Senin, 16 Agustus 2010

Puasanya Wanita Hamil dan Menyusui


Bolehkah seorang wanita hamil atau menyusui tidak menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan? Bila harus diganti dengan fidyah, berapa yang harus dibayarkan?

Jawab:

Islam adalah agama yang penuh toleransi, dan tidak memaksakan se¬suatu di luar kemampuan seseorang un¬tuk melakukannya, sebagaimana Allah SVVT berfirman:

"Dan tidaklah Allah SWT menjadikan suatu kesulitan atas kalian dalam hal agama." (OS Al-Hajj: 78).

Biasanya seorang wanita hamil atau yang sedang menyusui memang akan selalu merasa lapar, karena apa yang dimakan akan menjadi asupan makanan juga bagi bayinya. Kondisi itu membuat tubuh menjadi lemah dan tidak kuat kala menjalankan ibadah puasa. Maka di antara kelonggaran agama adalah diperbolehkannya seorang wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa di bulan Ramadhan, dengan catatan bahwa ia harus mengqadhanya di luar bulan Ramadhan.

Namun demikian, bukan berarti se¬tiap wanita hamil atau menyusui menjadi wajib hukumnya untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan. Jika mereka tetap mampu untuk melaksanakan puasa walaupun dalam keadaan hamil atau menyusui, itu lebih baik, agar ia juga terlepas dari kewajiban mengqadha di bulan lainnya. Selain itu, melaksanakan puasa tentunya akan menjadikan dirinya sehat jasmani dan ruhani, selama puasanya itu tidak berada dalam kondisi yang membahayakan dirinya maupun bayinya. Adapun jika sudah sampai pada kondisi sedemikian rupa sehingga puasa yang ia lakukan akan membahayakan dirinya, ataupun bayi maupun janinnya, wajib atasnya untuk tidak berpuasa.

Hukum mengqadha puasa Rama¬dhan adalah sama dengan hukum asalnya, hukum puasa Ramadhan, yaitu wajib. Jadi, bukan cuma wajib mem¬bayar fidyah tanpa harus-berpuasa lagi sebagai ganti puasa di bulan Ramadhan. Qadha puasa tetap saja wajib.

Adapun dari segi wajib atau tidaknya membayar fidyah, terdapat dua kondisi:

1. Jika ia tidak berpuasa karena kha¬watir bila ia berpuasa akan mem¬bahayakan dirinya saja atau dirinya sekaligus bayi maupun janinnya, ia hanya wajib mengqadha puasa sejumlah hari di bulan Ramadhan yang ia tidak berpuasa, tanpa harus membayar fidyah.

2. Jika ia tidak berpuasa karena kha¬watir akan kesehatan bayi maupun janinnya saja tanpa khawatir akan terjadi suatu hal yang akan mem¬bahayakan dirinya, misalnya kalau ia berpuasa akan berakibat air susunya jadi tidak akan keluar atau tidak ada asupan makanan yang tersalurkan kepada janinnya, selain wajib meng¬qadha puasanya itu, ia juga wajib membayar fidyah setiap harinya satu mud (6.25 ons) beras.

Wallahu a'lam

(artikel ini kami kutip dari penjelasan Habib Segaf bin Hasan Baharun dalam rubrik Tanya jawab Fiqhun Nisa’ majalah AlKisah No. 17/Tahun VII/2009)

Fatwa Ulama Tentang diperbolehkannya IMSAK


Ada segelintir fatwa yang ganjil dari golongan pembid’ah yang mengatakan bahwa imsak adalah bid’ah (sesat).. Seperti fatwa yang dikeluarkan oleh Syeikh pujaan mereka, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang salah satunya mengatakan sebagaimana berikut:

“Hal ini (imsak) TERMASUK BID’AH, tiada dalilnya dari sunnah, bahkan sunnah bertentangan dengannya, karena Allah berfirman di dalam kitabnya yang mulia.”

Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk PERBUATAN YANG DIADA-ADAKAN dalam agama Allah padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Artinya : Celakalah orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan ! “

Begitulah alasan mereka golongan pembid’ah. Sepertinya yang membid’akan imsak itu hanya kelompok yang pekerjaannya mencari bid’ah, bukan pencari sunnah.

LALU BAGAIMANA SEBENARNYA HUKUMNYA BER-IMSAK TERSEBUT?

Berikut kami tampilkan fatwa Habib Umar bin Hafidz, seorang ulama ahlus sunnah waljamaah.

Pertanyaan:
Banyak orang yg makan sampai waktu adzan tiba, yaitu ia tidak berimsak kecuali tatkala mendengar adzan. Apakah hal ini diperbolehkan atau dia wajib berimsak sebelumnya?

Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa ber-imsak itu lebih afdhal. Selama belum terbitnya fajar diperbolehkan baginya untuk makan apa yang dikehendakinya. Akan tetapi berhati-hati dengan imsak sebelum azan dengan (untuk menjaga) satu jangka masa adalah baik. Apabila seseorang sampai fajar telah terbit lalu dia makan dan minum, kemudian ternyata perbuatannya itu (yakni makan/minumnya tadi) berlaku setelah terbit fajar, maka berdosalah dia dan wajib atasnya untuk berpuasa sehari sebagai ganti puasanya hari tersebut (yakni apabila nyata bahawa dia telah makan dan minum setelah fajar terbit, maka dia berdosa dan wajib qadha).

Oleh itu, maka berhati-hati itu lebih utama dan yang sedemikian itu telah diambil oleh para ulama daripada apa yang datang dalam hadits yang mulia:

“Berapa masa antara sahur s.a.w. dan sholat ? Dijawabnya : Sekadar 50 ayat. 50 ayat dikadarkan dengan seperempat jam atau sepertiga, atas sekurang-kurangnya. Oleh karena itu, imsak sebelum fajar dengan seperempat jam atau sepertiga jam adalah awla dan ahwath (terlebih utama dan terlebih berhati-hati).

