Selasa, 20 April 2010

SEDIKIT BANTAHAN AHLUSSUNNAH TERHADAP KAUM WAHABI YANG SANGAT APRIORI TERHADAP ILMU KALAM

Malasah yang paling banyak mendapat pengingkaran keras dari kaum Musyabbihah [kaum Wahabi di masa sekarang] yang sangat benci terhadap Ilmu Kalam adalah pembahasan nama-nama atau sifat-sifat Allah. Mereka seringkali mengatakan bahwa ungkapan istilah-istilah seperti al-jism (benda/tubuh), al-hadaqah (kelopak mata), al-lisan (lidah), al-huruf (huruf), al-qadam (kaki), al-jauhar (benda), al-‘ardl (sifat benda), al-juz’ (bagian), al-kammiyyah (ukuran) dan lain sebagainya, dalam pembahasan tauhid adalah perkara bid’ah. Mereka mengatakan bahwa dalam mentauhidkan Allah tidak perlu mensucikan Allah dari istilah-istilah tersebut. Menurut mereka pembahasan seperti itu bukan ajaran tauhid yang diajarkan Rasulullah, dan karenanya, -menurut mereka-, hal semacam itu bukan merupakan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Sesungguhnya mereka yang mengingkari istilah-istilah yang biasa dipakai oleh Ahli Kalam Ahlussunnah, tidak lain adalah karena mereka sendiri menyembunyikan akidah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) dalam hati mereka. Dan sebenarnya dari semenjak dahulu seperti itulah ungkapan-ungkapan kaum Musyabbihah untuk menyembunyikan keburukan akidah mereka. Karena itu bukan rahasia bahwa kaum Musyabbihah sangat membenci kaum tolog Ahlussunnah, menyesatkan mereka dan bahkan mengkafirkan mereka.

Di antara barisan kaum Musyabbihah sekarang yang sangat apriori terhadap istilah-istilah dalam Ilmu Kalam tersebut adalah kaum Wahhabiyyah. Dalam berbagai masalah akidah, kaum jumud yang sangat keras kepala ini hanya berkiblat kepada Ibn Taimiyyah. Semua akidah Tasybih dan Tajsim yang ada pada Ibn Taimiyyah dengan sangat rapih mereka ikuti setiap jengkalnya, seperti berkeyakinan bahwa Allah bertempat di atas arsy, Allah memiliki bentuk dan ukuran, nereka akan punah, dan lain sebagainya. Anehnya; mereka sangat membenci filsafat, padahal sebenarnya Ibn Taimiyah ini adalah orang yang telah jauh masuk dalam wilayah filsafat yang gelap gulita, sebagaimana diakui oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam risalah Bayan Zagl al-‘Ilm Wa ath-Thalab dan dalam an-Nashihah adz-Dzahabiyyah.

Simak tulisan salah seorang pimpinan mereka yang bernama ‘Abdullah ibn Baz dalam buku yang ia tulis sebagai bantahan terhadap Syekh Muhammad ‘Ali as-Shabuni, berjudul Tanbihat Hammah ‘Ala Ma Katabahu as-Syaikh Muhammad ‘Ali as-Shabuni Fi Shifatillah. Lihat dalam cetakan Jam’iyyah at-Turats al-Islami, Kuwait, h. 22, Ibn Baz menuliskan sebagai berikut:

“Sesungguhnya mensucikan Allah dari dari al-Jism (bentuk/tubuh), as-Shimakh (gendang telinga), al-Lisan (lidah), al-Hanjarah (tenggorokan) bukanlah model pembicaraan orang-orang Ahlussunnah. Akan tetapi hal semacam itu merupakan bahasan-bahasan para Ahli Kalam yang tercela yang mereka buat-buat saja” (lihat Tanbihat Hammah, h. 22).

Tidak hanya Syekh Ali ash-Shabuni saja yang mendapat serangan keras dari orang-orang semacam Ibn Baz atau orang-orang Wahhabi lainnya, bahkan tanpa sungkan sedikitpun mereka telah menyesatkan bahkan mengkafirkan para ulama sekelas al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Imam al-Hafizh an-Nawawi, al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi dan para ulama terkemuka lainnya. Namun yang sangat mengherankan; di saat yang sama mereka juga menggunakan karya-karya para ulama Ahlussunnah tersebut sebagai referensi kajian mereka. Hasbunallah.

Simak tulisan salah seorang pemuka kaum Wahhabiyyah; ‘Abd ar-Rahman ibn Hasan, yang merupakan cucu dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, pendiri gerakan Wahhabi. Dalam tulisannya, setelah ia mengungkapkan kesesatan kaum Jahmiyyah sebagai kaum yang menafikan sifat-sifat Allah (Mu’aththilah), ia kemudian mengatakan:

“Kesesatan kaum Jahmiyyah ini kemudian diikuti oleh kaum Mu’tazilah dan kaum Asya’irah dan beberapa kelompok lainnya. Karena itu mereka semua telah dikafirkan oleh banyak kalangan Ahlussunnah” (Lihat buku mereka berjudul Fath al-Majid, cet. Maktabah Darussalam, Riyadl, 1413-1992, h. 353).

Tulisan ‘Abd ar-Rahman ibn Hasan di atas adalah sikap yang sama sekali tidak apresiatif terhadap ulama Ahlussunnah. Ia menutup matanya sendiri untuk mengelabui orang lain; bahwa sesungguhnya kaum Asy’ariyyah tidak lain adalah kaum Ahlussunnah. Tahukah dia atau memang pura-pura tidak tahu bahwa Ibn Hajar seorang Asy’ari??? Adakah orang semacam ‘Abdurrahman ibn Hasan, atau orang-orang Wahhabi lainnya, yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di atas arsy, mansifati-Nya dengan gerak dan diam, atau turun dan naik; pantas di katakan Ahussunnah?! Demi Allah, mereka sedikitpun tidak layak untuk dikatakan Ahlussunnah. Klaim bahwa hanya kelompok mereka saja yang berhaluan Ahlussunnah adalah bohong besar. Adakah mereka tidak melihat [atau karena memang buta mata hatinya] bahwa barisan ulama Ahlussunnah adalah kaum Asy’ariyyah; para pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari?! Adakah orang semacam Ibn Taimiyah yang berkeyakinan tasybih; mengatakan bahwa Allah memiliki bentuk dan duduk di atas arsy, pantaskah ia untuk dijadikan panutan dalam masalah akidah?!

