacaan surat al-Fatihah. Anda hanya akan dijadikan layaknya "bangkai", dikuburkan, diinjak-injak, dan lalu ditinggalkan begitu saja. A'udzu Billah.