Oleh karena bab Ihtiyath (berhati-hati) dengan imsak itu luas dan dipersempitkanlah dia oleh seseorang itu atas dirinya menurut kehendaknya seperti dipuasakannya sehari yang sempurna itu dengan didatangkannya sebelum hari tersebut (yakni sebelum tiba fajar hari tersebut) dengan 10 minit atau 15 minit (sebagai ihtiyath bagi dirinya untuk mendapatkan kesempurnaan puasa satu hari tersebut). Karna menjatuhkan dirinya dalam keraguan pada yang sedemikian adalah satu keburukan dalam muamalah dengan Allah al-Jabbar s.w.t. Bahkan sewajarnya dia berihtiyath sebelum fajar, maka berimsaklah dia sebelum fajar. Dan pada Maghrib, sedemikian juga dia berihtiyath (berhati-hati) untuk tidak berbuka sehingga diyakini terbenamnya matahari. Wa billahit tawfiq.

Allahu a’lam

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG IMSAK

Sebenarnya ketetapan waktu imsak sebagai ihtiyath itu punya dasarnya. Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf menyebut dalam “at-Taqriiraat as-Sadiidah fil Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan talkhish daripada ajaran guru-guru beliau terutama sekali al-’Allaamah al-Faqih al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Zain BinSmith, pada halaman 444 menyatakan :

…”Dan imsak daripada makan (yakni bersahur) itu mandub (disunnatkan) sebelum fajar kira-kira sekadar pembacaan 50 ayat ( sekadar seperempat jam @ 15 minit)”.

diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari berbunyi:-
Daripada Sayyidina Anas meriwayatkan bahawa Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a. berkata: “Kami telah makan sahur bersama-sama Junjungan Nabi s.a.w., kemudian baginda bangun mengerjakan sembahyang. Sayyidina Anas bertanya kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan masa makan sahur itu ?” Dia menjawab: “Kira-kira sekadar membaca 50 ayat.”

Hadis ini menunjukkan bahawa jarak atau senggang masa antara bersahurnya Junjungan s.a.w. dan azan Subuh ialah kira-kira 50 ayat. Sekali-kali ianya tidak membawa makna yang Junjungan s.a.w. makan sahur sehingga berkumandang azan Subuh, yang jelas ialah ia menyatakan bahawa Junjungan bersahur dan berhenti kira-kira kadar pembacaan 50 ayat sebelum masuk waktu Subuh. Inilah yang difahami oleh para ulama kita sehingga menetapkan kesunnahan berimsak dalam kadar pembacaan 50 ayat tersebut yang dianggarkan pada kadar 10 – 15 minit.

Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani rhm. dalam “Fathul Baari” tatkala mensyarah maksud hadits di atas antara lain menyatakan:-
“Dan telah berkata Imam al-Qurthubi: “Padanya (yakni dalam kandungan hadits di atas) bukti atas bahawasanya selesai daripada sahur adalah sebelum terbitnya fajar….”

Jadi jelas dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi bahawa selesainya sahur Junjungan Nabi s.a.w. menurut hadits di atas ialah sebelum terbitnya fajar (qabla thulu`il fajri), yang memberi maksud bahawa tidaklah Junjungan s.a.w. terus-menerus bersahur sehingga terbit fajar.
Selanjutnya Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani juga menyatakan bahawa:-
“Maka disamakan Zaid bin Tsabit akan yang demikian itu dengan ukuran pembacaan al-Quran sebagai isyarat bahawa waktu tersebut (yakni waktu senggang antara selesai sahur dan azan) adalah waktu untuk ibadah membaca al-Quran.”

Jadi bukanlah waktu itu untuk mengunyah makanan lagi, inilah yang dimaksudkan.

Al-’Allaamah Badruddin al-’Ayni rhm. pula dalam “‘Umdatul Qari” menyatakan:-
“Hadits Zaid bin Tsabit menunjukkan atas bahawasanya selesai daripada sahur adalah sebelum fajar dengan kadar pembacaan 50 ayat.”

Beliau juga menulis:-
“Bahawasanya padanya (yakni pada hadits Zaid tersebut) mentakhirkan sahur sehingga tinggal waktu antara azan dan makan sahur itu kadar pembacaan 50 ayat… maka dari situ ianya menunjukkan bahawasanya mereka (Junjungan Nabi s.a.w. dan sahabat ) menyegerakan dengan bersahur sehingga tinggal (masa) antara mereka dan fajar kadar yang tersebut.”

Yakni Junjungan dan sahabat berhenti bersahur dalam keadaan masa antara mereka dengan fajar itu kadar pembacaan 50 ayat dan tidaklah bermaksud yang mereka mentakhirkan sahur sehingga terbitnya fajar shodiq.

Imam an-Nawawi rhm. dalam “Syarah Muslim” tatkala mensyarahkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim daripada Abu Bakar bin Abu Syaibah yang kandungannya hampir sama dengan hadits Imam al-Bukhari di atas dengan perbezaannya bahawa dalam lafaz al-Bukhari dinyatakan “berapa kadar masa antara azan dan sahur” dan dalam hadits Muslim pula digunakan “berapa kadar masa antara keduanya”, menyatakan:-
“… padanya (yakni dalam hadits tersebut) terkandung anjuran untuk mentakhirkan sahur sehingga sedikit sebelum fajar”, ( yakni kita mengakhirkan makan sahur ke waktu yang hampir dengan fajar di mana selesainya kita bersahur masih berbaki sedikit waktu sebelum fajar shodiq terbit).