Simak pula tulisan pemuka Wahhabi lainnya, Shalih ibn Fauzan al-Fauzan, dengan tanpa sungkan ia berkata:

“Kaum al-Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah adalah kaum yang menyalahi para sahabat dan Tabi’in, juga para Imam madzhab yang empat dalam kebanyakan permasalahan akidah dan dasar-dasar agama. Karenanya mereka tidak layak untuk diberi gelar Ahlussunnah Wal Jama’ah” (Lihat dalam karyanya berjudul “Min Masyahir al-Mujaddidin Fi al-Islam; Ibn Taimiyah, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab”. Cet. Dar al-Ifta’, Saudi Arabia, 1408 H, h. 32).

Pemuka wahhabi lainnya bernama Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, salah seorang pendakwah ajaran Wahhabi terdepan, dalam salah satu bukunya berjudul Liqa’ al-Bab al-Maftuh menusikan sebagai berikut:

“Soal: “Apakah Ibn Hajar al-‘Asqalani dan an-Nawawi dari golongan Ahlussunnah atau bukan?”. Jawab (‘Utsaimin): “Dilihat dari metode keduanya dalam menetapkan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah maka keduanya bukan dari golongan Ahlussunnah”.
Soal: “Apakah kita mengatakan secara mutlak bahwa keduanya bukan dari golongan Ahlussunnah?”. Jawab: “Kita tidak memutlakan” (Lihat buku dengan judul Liqa al-Bab al-Maftuh, cet. Dar al-Wathan, Riyadl, 1414 H, h. 42).

Saya, abou fateh katakan: “Semacam itulah ungkapan-ungkapan yang selalu dibahasakan oleh para pembenci kaum Sunni, dari dahulu hingga sekarang. Dan itulah jalan satu-satunya yang mereka miliki untuk menyembunyikan akidah tasybih yang mereka yakini”.

Berikut ini dari Tulisan al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 852 H) dalam karyanya sangat mashur Fath al-Bari dalam menjelaskan kesucian Allah dari tempat dan arah, beliau
menuliskan:

“Bahwa arah atas dan arah bawah adalah sesuatu yang mustahil atas Allah, hal ini bukan berarti harus menafikan salah satu sifat-Nya, yaitu sifat al-‘Uluww. Karena pengertiannya adalah dari segi maknawi bukan dari segi indrawi. (Dengan demikian makna al-‘Uluww adalah Yang maha tinggi derajat dan keagungan-Nya, bukan dalam pengertian berada di arah atas). Karena mustahil pengertian al-‘Uluww ini secara indrawi. Inilah pengertian dari beberapa sifat-Nya; al-‘Aali, al-‘Alyy dan al-Muta’li. Ini semua bukan dalam pengertian arah dan tempat, namun demikian Dia mengetahui segala sesuatu” (Fath al-Bari, j. 6, h. 136).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang pembahasan hadits an-Nuzul beliau menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah, yaitu arah atas. Namun demikian kayakinan mayoritas mengingkari hal itu. Karena menetapkan arah bagi-Nya sama saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan Allah maha suci dari pada itu” (fath al-Bari, j. 3, h. 30).

Pada bagian lain beliau menuliskan: “Keyakinan para Imam salaf dan ulama Ahlussunnah dari Khalaf adalah bahwa Allah maha suci dari gerak, berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, menyatu dengan sesuatu. Dia tidak menyerupai segala apapun” (Fath al-Bari, j. 7, h. 124).

Wa shallallahu Ala Sayyidina Muhammad Wa Sallam
Wa al-Hamdu Lillahi Rabbil Alamin.

Membongkar Kesesatan Ajaran Wahabi Yang Membagi Tauhid kepada 3 Bagian; Aqidah Mereka Ini Nyata Bid'ah Sesat

Pendapat kaum Wahabi yang membagi tauhid kepada tiga bagian; tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât adalah bid’ah batil yan menyesatkan. Pembagian tauhid seperti ini sama sekali tidak memiliki dasar, baik dari al-Qur’an, hadits, dan tidak ada seorang-pun dari para ulama Salaf atau seorang ulama saja yang kompeten dalam keilmuannya yang membagi tauhid kepada tiga bagian tersebut. Pembagian tauhid kepada tiga bagian ini adalah pendapat ekstrim dari kaum Musyabbihah masa sekarang; mereka mengaku datang untuk memberantas bid’ah namun sebenarnya mereka adalah orang-orang yang membawa bid’ah.

Di antara dasar yang dapat membuktikan kesesatan pembagian tauhid ini adalah sabda Rasulullah:

أمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتىّ يَشْهَدُوْا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّيْ رَسُوْل اللهِ، فَإذَا فَعَلُوْا ذَلكَ عُصِمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وأمْوَالَهُمْ إلاّ بِحَقّ (روَاه البُخَاريّ)

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darang-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR al-Bukhari).

Dalam hadits ini Rasulullah tidak membagi tauhid kepada tiga bagian, beliau tidak mengatakan bahwa seorang yang mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh” saja tidak cukup untuk dihukumi masuk Islam, tetapi juga harus mengucapkan “Lâ Rabba Illallâh”. Tetapi makna hadits ialah bahwa seseorang dengan hanya bersaksi dengan mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh”, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah maka orang ini telah masuk dalam agama Islam. Hadits ini adalah hadits mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah orang dari kalangan sahabat, termasuk di antaranya oleh sepuluh orang sahabat yang telah medapat kabar gembira akan masuk ke surga. Dan hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.

Tujuan kaum Musyabbihah membagi tauhid kepada tiga bagian ini adalah tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang Islam ahi tauhid yang melakukan tawassul dengan Nabi Muhammad, atau dengan seorang wali Allah dan orang-orang saleh. Mereka mengklaim bahwa seorang yang melakukan tawassul seperti itu tidak mentauhidkan Allah dari segi tauhid Ulûhiyyah. Demikian pula ketika mereka membagi tauhid kepada tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, tujuan mereka tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât. Oleh karenanya, kaum Musyabbihah ini adalah kaum yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir teks-teks Mutasyâbihât dan sangat “alergi” terhadap takwil. Bahkan mereka mengatakan: “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”; artinya seorang yang melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Na’ûdzu Billâh.