Tidaklah Imam an-Nawawi menyatakan bahawa mentakhirkan makan sahur itu sehingga terbit fajar, tetapi mentakhirkan sahur sehingga sedikit sebelum fajar. Perhatikanlah, dan bertitik tolak dari pemahaman di ataslah maka ulama kita menetapkan adanya waktu imsak yang sunnat untuk menyelesaikan makan sahur (yakni bagi yang telah bersahur).
Untuk lebih jelas kedudukannya dalam mazhab kita, lihatlah keterangan Al-’Allaamah Sayyid ‘Abdullah al-Jurdani dalam “Fathul ‘Allam bi syarhi Mursyidil Anaam” juzuk 4 halaman 59 yang menyebut:-

“Telah berkata Imam ar-Ramli rhm. seperti (kata) Imam Ibnu Hajar rhm. selepas menyebut kedua mereka akan hadits Zaid bin Tsabit tersebut: “
Dan padanya (yakni terkandung dalam hadits tersebut) penetapan bagi kadar yang menghasilkan dengannya kesunnahan mentakhir sahur. Iaitu yang afdhalnya bahawa ditakhirkannya sahur tersebut sehinggalah sekira-kira selesai daripadanya (yakni selesai daripada bersahur) dan masih berbaki malam (yakni masih belum terbit fajar shodiq) sekadar (pembacaan) 50 ayat.

Dan pendapat agar berhenti bersahur sebelum terbit fajar ini juga dapat dilihat dalam aqwal mazhab yang lain. Contohnya, Syaikh Abu as-Su`uud ad-Dusuuqi al-Maliki dalam “Haasyiah ad-Dusuuqi” juzuk 1 halaman 503 menyatakan:-
“Dan mentakhirkan sahur iaitu ke pertiga akhir malam, dan masuknya waktu untuk bersahur dengan pertengahan malam yang akhir dan jika diakhirkan ianya adalah afdhal. Maka telah warid bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. telah mengakhirkan sahur sehingga kira-kira selesainya baginda daripada bersahur dan terbitnya fajar (masa) kadar apa yang dibaca si pembaca 50 ayat.”

Sebagai keterangan tambahan, ada juga pendapat segelintir ulama (kata qil) yang berpegang bahawa kewajipan imsak berlaku sebelum terbitnya fajar shodiq, sebagaimana disebut oleh Ibnu Rusyd dalam “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” juzuk 2, mukasurat 37 di mana beliau, berhubung kata qil ini, menyatakan:-
“…Dan mereka yang berpendapat bahawasanya imsak itu wajib sebelum fajar shodiq, maka pendapat mereka ini adalah berdasarkan kepada ihtiyath dan saddudz dzarii`ah dan ianya adalah pendapat yang lebih wara` (berhati-hati) antara dua pendapat tersebut…”

Walau bagaimanapun, pendapat ini adalah kata qil yang tidak dipegangi dalam mazhab kita dan mazhab jumhur. Mazhab kita dan mazhab jumhur tidaklah mewajibkan imsak sebelum terbit fajar ini, hanya kita memandang sunnat dan afdhal untuk berhenti sahur kira-kira 10 – 15 minit sebelum terbit fajar. Oleh itu isu ini bukanlah perkara asasiyyah yang wajar untuk diperbesarkan.

Wallahu a’lam
(dari berbagai sumber : orgawam.wordpress.com, bahrusshofa, dan sidogiri.net)

Selasa, 06 Juli 2010

Terjemahan ringkas dari Kitab Al Anwaarul Bahiyyah Min Israa' Wa Mi'raaj Khoiril Bariyyah Karya Al Imam As Sayyid Muhammad bin Alawy Al Hasany RA.


Diterjemahkan dengan ringkas dari Kitab Al Anwaarul Bahiyyah Min Israa' Wa Mi'raaj Khoiril Bariyyah Karya Al Imam As Sayyid Muhammad bin Alawy Al Hasany RA.

Pada suatu malam Nabi Muhammad SAW berada di Hijir Ismail dekat Ka'bah al Musyarrofah, saat itu beliau berbaring diantara paman beliau, Sayyiduna Hamzah dan sepupu beliau, Sayyiduna Jakfar bin Abi Thalib, tiba-tiba Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil menghampiri beliau lalu membawa beliau ke arah sumur zamzam, setibanya di sana kemudian mereka merebahkan tubuh Rasulullah untuk dibelah dada beliau oleh Jibril AS.

Dalam riwayat lain disebutkan suatu malam terbuka atap rumah Beliau saw, kemudian turun Jibril AS, lalu Jibril membelah dada beliau yang mulya sampai di bawah perut beliau, lalu Jibril berkata kepada Mikail:

"Datangkan kepadaku nampan dengan air zam-zam agar aku bersihkan hatinya dan aku lapangkan dadanya".

Dan perlu diketahui bahwa penyucian ini bukan berarti hati Nabi kotor, tidak, justru Nabi sudah diciptakan oleh Allah dengan hati yang paling suci dan mulya, hal ini tidak lain untuk menambah kebersihan diatas kebersihan, kesucian diatas kesucian, dan untuk lebih memantapkan dan menguatkan hati beliau, karena akan melakukan suatu perjalanan maha dahsyat dan penuh hikmah serta sebagai kesiapan untuk berjumpa dengan Allah SWT.

Kemudian Jibril AS mengeluarkan hati beliau yang mulya lalu menyucinya tiga kali, kemudian didatangkan satu nampan emas dipenuhi hikmah dan keimanan, kemudian dituangkan ke dalam hati beliau, maka penuhlah hati itu dengan kesabaran, keyakinan, ilmu dan kepasrahan penuh kepada Allah, lalu ditutup kembali oleh Jibril AS.

Setelah itu disiapkan untuk Baginda Rasulullah binatang Buroq lengkap dengan pelana dan kendalinya, binatang ini berwarna putih, lebih besar dari himar lebih rendah dari baghal, dia letakkan telapak kakinya sejauh pandangan matanya, panjang kedua telinganya, jika turun dia mengangkat kedua kaki depannya, diciptakan dengan dua sayap pada sisi pahanya untuk membantu kecepatannya.

Saat hendak menaikinya, Nabi Muhammad merasa kesulitan, maka meletakkan tangannya pada wajah buroq sembari berkata: "Wahai buroq, tidakkah kamu merasa malu, demi Allah tidak ada Makhluk Allah yang menaikimu yang lebih mulya daripada dia (Rasulullah)", mendengar ini buroq merasa malu sehingga sekujur tubuhnya berkeringat, setelah tenang, naiklah Rasulullah keatas punggungnya, dan sebelum beliau banyak Anbiya' yang menaiki buroq ini.