Dengan hanya hadits shahih di atas, cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa pembagian tauhid kepada tiga bagian di atas adalah bid’ah batil yang dikreasi oleh orang-orang yang mengaku memerangi bid’ah yang sebenarnya mereka sendiri ahli bid’ah. Bagaimana mereka tidak disebut sebagai ahli bid’ah, padahal mereka membuat ajaran tauhid yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam?! Di mana logika mereka, ketika mereka mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, tetapi juga harus dengan pengakuan tauhid Rubûbiyyah?! Bukankah ini berarti menyalahi hadits Rasulullah di atas?! Dalam hadits di atas sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang yang mengakui ”Lâ Ilâha Illallâh” ditambah dengan pengakuan kerasulan Nabi Muhammad maka cukup bagi orang tersebut untuk dihukumi sebagai orang Islam. Dan ajaran inilah yang telah dipraktekan oleh Rasulullah ketika beliau masih hidup. Apa bila ada seorang kafir bersaksi dengan ”Lâ Ilâha Illallâh” dan ”Muhammad Rasûlullâh” maka oleh Rasulullah orang tersebut dihukumi sebagai seorang muslim yang beriman. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan shalat sebelum memerintahkan kewajiban-kewajiban lainnya; sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh al-Imâm al-Bayhaqi dalam Kitâb al-I’tiqâd. Sementara kaum Musyabbihah di atas membuat ajaran baru; mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, ini sangat nyata telah menyalahi apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Mereka tidak paham bahwa ”Ulûhiyyah” itu sama saja dengan ”Rubûbiyyah”, bahwa ”Ilâh” itu sama saja artinya dengan ”Rabb”.

Kemudian kita katakan pula kepada mereka; Di dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa di antara pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir yang ditugaskan untuk bertanya kepada ahli kubur adalah: ”Man Rabbuka?”. Tidak bertanya dengan ”Man Rabbuka?” lalu diikutkan dengan ”Man Ilahuka?”. Lalu seorang mukmin ketika menjawab pertanyaan dua Malaikat tersebut cukup dengan hanya berkata ”Allâh Rabbi”, tidak harus diikutkan dengan ”Allâh Ilâhi”. Malaikat Munkar dan Nakir tidak membantah jawaban orang mukmin tersebut dengan mengatakan: ”Kamu hanya mentauhidkan tauhid Rubûbiyyah saja, kamu tidak mentauhidkan tauhid Ulûhiyyah!!”. Inilah pemahaman yang dimaksud dalam hadits Nabi tentang pertanyaan dua Malaikat dan jawaban seorang mukmin dikuburnya kelak. Dengan demikian kata ”Rabb” sama saja dengan kata ”Ilâh”, demikian pula ”tauhid Ulûhiyyah” sama saja dengan ”tauhid Rubûbiyyah”.
Dalam kitab Mishbâh al-Anâm, pada pasal ke dua, karya al-Imâm Alawi ibn Ahmad al-Haddad, tertulis sebagai berikut:

”Tauhid Ulûhiyyah masuk dalam pengertian tauhid Rubûbiyyah dengan dalil bahwa Allah telah mengambil janji (al-Mîtsâq) dari seluruh manusia anak cucu Adam dengan firman-Nya ”Alastu Bi Rabbikum?”. Ayat ini tidak kemudian diikutkan dengan ”Alastu Bi Ilâhikum?”. Artinya; Allah mencukupkannya dengan tauhid Rubûbiyyah, karena sesungguhya sudah secara otomatis bahwa seorang yang mengakui ”Rubûbiyyah” bagi Allah maka berarti ia juga mengakui ”Ulûhiyyah” bagi-Nya. Karena makna ”Rabb” itu sama dengan makna ”Ilâh”. Dan karena itu pula dalam hadits diriwayatkan bahwa dua Malaikat di kubur kelak akan bertanya dengan mengatakan ”Man Rabbuka?”, tidak kemudian ditambahkan dengan ”Man Ilâhuka?”. Dengan demikian sangat jelas bahwa makna tauhid Rubûbiyyah tercakup dalam makna tauhid Ulûhiyyah.
Di antara yang sangat mengherankan dan sangat aneh adalah perkataan sebagian pendusta besar terhadap seorang ahli tauhid; yang bersaksi ”Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad Rasulullah”, dan seorang mukmin muslim ahli kiblat, namun pendusta tersebut berkata kepadanya: ”Kamu tidak mengenal tahuid. Tauhid itu terbagi dua; tauhid Rubûbiyyah dan tauhid Ulûhiyyah. Tauhid Rubûbiyyah adalah tauhid yang telah diakui oleh oleh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik. Sementara tauhid Ulûhiyyah adalah adalah tauhid murni yang diakui oleh orang-orang Islam. Tauhid Ulûhiyyah inilah yang menjadikan dirimu masuk di dalam agama Islam. Adapun tauhid Rubûbiyyah saja tidak cukup”. Ini adalah perkataan orang sesat yang sangat aneh. Bagaimana ia mengatakan bahwa orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sebagai ahli tauhid?! Jika benar mereka sebagai ahli tauhid tentunya mereka akan dikeluarkan dari neraka kelak, tidak akan menetap di sana selamanya, karena tidak ada seorangpun ahli tauhid yang akan menetap di daam neraka tersebut sebagaimana telah diriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Adakah kalian pernah mendengar di dalam hadits atau dalam riwayat perjalanan hidup Rasulullah bahwa apa bila datang kepada beliau orang-orang kafir Arab yang hendak masuk Islam lalu Rasulullah merinci dan menjelaskan kepada mereka pembagian tauhid kepada tauhid Ulûhiyyah dan tauhid Rubûbiyyah?! Dari mana mereka mendatangkan dusta dan bohong besar terhadap Allah dan Rasul-Nya ini?! Padalah sesungguhnya seorang yang telah mentauhidkan ”Rabb” maka berarti ia telah mentauhidkan ”Ilâh”, dan seorang yang telah memusyrikan ”Rabb” maka ia juga berarti telah memusyrikan ”Ilâh”. Bagi seluruh orang Islam tidak ada yang berhak disembah oleh mereka kecuali ”Rabb” yang juga ”Ilâh” mereka. Maka ketika mereka berkata ”Lâ Ilâha Illallâh”; bahwa hanya Allah Rabb mereka yang berhak disembah; artinya mereka menafikan Ulûhiyyah dari selain Rabb mereka, sebagaimana mereka menafikan Rubûbiyyah dari selain Ilâh mereka. Mereka menetapkan ke-Esa-an bagi Rabb yang juga Ilâh mereka pada Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan pada segala perbuatan-Nya; artinya tidak ada keserupaan bagi-Nya secara mutlak dari berbagai segi”.