Dalam perjalanan, Jibril menemani disebelah kanan beliau, sedangkan Mikail di sebelah kiri, menurut riwayat Ibnu Sa'ad, Jibril memegang sanggurdi pelana buroq, sedang Mikail memegang tali kendali.

(Mereka terus melaju, mengarungi alam Allah SWT yang penuh keajaiban dan hikmah dengan Inayah dan RahmatNya), di tengah perjalanan mereka berhenti di suatu tempat yang dipenuhi pohon kurma, lantas malaikat Jibril berkata: "Turunlah disini dan sholatlah", setelah Beliau sholat, Jibril berkata: "Tahukah anda di mana Anda sholat?", "Tidak", jawab beliau, Jibril berkata: "Anda telah sholat di Thoybah (Nama lain dari Madinah) dan kesana anda akan berhijrah".

Kemudian buroq berangkat kembali melanjutkan perjalanan, secepat kilat dia melangkahkan kakinya sejauh pandangan matanya, tiba-tiba Jibril berseru: "berhentilah dan turunlah anda serta sholatlah di tempat ini!", setelah sholat dan kembali ke atas buroq, Jibril memberitahukan bahwa beliau sholat di Madyan, di sisi pohon dimana dahulu Musa bernaung dibawahnya dan beristirahat saat dikejar-kejar tentara Firaun.

Dalam perjalanan selanjutnya Nabi Muhammad turun di Thur Sina', sebuah lembah di Syam, tempat dimana Nabi Musa berbicara dengan Allah SWT, beliau pun sholat di tempat itu. Kemudian beliau sampai di suatu daerah yang tampak kepada beliau istana-istana Syam, beliau turun dan sholat disana. Kemudian Jibril memberitahukan kepada beliau dengan berkata: "Anda telah sholat di Bait Lahm (Betlehem, Baitul Maqdis), tempat dilahirkan Nabi Isa bin Maryam".

Setelah melanjutkan perjalanan, tiba-tiba beliau melihat Ifrit dari bangsa Jin yang mengejar beliau dengan semburan api, setiap Nabi menoleh beliau melihat Ifrit itu. Kemudian Jibril berkata: "Tidakkah aku ajarkan kepada anda beberapa kalimat, jika anda baca maka akan memadamkan apinya dan terbalik kepada wajahnya lalu dia binasa?"

Kemudian Jibril AS memberitahukan doa tersebut kepada Rasulullah. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan sampai akhirnya bertemu dengan suatu kaum yang menanam benih pada hari itu dan langsung tumbuh besar dan dipanen hari itu juga, setiap kali dipanen kembali seperti awalnya dan begitu seterusnya, melihat keanehan ini Beliau SAW bertanya: "Wahai Jibril, siapakah mereka itu?", Jibril menjawab:" mereka adalah para Mujahid fi sabilillah, orang yang mati syahid di jalan Allah, kebaikan mereka dilipatgandakan sampai 700 kali.

Kemudian beberapa saat kemudian beliau mencium bau wangi semerbak, beliau bertanya: "Wahai Jibril bau wangi apakah ini?", "Ini adalah wanginya Masyithoh, wanita yang menyisir anak Firaun, dan anak-anaknya", jawab Jibril AS.

Masyitoh adalah tukang sisir anak perempuan Firaun, ketika dia melakukan pekerjaannya tiba-tiba sisirnya terjatuh, spontan dia mengatakan: "Bismillah, celakalah Firaun", mendengar ini anak Firaun bertanya: "Apakah kamu memiliki Tuhan selain ayahku?", Masyithoh menjawab: "Ya". Kemudian dia mengancam akan memberitahukan hal ini kepada Firaun. Setelah dihadapkan kepada Raja yang Lalim itu, dia berkata: "Apakah kamu memiliki Tuhan selain aku?", Masyithoh menjawab: "Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah".

Mengetahui keteguhan iman Masyithoh, kemudian Firaun mengutus seseorang untuk menarik kembali dia dan suaminya yang tetap beriman kepada Allah agar murtad, jika tidak maka mereka berdua dan kedua anaknya akan disiksa, tapi keimanan masih menetap di hati Masyithoh dan suaminya, justru dia berkata: "Jika kamu hendak membinasakan kami, silahkan, dan kami harap jika kami terbunuh kuburkan kami dalam satu tempat".

Maka Firaun memerintahkan agar disediakan kuali raksasa dari tembaga yang diisi minyak dan air kemudian dipanasi, setelah betul-betul mendidih, dia memerintahkan agar mereka semua dilemparkan ke dalamnya, satu persatu mereka syahid, sekarang tinggal Masyithoh dan anaknya yang masih menyusu berada dalam dekapannya, kemudian anak itu berkata: "Wahai ibuku, lompatlah, jangan takut, sungguh engkau berada pada jalan yang benar", kemudian dilemparlah dia dan anaknya.

Kemudian di tengah perjalanan, beliau juga bertemu dengan sekelompok kaum yang menghantamkan batu besar ke kepala mereka sendiri sampai hancur, setiap kali hancur, kepala yang remuk itu kembali lagi seperti semula dan begitu seterusnya. Jibril menjelaskan bahwa mereka adalah manusia yang merasa berat untuk melaksanakan kewajiban sholat.

Kemudian beliau juga bertemu sekelompok kaum, di hadapan mereka ada daging yang baik yang sudah masak, sementara di sisi lain ada daging yang mentah lagi busuk, tapi ternyata mereka lebih memilih untk menyantap daging yang mentah lagi busuk, ketika Rasulullah menanyakan perihal ini, Jibril menjawab: "Mereka adalah manusia yang sudah mempunyai isteri yang halal untuknya, tapi dia justru berzina (berselingkuh) dengan wanita yang jelek (hina), dan begitupula mereka adalah para wanita yang mempunyai suami yang halal baginya tapi justru dia mengajak laki-laki lain untuk berzina dengannya".

Ketika beliau melanjutkan perjalanan, tiba-tiba seseorang memanggil beliau dari arah kanan: "Wahai Muhammad, aku meminta kepadamu agar kamu melihat aku", tapi Rasulullah tidak memperdulikannya. Kemudian Jibril menjelaskan bahwa itu adalah panggilan Yahudi, seandainya beliau menjawab panggilan itu maka umat beliau akan menjadi Yahudi. Begitu pula beliau mendapat seruan serupa dari sebelah kirinya, yang tidak lain adalah panggilan nashrani, namun Nabi tidak menjawabnya. Walhamdulillah.

Kemudian tiba-tiba muncul di hadapan beliau seorang wanita dengan segala perhiasan di tangannya dan seluruh tubuhnya, dia berkata: "Wahai Muhammad lihatlah kepadaku", tapi Rasulullah tidak menoleh kepadanya, Jibril berkata: "Wahai Nabi itu adalah dunia, seandainya anda menjawab panggilannya maka umatmu akan lebih memilih dunia daripada akhirat".

Demikianlah perjalanan ditempuh oleh beliau SAW dengan ditemani Jibril dan Mikail, begitu banyak keajaiban dan hikmah yang beliau temui dalam perjalanan itu sampai akhirnya beliau berhenti di Baitul Maqdis (Masjid al Aqsho). Beliau turun dari Buraq lalu mengikatnya pada salah satu sisi pintu masjid, yakni tempat dimana biasanya Para Nabi mengikat buraq di sana.

Kemudian beliau masuk ke dalam masjid bersama Jibril AS, masing-masing sholat dua rakaat. Setelah itu sekejab mata tiba-tiba masjid sudah penuh dengan sekelompok manusia, ternyata mereka adalah para Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian dikumandangkan adzan dan iqamah, lantas mereka berdiri bershof-shof menunggu siapakah yang akan mengimami mereka, kemudian Jibril AS memegang tangan Rasulullah SAW lalu menyuruh beliau untuk maju, kemudian mereka semua sholat dua rakaat dengan Rasulullah sebagai imam. Beliaulah Imam (Pemimpin) para Anbiya' dan Mursalin.

Setelah itu Rasulullah SAW merasa haus, lalu Jibril membawa dua wadah berisi khamar dan susu, Rasulullah memilih wadah berisi susu lantas meminumnya, Jibril berkata: "Sungguh anda telah memilih kefitrahan yaitu al Islam, jika anda memilih khamar niscaya umat anda akan menyimpang dan sedikit yang mengikuti syariat anda".

Kemudian setelah beliau menyempurnakan segalanya, maka tiba saatnya beliau melakukan mi'raj yakni naik bersama Jibril menembus langit satu persatu sampai akhirnya berjumpa dengan Khaliq-nya. Bagaimana dan apa saja yang beliau temui pada Mi'raj ini sampai akhirnya beliau kembali ke Makkah, Insya Allah akan kita paparkan pada edisi berikutnya.

Wallahu a'lam.

UNDANGAN UMUM

Kepada Yth,
KAUM MUSLIMIN DAN MUSLIMAT
di - Tempat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan ini kami mengundang Bapak/Ibu/Sdr/Sdri Kaum Muslimin untuk hadir dalam rangka ZIKIR AKBAR Peringatan ISRA’ dan MI’RAJ NABI BESAR MUHAMMAD SAW Tahun 1431 H dan Deklarasi Lembaga ANSHORULLAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH PROVINSI SUMATERA UTARA MASA BAKTI 2010 – 2015, yang Insya Allah dilaksanakan pada :

Hari/Tanggal                          : Sabtu, 10 Juli 2010
Pukul                                     : 08.00 – 11.15 Wib.
Muballigh                               : Ustadz H. Mhd. Nasir, Lc., MA.
Tempat                                  : Mesjid Agung
                                                Jl. Pangeran Diponegoro Medan.

Demikian undangan ini kami sampaikan, atas kehadirannya di ucapkan terima kasih

PENGURUS LEMBAGA
ANSHORULLAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
PENGURUS PROVINSI SUMATERA UTARA

              Ketua Umum                                              Sekretaris Umum
M. ALAMSYAH NASUTION                         ABD. LATIF IBRAHIM, S.Pd













Senin, 07 Juni 2010

Apa bukti keimanan mu??

Al-Hakim meriwayatkan Alqamah bin Haris r.a berkata, aku datang kepada Rasulullah s.a.w dengan tujuh orang dari kaumku. Kemudian setelah kami beri salam dan beliau tertarik sehingga beliau bertanya, "Siapakah kalian ini ?"

Jawab kami, "Kami adalah orang beriman."

Kemudian baginda bertanya, "Setiap perkataan ada buktinya, apakah bukti keimananmu ?"

Jawab kami, "Buktinya ada lima belas perkara. Lima perkara yang engkau perintahkan kepada kami, lima perkara yang diperintahkan oleh utusanmu kepada kami dan lima perkara yang kami biasakan sejak zaman jahiliyyah ?"

Tanya Nabi s.a.w, "Apakah lima perkara yang aku perintahkan kepada kalian itu ?"

Jawab mereka, "Kamu telah perintahkan kami untuk beriman kepada Allah, percaya kepada Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, percaya kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk."

Selanjutnya tanya Nabi s.a.w, "Apakah lima perkara yang diperintahkan oleh para utusanku itu ?"

Jawab mereka, "Kami diperintahkan oleh para utusanmu untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah, hendaknya kami mendirikan solat wajib, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat dan berhaji bila mampu."

Tanya Nabi s.a.w selanjutnya, "Apakah lima perkara yang kamu masih biasakan sejak zaman jahiliyyah ?"