(Masalah): Para ahli bid’ah dari kaum Musyabbihah biasanya berkata: ”Sesungguhnya para Rasul diutus oleh Allah adalah untuk berdakwah kepada umatnya terhadap tauhid Ulûhiyyah; yaitu agar mereka mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Adapun tauhid Rubûbiyyah; yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam ini, dan bahwa Allah adalah yang mengurus segala peristiwa yang terjadi pada alam ini, maka tauhid ini tidak disalahi oleh seorang-pun dari seluruh manusia, baik orang-orang musyrik maupun orang-orang kafir, dengan dalil firman Allah dalam QS. Luqman:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ (لقمان: 25)

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)

(Jawab): Perkataan mereka ini murni sebagai kebatilan belaka. Bagaimana mereka berkata bahwa seluruh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sama dengan orang-orang mukmin dalam tauhid Rubûbiyyah?! Adapun pengertian ayat di atas bahwa orang-orang kafir mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi adalah pengakuan yang hanya di lidah saja, bukan artinya bahwa mereka sebagai orang-orang ahli tauhid; yang mengesakan Allah dan mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Terbukti bahwa mereka menyekutukan Allah, mengakui adanya tuhan yang berhak disembah kepada selain Allah. Mana logikanya jika orang-orang musyrik disebut sebagai ahli tauhid?! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa di dalam Islam terdapat dua tauhid; Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa tidak cukup baginya untuk menjadi seorang muslim hanya bertauhid Rubûbiyyah saja, tapi juga harus bertauhid Ulûhiyyah! Oleh karena itu di dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan Nabi Yusuf saat mengajak dua orang di dalam penjara untuk mentauhidkan Allah:

أَأَرْبَابٌ مُتَفَرّقُوْنَ خَيْرٌ أمِ اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهّار (يوسف: 39

”Adakah rabb-rabb yang bermacam-macam tersebut lebih baik ataukah Allah (yang lebih baik) yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan yang maha menguasai?!” (QS. Yusuf: 39).

Dalam ayat ini Nabi Yusuf menetapkan kepada mereka bahwa hanya Allah sebagai Rabb yang berhak disembah.
Perkataan kaum Musyabbihah dalam membagi tauhid kepada dua bagian, dan bahwa tauhid Ulûhiyyah (Ilâh) adalah pengakuan hanya Allah saja yang berhak disembah adalah pembagian batil yang menyesatkan, karena tauhid Rubûbiyyah adalah juga pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas. Dengan demikian Allah adalah Rabb yang berhak disembah, dan juga Allah adalah Ilâh yang berhak disembah. Kata “Rabb” dan kata “Ilâh” adalah kata yang memiliki kandungan makna yang sama sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Imâm Abdullah ibn Alawi al-Haddad di atas.

Dalam majalah Nur al-Islâm, majalah ilmiah bulanan yang diterbitkan oleh para Masyâyikh al-Azhar asy-Syarif Cairo Mesir, terbitan tahun 1352 H, terdapat tulisan yang sangat baik dengan judul “Kritik atas pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah” yang telah ditulis oleh asy-Syaikh al-Azhar al-‘Allamâh Yusuf ad-Dajwi al-Azhari (w 1365 H), sebagai berikut:

[[“Sesungguhnya pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah adalah pembagian yang tidak pernah dikenal oleh siapapun sebelum Ibn Taimiyah. Artinya, ini adalah bid’ah sesat yang telah ia munculkannya. Di samping perkara bid’ah, pembagian ini juga sangat tidak masuk akal; sebagaimana engkau akan lihat dalam tulisan ini. Dahulu, bila ada seseorang yang hendak masuk Islam, Rasulullah tidak mengatakan kepadanya bahwa tauhid ada dua macam. Rasulullah tidak pernah mengatakan bahwa engkau tidak menjadi muslim hingga bertauhid dengan tauhid Ulûhiyyah (selain Rubûbiyyah), bahkan memberikan isyarat tentang pembagian tauhid ini, walau dengan hanya satu kata saja, sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Demikian pula hal ini tidak pernah didengar dari pernyataan ulama Salaf; yang padahal kaum Musyabbihah sekarang yang membagi-bagi tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah tersebut mengaku-aku sebagai pengikut ulama Salaf. Sama sekali pembagian tauhid ini tidak memiliki arti. Adapun firman Allah:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ (لقمان: 25)

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
Ayat ini menceritakan perkataan orang-orang kafir yang mereka katakan hanya di dalam mulut saja, tidak keluar dari hati mereka. Mereka berkata demikian itu karena terdesak tidak memiliki jawaban apapun untuk membantah dalil-dalil kuat dan argumen-argumen yang sangat nyata (bahwa hanya Allah yang berhak disembah). Bahkan, apa yang mereka katakan tersebut (pengakuan ketuhanan Allah) ”secuil”-pun tidak ada di dalam hati mereka, dengan bukti bahwa pada saat yang sama mereka berkata dengan ucapan-ucapan yang menunjukan kedustaan mereka sendiri. Lihat, bukankah mereka menetapkan bahwa penciptaan manfaat dan bahaya bukan dari Allah?! Benar, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah. Dari mulai perkara-perkara sepele hingga peristiwa-peristiwa besar mereka yakini bukan dari Allah, bagaimana mungkin mereka mentauhidkan-Nya?! Lihat misalkan firman Allah tentang orang-orang kafir yang berkata kepada Nabi Hud:

إِن نَّقُولُ إِلاَّ اعْتَرَاكَ بَعْضُ ءَالِهَتِنَا بِسُوءٍ (هود: 54)

”Kami katakan bahwa tidak lain engkau telah diberi keburukan atau dicelakakan oleh sebagian tuhan kami” (QS. Hud: 54).

Sementara Ibn Taimiyah berkata bahwa dalam keyakinan orang-orang musyrik tentang sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak memberikan manfaat dan bahaya sedikit-pun. Dari mana Ibn Taimiyah berkata semacam ini?! Bukankah ini berarti ia membangkang kepada apa yang telah difirmankah Allah?! Anda lihat lagi ayat lainnya dari firman Allah tentang perkataan-perkataan orang kafir tersebut:

وَجَعَلُوا للهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَاْلأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا للهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَآئِنَا فَمَاكَانَ لِشُرَكَآئِهِمْ فَلاَيَصِلُ إِلَى اللهِ وَمَاكَانَ للهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَآئِهِمْ (الأنعام: 136)

”Lalu mereka berkata sesuai dengan prasangka mereka: ”Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sajian-sajian yang diperuntukan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukan bagi Allah maka sajian-sajian tersebut sampai kepada berhala mereka” (QS. al-An’am: 136).
Lihat, dalam ayat ini orang-orang musyrik tersebut mendahulukan sesembahan-sesembahan mereka atas Allah dalam perkara-perkara sepele.