Jawab mereka, "Bersyukur di waktu senang, bersabar di waktu kesusahan, berani di waktu perang, ridha pada waktu kena ujian dan tidak merasa gembira dengan sesuatu musibah yang menimpa pada musuh."

Mendengar ucapan mereka yang amat menarik ini, maka Nabi s.a.w berkata, "Sungguh kalian ini termasuk di dalam kaum yang amat pandai sekali dalam agama maupun dalam tatacara berbicara, hampir saja kamu serupa dengan para Nabi dengan segala macam yang kamu katakan tadi."

Kemudian Nabi s.a.w melanjutkan, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada lima perkara amalan yang akan menyempurnakan dari yang kalian punyai ?
Janganlah kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak akan kalian makan. Janganlah kalian mendirikan rumah yang tidak akan kalian tempati, janganlah kalian berlomba-lomba dalam sesuatu yang bakal kalian tinggalkan (Dunia ) berusahalah untuk mencari bekal ke dalam akhirat."

Tafsir “al-Ma'iyyah” Pada Hak Allah (Bukan Dalam Makna Menempel; Hati-hati!!!!)

Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ (الحديد: 4)

Kata “Ma’akum” dalam ayat ini bukan berarti bahwa Allah menempel, mengiringi, menyatu, atau menetap dengan setiap orang dari kita. Tetapi al-Ma’iyyah di sini adalah dalam pengertian bahwa Allah dengan sifat ilmu-Nya mengetahui di manapun setiap orang dari kita berada. Artinya, yang dimaksud ayat ini adalah “Ma’iyyah al-‘Ilm”, bukan “Ma’iyyah adz-Dzat Bi adz Dzat”.

Terkadang al-Ma’iyyah dapat pula dalam pengertian pertolongan dan perlindungan Allah. Seperti firman-Nya dalam QS. an-Nahl: 128:

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا (سورة النحل :128)

Al-ma'iyyah dalam ayat ini bukan bahwa Allah menempati makhluk-Nya, menyatu, atau menempel dengannya. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa Allah memberikan pertolongan dan perlindungan bagi orang-orang sabar.

Seorang yang berkeyakinan bahwa Allah menempel, menyatu, atau berpisah dengan jarak, atau bertempat, maka ia telah menjadi kafir. Karena itu, Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya menempel, atau menyatu dengan alam ini, juga tidak boleh dikatakan terpisah dengan jarak, atau berada di luar alam ini. Allah tidak disifati dengan bentuk, baik ukuran besar atau kecil, panjang atau pendek, di luar atau di dalam, menempel atau terpisah, karena semua itu adalah sifat-sifat benda. Dengan demikian, setiap prasangka atau bayangan yang menyandarkan bentuk dan ukuran kepada Allah, atau menyandarkan sifat-sifat benda kepada-Nya, maka itu semua wajib diusir dan dihilangkan dari benak dan pikiran.

Dahulu, orang-orang Yahudi menyandangkan sifat lelah kepada Allah. Mereka berkata: “Setelah Allah menciptakan langit dan bumi Dia beristirahat dan terlentang karena lelah”. Perkataan semacam ini jelas sebuah kekufuran, karena Allah maha suci dari sifat-sifat benda. Dia maha suci dari sifat-sifat tubuh (al-Infi’alat), seperti lelah, sakit, merasa lezat, dan lainnya. Karena yang mengalami keadaan-keadaan semacam ini pasti sebagai makhluk yang selalu mengalami perubahan. Allah berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ (سورة ق : 38)

“Kami (Allah) telah menciptakan semua langit-langit dan bumi dan segala apa yang berada di antara keduanya dalam enam hari dan tidaklah sekali-kali mendapati Kami oleh kelelahan” (QS. Qaf: 38)

Yang akan merasakan lelah adalah yang melakukan suatu perbuatan dengan perantara anggota-anggota badan. Sedangkan Allah maha suci dari setiap anggota badan. Allah berfirman:

إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (غافر : 20)

“Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”. (QS. Ghafir: 20)

Allah mendengar dan melihat bukan seperti melihat dan mendengar yang ada pada makhluk. Sifat mendengar (as-Sam’u) dan sifat melihat (al-Bashar) pada Allah ada dua sifat-Nya azali yang bukan merupakan sifat-sifat anggota badan. Artinya, bukan dengan telinga, bukan dengan kelopak mata, bukan dengan istilah jarak dekat atau jauh, tidak berhubungan dengan adanya arah, dan tanpa dengan munculnya cahaya dari mata, atau berhembusnya udara.

Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki telinga maka ia telah kafir, meskipun ia mengatakan bahwa telinga Allah tidak seperti telinga kita. Hal ini berbeda dengan orang yang mengatakan: “Lillahi ‘Ain La Ka A’yunina” atau “Lillahi Yad La Ka Aidina”, (Artinya; “Allah memiliki ‘Ain, tetapi tidak seperti mata kita”, atau “Allah memiliki Yad, tetapi tidak seperti tangan kita). Melainkan bahwa “al-‘Ain” dan “al-Yad” ini adalah sebagai sifat-Nya. Kata “al-‘Ain” dan kata “al-Yad” terdapat penyebutannya di dalam al-Qur’an, dengan demikian keduanya boleh kita nisbatkan kepada Allah tanpa kita memahaminya sebagai anggota-anggota badan. Sedangkan kata “al-Udzun” (telinga) tidak ada penyebutannya dalam nash-nash syari’at dinisbatkan kepada Allah (Lebih lengkap tafsir “al-Ma’iyyah” lihat asy-Syarh al-Qawim Fi Hall Alfazh ash-Shirath al-Mustaqim karya al-Hafizh al-Abdari, h. 192, dan kitab tafsir lainnya.).

Allah tidak dikatakan bagi-Nya "di luar", "di dalam", "menempel", dan atau "terpisah" (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)

Kaum Musyabbihah (wahabi sekarang) memiliki kerancuan yang sangat menyesatkan, menyebutkan jika Allah ada tanpa tanpa tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah. Kemudian dari kesesatan mereka ini, mereka menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata: ”Pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat yang sama saja dengan menafikan wujud Allah”.

Cukup untuk membantah kesesatan mereka ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan benda; Dia bukan benda berbentuk kecil juga bukan benda berbentuk besar. Dan oleh karena Dia bukan benda maka keberadaan-Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan bagi-Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para ulama terkemuka dikalangan Ahlussunnah dari empat madzhab. Dan inilah pula keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, di mana mereka telah menetapkan keyakinan tentang kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat makhluk seperti; baru, gerak, diam, berkumpul, berpisah, bertempat, menempel dengan alam, terpisah dari alam, dan lainnya, ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah.

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dengan sangat tegas mengatakan bahwa Allah tidak boleh disifat dengan menempel atau terpisah dari sesuatu. Simak tulisan beliau berikut ini:

“Bila ada yang berkata bahwa menafikan arah dari Allah sama saja dengan menafikan keberadaan-Nya, kita jawab kesesatan ini: ”Jika kalian berpendapat bahwa segala yang ada itu harus menerima sifat menempel dan terpisah maka pendapat kalian ini benar, namun demikian bahwa Allah mustahil dari sifat menempel dan terpisah juga benar dan dapat diterima. Jika mereka berkata: ”Kalian memaksa kami untuk menetapkan sesuatu yang tidak dapat dipahami!”, kita jawab: ”Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang dapat dipahami itu adalah adalah sesuatu yang dapat dikhayalakan dan digambarkan oleh akal, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan seperti itu karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, segala apapun yang dikhayalkan dan digambarkan oleh akal pastilah merupakan benda yang memiliki warna dan memiliki ukuran, karena khayalan dan gambaran akal itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran akal ini tidak dapat membayangkan apapun kecuali segala apa yang pernah diindra oleh mata karena gambaran adalah buah dari penglihatan dan indra”. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman tersebut tidak dapat diterima oleh akal, maka kita jawab: ”Telah kita jelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah dapat diterima oleh akal. Dan sesungguhnya akal sehat itu tidak memiliki alasan untuk menolak terhadap sesuatu yang logis. Ketahuilah, ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka dengan demikian secara logis nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya. Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan atau berpindah-pindah” (Lihat al-Bâz al-Asyhab, h. 59).

Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami berkata sebagai berikut:

“Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat menempel dan terpisah adalah bahwa sesuatu tersebut pastilah merupakan benda dan pasti membutuhkan kepada tempat. Dan dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda. Pendekatannya, seperti benda keras (al-jamâd; semacam batu) tidak kita katakan bahwa benda itu pintar juga tidak kita katakan bahwa dia itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup. Dan jika sifat hidup itu tidak ada (seperti batu tersebut) maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan darinya” (lihat al-I’lâm Bi Qawâthi’ al-Islâm pada tulisan pinggir (hâmisy) kitab al-Zawâjir, j. 2, h. 43-44).

Al-Imâm al-Hâfizh an-Nawawi dalam kitab Raudlah al-Thâlibin dalam kutipannya dari pernyataan al-Imâm al-Mutawalli berkata: “... atau apa bila seseorang menetapkan sesuatu bagi Allah yang secara Ijma’ telah ditetapkan bahwa sesuatu tersebut dinafikan dari-Nya, seperti menetapkan warna, menempel, dan terpisah, maka orang ini telah menjadi kafir” (Lihat Raudlah al-Thalibîn, j. 10, h. 64).

Anda lihat kutipan al-Imâm an-Nawawi dari al-Imâm al-Mutawalli bahwa seorang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat benda telah menjadi kafir. Perlu anda ketahui bahwa al-Imâm al-Mutawalli ini adalah seorang yang telah mencapai derajat Ash-hâb al-Wujûh dalam madzhab Syafi’i; adalah derajat keilmuan yang sangat tinggi, satu tingkat di bawah derajat para Mujtahid Mutlak.

Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al-Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka, yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai berikut:

“al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah Muhammad ibn Jalal pernah ditanya apakah Allah tidak dikatakan di dalam alam ini juga tidak dikatakan di luarnya? yang bertanya ini kemudian berkata: Pertanyaan ini; yaitu Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam telah kami dengar dari beberapa guru kami. Ada sebagian orang yang menyanggah hal ini dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sama juga menafikan dua keadaan yang berlawanan. Ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah segala sesuatu dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan alam. Pendapat terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat sebagian orang menyatakan bahwa pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang rancu dan sia-sia, serta tidak layak dipertanyakan demikian bagi Allah. Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia menjawab demikian atas pertanyaan tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam, sebagaimana ia tuliskan dalam syarh-nya terhadap kitab al-Risâlah.
Kemudian al-Imâm Ibn Jalal menjawab: ”Akidah yang kita nyatakan dan yang kita pegang teguh serta yang kita yakini sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam. Dan sesungguhnya merasa tidak mampu dan merasa lemah untuk meraih Allah maka itu adalah keyakinan yang benar. Keyakinan ini didasarkan kepada dalil-dalil yang sangat jelas baik dengan dalil akal, maupun dalil naql. Adapun dalil naql adalah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an Allah berfirman bahwa Dia Allah sama sekali tidak menyerupai suatu apapun (QS. asy-Syura: 11). Jika Allah dikatakan berada di dalam alam atau berada di luar alam maka akan banyak yang serupa bagi-Nya. Karena jika Allah berada di dalam alam maka berarti Allah adalah bagian dari jenis-jenis alam itu sendiri, dan bila demikian maka berarti Allah wajib memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang wajib dimiliki oleh setiap bagian alam tersebut (seperti punah, berubah dan lainnya). Lalu jika dikatakan bahwa Allah berada di luar alam maka hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan, bisa jadi Dia menempel dengan alam tersebut dan bisa jadi Dia terpisah dari alam tersebut. Dan bila terpisah maka hal itu menuntut adanya jarak antara keduanya, baik jarak yang terbatas atau jarak yang tidak terbatas. Dan keadaan semacam ini sama saja menuntut bahwa adanya Allah membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya dalam keadaan tersebut. Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah:

كَانَ اللهُ وَلمْ يَكُنْ شَيءٌ مَعَهُ (روَاه البُخَارِي وَغيرُه)

“Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun bersama-Nya”. (HR al-Bukhari dan lainnya).