Kemudian lihat lagi ayat lainnya tentang keyakinan orang-orang musyrik, Allah berkata kepada mereka:

و َمَانَرَى مَعَكُمْ شُفَعَآءَكُمُ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ فِيكُمْ شُرَكَاؤُا (الأنعام: 94)

”Dan Kami tidak melihat bersama kalian para pemberi syafa’at bagi kalian (sesembahan/berhala) yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu tuhan di antara kamu”(QS. al-An’am: 94).
Dalam ayat ini dengan sangat nyata bahwa orang-orang kafir tersebut berkeyakinan bahwa sesembahan-sesembahan mereka memberikan mafa’at kepada mereka. Itulah sebabnya mengapa mereka mengagung-agungkan berhala-berhala tersebut.

Lihat, apa yang dikatakan Abu Sufyan; ”dedengkot” orang-orang musyrik di saat perang Uhud, ia berteriak: ”U’lu Hubal” (maha agung Hubal), (Hubal adalah salah satu berhala terbesar mereka). Lalu Rasulullah menjawab teriakan Abu Sufyan: ”Allâh A’lâ Wa Ajall” (Allah lebih tinggi derajat-Nya dan lebih Maha Agung).

Anda pahami teks-teks ini semua maka anda akan paham sejauh mana kesesatan mereka yang membagi tauhid kepada dua bagian tersebut!! Dan anda akan paham siapa sesungguhnya Ibn Taimiyah yang telah menyamakan antara orang-orang Islam ahli tauhid dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala tersebut, yang menurutnya mereka semua sama dalam tauhid Rubûbiyyah!”]].

Wahhabiyyah Musyabbihah Menyelewengkan Firman Allah QS Thaha:5 Utk Menetapkan Keyakinan Rusak Mereka.. Anda Jangan Terkecoh!!!


Firman Allah dalam QS. Thaha: 5 yang kita maksud adalah:

الرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)

Di antara ayat-ayat mutasyabihat yang tidak boleh kita pahami makna zhahirnya adalah firman Allah dalam QS. Thaha: 5 ini. Para ulama Salaf tidak banyak menggeluti pentakwilan ayat ini dengan menentukan makna tertentu baginya. Mereka hanya mengatakan bahwa makna "istawa" dalam ayat tersebut adalah makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dengan meyakini kesucian-Nya dari menyerupai sifat-sifat makhluk. Para ulama Salaf sepakat dalam menafikan sifat-sifat benda dari Allah. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa al-Imam Malik suatu ketika ditanya tentang makna istawa, lalu beliau berkata: “al-Istiwa’ Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” adalah riwayat yang tidak benar. Riwayat yang benar dari al-Imam Malik tentang ini adalah riwayat yang telah disebutkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dari jalur sanad Abdullah ibn Wahb dan Yahya ibn Yahya, sebagai berikut:

”Telah mengkabarkan kepada kami Abu Abdillah, berkata: Telah mengkabarkan kepadaku Ahmad ibn Muhammad ibn Isma’il ibn Mahran, berkata: Telah mengkabarkan kepadaku ayahku (Muhammad ibn Isma’il), berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu al-Rabi’ ibn Akhi Risydin ibn Sa’ad, berkata: Aku telah mendengar Abdullah ibn Wahb berkata: Suatu ketika kami duduk bersama Malik ibn Anas, tiba-tiba seseorang masuk seraya berkata: ”Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-’arsy istawa, bagaimanakah istawa-Nya?”. Ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: ”Saat itu al-Imam Malik mengeluarkan keringat dingin sambil menunduk karena marah atas pertanyaan tersebut, lalu ia mengangkat kepala sambil berkata: ”ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, sebagaima Dia mensifati diri-Nya demikian, tidak boleh dikatakan baginya bagaimana, karena pertanyaan bagaimana bagi-Nya dihilangkan (Artinya mustahil, karena “bagaimana” hanya untuk mempertanyakan sifat benda), engkau adalah seorang yang berpemahaman buruk dan seorang ahli bid’ah, keluarkanlah orang ini!”. Ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: ”Maka saat itu juga orang tersebut dikeluarkan -dari majelis Al-Imam Malik-” (Lihat al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

Selain jalur sanad di atas, dalam jalur sanad lainnya al-Hafizh al-Bayhaqi menuliskan sebagai berikut:

"Telah mengkabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad ibn Muhammad ibn al-Harits al-Faqih al-Ashfahani, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Muhammad Abdullah ibn Ja’far ibn Hayyan yang dikenal denga Abu al-Syaikh, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Ja’far ibn Zairak al-Bizzi, berkata: Aku mendengar Muhammad ibn ‘Amr ibn al-Nadlr al-Naisaburi, berkata: Aku mendengar Yahya ibn Yahya berkata: Suatu ketika kami duduk bersama Malik ibn Anas, tiba-tiba seseorang masuk seraya berkata: ”Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy istawa…, bagaimanakah istawa Allah?”. Ia (Yahya ibn Yahya) berkata: Saat itu Al-Imam Malik menunduk dan berkeringat karena marah mendapat pertanyaan tersebut, kemudian ia berkata: ”al-Istiwa’ ghair Majhul (artinya jelas penyebutan “istawa” dalam al-Qur’an), Wa al-Kayf Ghair Ma’qul (artinya; istawa tidak boleh dimaknai dengan sifat-sifat benda), beriman dengan adanya “istawa” adalah kewajiban, mempertanyakan bagaimana istawa (Kayf istawa?) adalah bid’ah, dan saya melihatmu sebagai seorang ahli bid’ah”. Kemudian al-Imam Malik memerintahkan agar orang tersebut dikeluarkan -dari majelisnya-”(Lihat al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

Riwayat yang yang menyebutkan bahwa al-Imam Malik berkata: “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” adalah riwayat yang tidak memiliki sanad yang benar. Riwayat ini seringkali dipakai oleh kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah di masa sekarang, karena sejalan dengan hawa nafsu mereka dalam menetapkan keserupaan Allah dengan makhluk-Nya. Dalam keyakinan kaum Musyabbihah bahwa Allah memiliki Kayf (sifat benda) dalam istawa-Nya, hanya saja -menurut mereka- Kayf tersebut tidak dapat kita ketahui. Mereka telah menetapkan Kayf (sifat benda) bagi Allah, mereka tidak mensucikan Allah dari Kayf. Seringkali mereka mengatakan; ”Allah bersemayam di atas arsy, tapi tidak seperti bersemayam kita”. Ini adalah kata-kata yang menyesatkan, karena di dalamnya sama dengan menetapkan sifat benda (kayf) bagi Allah.

Sementara itu, para ulama Khalaf berbeda dengan para ulama Salaf, mereka melakukan takwil terhadap ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa makna istawa dalam ayat tersebut berarti menguasai dan menundukkan (al-Qahr wa al-Ghalabah wa al-Istila’). Menafsirkan makna istawa dengan menundukkan (al-Istila’) tidak berarti menuntut keharusan adanya pertarungan dan mengalahkan terlebih dahulu (Sabq al-Mughalabah). Karena yang dimaksud dengan makna al-Istila’ di sini adalah al-Qahr; yang berarti menguasai tanpa harus mengalahkannya terlebih dahulu. Karena sifat al-Qahr ini adalah sifat yang terpuji bagi Allah, dan Allah sendiri memuji diri-Nya dengan sebutan nama al-Qahhar dan al-Qahir; yang berarti menguasai seluruh makhluk-Nya. Tentang ini Allah berfirman:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (الأنعام: 18)
Artinya; “Dia Allah yang menguasai para hamba-Nya”.

Makna istawa dalam pengertian ”menguasai” (al-Istila’ wa al-Qahr) juga telah dinyatakan oleh seorang ahli fiqih terkemuka, ahli hadits, dan ahli bahasa, yaitu al-Imam al-Hafizh Taqiyuddin ‘Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki. Beliau berkata: “Seorang yang mentakwil semacam ini (takwil Istawa dengan Istawla) sama sekali tidak melakukan kesalahan yang dilarang, dan juga orang tersebut tidak mensifati Allah dengan sifat yang tidak boleh bagi-Nya (Artinya takwil tersebut sesuatu yang dibenarkan)” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, h. 107).

Takwil Istawa dalam makna Istwla ini, juga telah diberlakukan oleh al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, beliau berkata:

“Jika ada yang mengatakan bahwa memaknai istawa dengan istaula (menundukkan) memberikan pemahaman bahwa seakan-akan Allah sebelumnya tidak menguasai arsy lalu kemudian Allah menundukkan dan menguasainya, Jawab; Jika demikian bagaimana dengan firman Allah: Wa Huwa al-Qahur Fawqa ’Ibadih” (QS. al-An’am: 18), yang dengan jelas mengatakan bahwa Allah menguasai para hamba-Nya, adakah itu berarti sebelum Allah menciptakan para hamba tersebut Dia tidak menguasai mereka?! Adakah itu berati Allah tidak menguasai mereka lalu kemudian menguasai dengan menundukkan mereka?! Bagaimana mungkin dikatakan demikian, padahal para hamba itu adalah makhluk-makhluk yang baru, Allah yang menciptakan mereka dari tidak ada menjadi ada. Justru sebaliknya, --kita katakan kepada mereka-- (kaum Musyabbihah): Jika makna ayat tersebut seperti yang kalian dan orang-orang bodoh sangka bahwa Allah bertempat dengan Dzat-Nya di atas arsy, maka itu berarti menurut kalian Allah berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, karena arsy itu makluk Allah. Artinya menurut pendapat kalian Allah berubah dari tidak butuh kepada arsy kemudian menjadi butuh kepadanya setelah Dia menciptakannya. (Dengan demikian harus dipahami bahwa arsy itu baru, sementara istawa adalah sifat Allah yang azali). Maka itu, makna bahwa makna Allah Maha Tinggi adalah dalam pengertian keagungan dan derajat-Nya, bukan dalam pengertian tempat, karena Allah Maha Suci dari membutuhkan kepada tempat dan arah” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109).

Kemudian al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi menuliskan pula:

“Ada beberapa orang merasa bahwa diri mereka sebagai orang yang paham dalam masalah ini, seandainya aku tidak megkhawatirkan akan rusaknya pemahaman orang-orang awam dan pemikiran mereka maka aku akan penuhi kitab ini dengan penjelasan panjang lebar sebagai bantahan terhadap orang-orang tersebut. Mereka itu mengatakan: ”Kita harus mengambil makna zhahih teks-teks mutasyabihat dan memberlakukannya sebagaimana apa adanya yang mengindikasikan bahwa Allah memiliki keserupaan atau bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran serta anggota badan”. Mereka biasanya berpegang kepada ayat QS. Ali ‘Imran: 7 bahwa yang mengetahui takwil itu hanya Allah saja, sementara kita tidak boleh mentakwil. Orang-orang semacam ini, demi Allah, lebih berbahaya dari pada orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi dan orang-orang penyembah berhala. Karena kesesatan dan kekufuran orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi dan para penyembah berhala jelas terlihat dengan kasat mata dan dapat dihindari oleh setiap orang Islam. Namun kesesatan dan kekufuran orang-orang tersebut di atas dapat tersamar bagi orang-orang Islam yang berpemahaman lemah hingga mereka ikut menjadi sesat seperti orang-orang tersebut. Mereka akan menjelaskan dan menanamkan keyakinan terhadap orang-orang yang akan disesatkannya bahwa Allah memiliki anggota badan, memiliki sifat-sifat tubuh, seperti naik, turun, bersandar, terlentang, bersemayam dan bertempat, pulang pergi dari satu arah ke arah yang lain. Orang yang ikut dengan mereka akan berkesimpulan bahwa Allah tidak ubahnya seperti benda-benda. Orang ini kemudian akan menjadi sesat tanpa ia sadari” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109).

Kesimpulan; Firman Allah dalam QS. Thaha: 5 tersebut di atas tidak boleh dipahami bahwa Allah bertempat, duduk, atau bersemayam di atas arsy. Karena arsy adalah makhluk Allah, dan Allah mustahil membutuhkan kepada makhluk-Nya. Sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy, demikian pula setelah menciptakan arsy Dia ada tanpa arsy. Tetapi makna “Istawa” dalam ayat tersebut adalah “Yang Maha Menguasai”. Ingat; ketetapan akidah Rasulullah yang diyakini oleh mayoritas umat Islam dari generasi ke generasi; yaitu kaum Ahlussunnah adalah; “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”.