Sementara dalil dari Ijma’ ialah bahwa seluruh Ahl al-Haq telah sepakat bahwa Allah ada tanpa arah. Tidak boleh dikatakan bagi-Nya di atas, di bawah, di samping kanan, di samping kiri, di depan atau di belakang.
Adapun dalil secara akal maka telah sangat jelas bagi anda pada pembahasan di atas dalam makna dari firman Allah QS. asy-Syura: 11. Adapun pendapat yang menyanggah pernyataan ”Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam” karena sama saja dengan menafikan-Nya adalah pendapat yang tidak benar. Karena sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa diterima keberadaannya kecuali dengan adanya salah satu keadaan yang berlawanan (seperti bila tidak di luar, maka ia di dalam) hanya berlaku bagi sesuatu yang terikat oleh dua keadaan tersebut saja. Adapun sesuatu yang tidak disifati dengan dua keadaan tersebut maka hal itu bisa diterima, dan dua keadaan tersebut tidak dikatakan saling bertentangan. Pendekatannya, bila dikatakan “tembok ini tidak buta juga tidak melihat”, maka pernyataan semacam ini tidak dikatakan saling bertentangan, karena dua keadaan yang bertentangan tersebut tidak berlaku bagi tembok. Maka demikian pula ketika kita katakan bagi Allah bahwa Dia tidak di atas, juga tidak di bawah, atau semacamnya, itu semua bisa diterima oleh akal.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah segala sesuatu dari komponen alam ini, seperti yang dituduhkan kepada al-Ghazali, maka ini adalah pendapat yang berasal dari kaum filsafat yang belakangan diambil sebagai faham oleh beberapa kelompok kaum sufi gadungan. Dan pernyataan semacam ini jauh dari kebenaran. Adapun pendapat yang menuduh bahwa pernyataan ”Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam” sebagai pernyataan yang rancu dan sia-sia serta perkara yang tidak layak dipertanyakan bagi Allah, maka pendapat ini tidak bisa diterima karena telah jelas dalil-dalilnya seperti yang telah dibahas. Dan seandainya benar pendapat Ibn Miqlasy seperti ini, namun demikian ia tidak patut dijadikan rujukan dalam hal ini karena dia bukanlah seorang yang ahli seperti layaknya kaum teolog (dari kalangan Ahlussunnah). Dan sesungguhnya, memang banyak dari antara para ulama fiqih yang tidak benar-benar mumpuni dalam masalah teologi ini, terlebih lagi sangat mendalam dengan sedetailnya” (Lihat ad-Durr al-Tsamîn, h. 24-25).

Pernyataan bahwa Allah tidak di dalam alam dan tidak di luar alam juga telah diungkapkan oleh salah seorang pimpinan kaum teolog di kalangan Ahlussunnah, yaitu al-Imâm Abu al-Mu’ain an-Nasafi, demikian pula telah disebutkan oleh asy-Syaikh al-Qunawi, al-‘Allâmah asy-Syaikh al-Bayyadli, dan para ulama terkemuka lainnya. (Lihat Isyârât al-Marâm Min ’Ibârât al-Imâm, h. 197-198).
Al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari menuliskan:

”Setelah adanya penjelasan yang sangat terang ini maka janganlah engkau tertipu dengan kesesatan kaum Mujassimah hingga mereka memalingkanmu dari akidah tanzîh kepada akidah tasybîh. Biasanya mereka berkata: ”Pernyataan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa bentuk, tidak menempel dengan alam atau tidak terpisah dari alam adalah pendapat yang sama sekali tidak bisa dipahami”. Kita katakan kepada mereka: ”Di antara makhluk saja ada sesuatu yang wajib kita percayai keberadaannya, padahal sesuatu tersebut tidak dapat kita bayangkan. Tetapi demikian, akal kita menetapkan keberadaan sesuatu tersebut. Yaitu adanya satu waktu sebelum diciptakannya cahaya dan kegelapan. Sesungguhnya, cahaya dan kegelapan adalah makhluk Allah, sebelumnya tidak ada, lalu kemudian menjadi ada karena diciptakan oleh Allah, seperti dalam berfirman-Nya:

وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ (الأنعام: 1)

”Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala kegelapan dan cahaya” (QS. al-An’am: 1).

Dengan ayat ini kita wajib beriman bahwa kegelapan dan cahaya adalah makhluk Allah. Ini artinya kita wajib meyakini bahwa ada suatu waktu; di mana Allah belum menciptakan kegelapan dan belum menciptakan cahaya. Dalam hal ini akal manusia tidak akan bisa membayangkan adanya suatu waktu yang di dalamnya tidak ada kegelapan juga tidak ada cahaya. Jika pada makluk saja ada sesuatu yang harus kita percayai semacam ini yang tidak dapat digambarkan dan dibayangkan oleh akal maka terlebih lagi tentang Allah. Artinya, jika keberadaan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh akal dapat diterima oleh akal, maka demikian pula dapat diterima jika Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal; bahwa Dia ada tanpa bentuk, tanpa tempat, tanpa arah, tidak menempel atau di dalam alam dan juga tidak di luar alam. Bahkan adanya Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal harus lebih diterima dibanding waktu yang tidak ada kegelapan dan cahaya di dalamnya tersebut. Karena waktu tersebut adalah makhluk, sementara Allah adalah Khâliq, dan Dia sendiri telah berfirman dalam QS. asy-Syura: 11 bahwa Dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya” (Lihat Sharîh al-Bayân Fî ar-Radd ’Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, J. 1, h. 107).

Ingat, Aqidah Rasulullah, para sahabat, dan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.