Sabar Dalam Ujian [Kisah Wali Allah; Abu Qilabah al-Jarmiy, w 104 H/722 M]

Beliau bernama Abdullah ibn Zaid ibn Amr al-Jarmiy, salah seorang terkemuka ahli ibadah dan sangat zuhud di antara penduduk Basrah Irak. Beliau seorang yang sangat alim dalam masalah peradilan dan hukum-hukum syari’at. Di saat hidup banyak orang berharap kepadanya untuk memangku jabatan hakim, namun ternyata beliau justru kabur dari Basrah ke wilayah Syam (sekarang Siria), menetap di sana hingga beliau meninggal. Beliau termasuk salah seorang perawi hadits yang sangat dipercaya, wafat tahun 104 H pada masa pemerintahan Yazid ibn Abdul Malik.

Ibn Hibban dalam kitab ats-Tsiqat meriwayatkan tentang siapa Ibn Abi Qilabah dengan sanadnya dari al-Auza’i, dari Abdullah ibn Muhammad, berkata:

“Saya (Abdullah) adalah seorang yang dijadikan pengawas di wilayah perbatasan Mesir. Suatu hari aku keluar rumah ke daerah pesisir pantai untuk memeriksa wilayah tersebut. Hingga ketika aku sampai di suatu tempat lapangan luas berpasir aku mendapati sebuah kemah, di dalamnya seorang laki-laki yang telah lumpuh, kedua kaki dan tangannya tidak lagi dapat digerakkan, penglihatan telah buta, dan pendengarannya sudah tidak lagi berfungsi dengan baik. Bahkan seluruh anggota badanya sudah tidak ada yang dapat ia pergunakan, kecuali hanya lidahnya saja yang ia pergunakan untuk berkata-kata. Dalam keadaan seperti itu dari mulut orang tersebut aku mendengar kata-kata dzikir, ia mengucapkan:

اللّهُمّ أوْزِعْنِيْ أنْ أحْمَدَكَ حَمْدًا أكَافِئُ بهِ شُكْرَ نِعْمَتِكَ الّتِيْ أنْعَمْتَ بِهَا عَلَيَّ وَفَضَّلْتَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمّنْ خَلَقْتَ تَفْضِيْلاً

“Ya Allah jadikanlah aku seorang yang selalu memuji-Mu dengan pujian yang dapat menjadikannya sebagai syukurku atas nikmat-Mu yang telah engkau karuniakan kepadaku, dan atas nikmat-Mu bahwa Engkau telah menjadikanku memiliki keutamaan lebih di atas kebanyakan orang-orang yang telah Engkau ciptakan”.

Al-Awza’i berkata: Abdullah berkata: “Demi Allah saya akan mendatangi orang itu, dan pasti akan saya tanyakan kepadanya dari manakah ia mendapatkan kalimat-kalimat dzikir tersebut, apakah ia yang ia ucapkannya tersebut? Apakah hanya pemahaman belaka, ataukah memang ia seorang yang berilmu, ataukah mungkin ia telah mendapatkan ilham?”.

Kemudian aku mendatangi orang tersebut. Setelah mengucapkan salam, aku berkata kepadanya: “Aku mendengarmu berkata: “Ya Allah jadikanlah aku seorang yang selalu memuji-Mu dengan pujian yang dapat menjadikannya sebagai syukurku atas nikmat-Mu yang telah engkau karuniakan kepadaku, dan atas nikmat-Mu bahwa Engkau telah menjadikanku memiliki keutamaan lebih di atas kebanyakan orang-orang yang telah Engkau ciptakan”, Lalu apakah nikmat Allah yang telah engkau raih hingga engkau mengucapkan kata-kata tersebut? Serta apakah keutamaan yang telah engkau raih dari-Nya hingga engkau patut mensyukurinya?”

Ia menjawab: “Apakah engkau melihat apa yang telah dikehendaki oleh Allah terhadap diriku ini? Demi Allah seandainya Dia mengirimkan api dari langit untuk membakar diriku, atau memerintahkan gunung-gunung menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan lautan untuk menenggelamkanku, atau memerintahkan bumi untuk menelan ragaku, tidak akan menembahkan semua itu pada diriku kecuali aku akan bertambah syukur kepada-Nya atas nikmat lidah yang telah ia karuniakan kepada diriku. Hanya saja kerena kebetulan engkau mendatangiku maka aku memiliki permintaan dari dirimu, seperti yang engkau lihat sendiri keadaanku ini, aku sudah tidak dapat berbuat suatu apapun bagi diriku sendiri, sebelumnya aku memiliki seorang anak yang selalu menemuiku di waktu shalatku, dialah yang me-wudlu-kan saya, jika aku lapat dialah yang memberikan makanan kepadaku, jika aku haus dialah yang memberikan minum kepadaku, sudah semenjak tiga hari ini aku kehilanan dia, maka jika engkau sudi carilah putraku tersebut, -semoga rahmat Allah tercurah bagi dirimu?”.

Aku berkata: “Demi Allah, tidak ada seorang yang menunaikan kebutuhan saudaranya yang lebih besar pahalanya dari pada apa bila ada orang yang menunaikan kebutuhan orang seperti dirimu ini, aku pasti akan mencarikannya bagi dirimu”.

Kemudian aku mencari anak orang tersebut. Dan belum lagi aku terlalu jauh dari kemahnya hingga aku sampai ke suatu tempat di antara dua bukit pasir, aku mendapati anak yang dimaksud telah meninggal karena dimangsa binatang buas dan telah memakan daging tubuhnya. Dalam hatiku yang dipenuhi kegundahan aku berkata: “Apakah aku memiliki kekuatan menghadap kembali kepada orang di dalam kemah tersebut dan menceritakan prihal putranya ini?”.

Ketika aku mulai melangkahkan kaki menuju kemah tiba-tiba terlintas dalam hatiku tentang kisah Nabi Ayyub yang serta-merta hal itu menguatkan langkahku. Setelah sampai di kemah, aku mengucapkan salam kepada orang tersebut, lalu ia menjawab salamku. Ia berkata: “Bukankah engkau temanku tadi?”
Aku menjawab: “benar”.

Ia berkata: “Apa yang telah engkau lakukan terhadap apa yang telah aku pintakan kepadamu?”.

Aku balik bertanya kepadanya: “Menurutmu manakah yang lebih mulia bagi Allah, apakah dirimu ataukah Nabi Ayyub?”.

“Tentu Nabi Ayyub”.

“Bukankah engkau telah mengetahui ujian apa yang telah ditimpakan oleh Allah kepada Nabi Ayyub? Bukankah Nabi Ayyub telah diuji oleh-Nya dengan dibinasakan seluruh hartanya, serta dimatikan seluruh keluarga dan keturunannya?”

“Benar”.

“Bagaimana sikap Nabi Ayyub terhadap Allah dalam menghadapi ujian tersebut?”

“Beliau tetap dalam keadaan sabar, tetap bersyukur kepada-Nya dan terus memuji-Nya”.

“Bukankah engkau juga tahu bahwa ujian Allah tehadap Nabi Ayyub tidak sampai di situ, bahkan seluruh kerabat dan orang-orang yang mencintainya menjadi merasa asing terhadap dirinya hingga mereka menjauhinya?”

Ia berkata: “Benar”.

“Lalu Bagaimana sikap Nabi Ayyub terhadap Allah dalam menghadapi ujian tersebut?”

“Beliau tetap dalam keadaan sabar, tetap bersyukur kepada-Nya dan terus memuji-Nya”.

“Bukankah engkau juga tahu bahwa ujian Allah tehadap Nabi Ayyub tidak sampai di situ, Allah telah berkehendak untuk menjadikan setiap orang yang bertemu dengannya akan mencaci-makinya dan menghinakannya?”

“Benar”.

“Lalu Bagaimana sikap Nabi Ayyub terhadap Allah dalam menghadapi ujian tersebut?”.

“Beliau tetap dalam keadaan sabar, tetap bersyukur kepada-Nya dan terus memuji-Nya”.

Kemudian aku berkata kepadanya: ”Sesungguhnya putramu yang engkau perintahkan kepadaku untuk mencarinya telah wafat, ia telah dimangsa binatang buas hingga tubuhnya telah dimakan oleh bintang buas tersebut. Semoga Allah memberikan pahala yang besar bagimu, dan tetap menjadikanmu seorang yang terus bersabar”.

Ia berkata: ”Segala puji bagi Allah yang telah memberikan keturunan kepadaku yang tidak melakukan maksiat kepada-Nya hingga ia tidak dibakar oleh neraka-Nya”.

Kalimat ini adalah kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya, kemudian orang tersebut menarik nafasnya satu kali tarikan, dan ternyata ia wafat saat itu juga.

Aku berkata: ”Inna Lillah Wa Inna Ilayhi Raji’un, kali ini aku benar-benar telah mendapatkan musibah besar. Sekarang apa yang hendak aku lakukan terhadap jasad orang ini? Jika ia aku tinggalkan maka ia akan dimangsa binatang buas, dan jika aku tetap berada di sini maka aku tidak dapat melakukan suatu apapun untuk mengurusnya”.

Saat itu, karena menjelang malam, maka kemudian aku menyalakan sebuah lilin yang kebetulan berada di dekat orang tersebut. Lalu aku duduk di samping kepalanya dalam keadaan menangis dan dalam kebingungan.

Saat aku duduk dalam keadaan yang sangat memilukan itu, secara tiba-tiba datang empat orang masuk ke dalam kemah. Mereka berkata: ”Wahai Abdullah, apa yang terjadi pada dirimu? Bagaimana keadaamu? Bagaimana kisahnya bisa terjadi seperti ini?”

Kemudian aku ceritakan kepada mereka prihal diriku dan orang yang ada di hadapan diriku tersebut. Mereka berkata: ”Bukalah penutup wajahnya, mungkin kami mengenal orang ini”. Lalu aku membuka penutup wajah orang tersebut. Tiba-tiba mereka merangkul jasad orang tersebut, mereka menciumi kedua matanya, dan menciumi kedua tanganya. Mereka melakukan itu berulang-ulang. Mereka berkata: ”Demi Allah, inilah mata yang tidak pernah melihat perkara-perkata yang diharamkan oleh Allah, dan inilah tubuh yang setiap malamnya terus melakukan sujud kepada-Nya di mana seluruh manusia dalam keadaan tertidur pulas”.

Aku berkata: ”Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya bagi kalian, sebenarnya siapakah orang ini?”.

Mereka berkata: ”Ini adalah Abu Qilabah al-Jarmiy, beliau adalah teman sahabat Abdullah ibn Abbas, beliau adalah seorang yang sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Dia malam itu pula lalu kami memandikannya, menkafaninya, menshalatkannya, dan menguburkannya. Kemudian kami pulang. Empat orang tersebut pulang ke tempat mereka masing-masing, dan aku pulang ke tempatku di wilayah perbatasan. Saat malam mulai larut, aku mendatangi tempat tidurku untuk istirahat, aku rebahkan kepalaku, lalu aku tertidur. Tiba-tiba dalam tidurku aku bermimpi melihat Abu Qilabah sudah berada di dalam taman surga, di atas kepalanya beliau mengenakan dua mahkota dari mahkota-mahkota surga, aku mendengarnya mengumandangkan firman Allah:

سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّار (الرعد: 24)

”Balasan keselamatan (surga) bagi kalian terhadap sikap sabar kalian, dan itu (surga) adalah sebaik-baiknya tempat tinggal” (ar-Ra’ad: 24).

Aku berkata kepadanya: ”Bukankah engkau sahabatku tadi?”.

Ia menjawab: ”Benar”.

”Bagaimana engkau mendapatkan segala kenikmatan dan kesenangan ini?”.

Beliau menjawab: ”Sesungguhnya ada beberapa derajat yang sangat tinggi yang tidak dikaruniakan oleh Allah kepada siapapun, kecuali kepada seorang yang benar-benar bersabar saat ia mendapati musibah dan benar-benar bersyukur saat ia mendapatkan karunia-Nya, disertai dengan rasa takut kepada-Nya; baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak”.

(Diriwayatkan oleh Imam Ibn Hibban dalam Kitab ats-Tsiqat, j. 5, cet. Haidarabad India)

Sunnah atau Bid'ahkah menggunakan/memakai Hizib = Jimat(4)

Al-Muttaqin TV | Sumber Media Ilmiah : Hizib: Sunnah atau Bid'ah? (4)

Sunnah atau Bid'ahkah menggunakan/memakai Hizib = Jimat (3)

Al-Muttaqin TV | Sumber Media Ilmiah : Hizib: Sunnah atau Bid'ah? (3)

Sunnah atau Bid'ahkah menggunakan/memakai Hizib = Jimat(2)

Al-Muttaqin TV | Sumber Media Ilmiah : Hizib: Sunnah atau Bid'ah? (2)

Sunnah atau Bid'ahkah menggunakan/memakai Hizib = Jimat

Al-Muttaqin TV | Sumber Media Ilmiah : Hizib: Sunnah atau Bid'ah? (1)